Rabu, 27 April 2011

Masalah yang pagi ini menyapaku...

pagi ini, aku kembali ditemui seorang teman lama, masalah namanya. pagi yang menyenangkan berubahmenjadi bagaikan diterpa badai.
semua berawal ketika aku baru saja akan berangkat kuliah. seorang wanita setengah baya menelponku, meminta aku menyuruh adikku menjemputnya. wanita itu adalah ibuku. wanita yang biasanya selalu tersenyum dengan guyonannya itu datang dengan rentetan panjang ocehan yang tidak enak didengar menghampiriku. aku yang sudah tahu ini akan terjadi berusaha mengabaikan, kusibukkan diriku dengan kegiatan lain. kebetulan aku sedang bersiap untuk berangkat kuliah, jadi kulanjutkan acara memakai jilbab, kuteruskan kegiatan menjemur handukku, sampai tiba-tiba dia menghampiri dan segera melontarkan kalimat-kalimat pedas yang tak sanggup kutelan. ini sebenarnya bukan masalah berat, hanya aku yang ketepatan sedang dalam keadaan yang tidak enak, menangkap makna implisit yang dipengaruhi langsung oleh nafsuku. aku membela diri dengan kalimat yang sedikit tegas, yang aku tahu pasti menyakiti hatinya. tapi aku hanya ingin membela diri, sungguh. aku hanya ingin menyampaikan kalau aku tidah sepenuhnya bersalah.

sekarang, setelah kejadian itu berlalu sekitar satu jam yang lalu, aku sadar aku sudah melakukan satu kesalahan fatal. kuingat saat akan berangkat kekantor, ia sama sekali tidak menggubrisku yang sedang memakai sepatu. ia melenggang saja. aku yang sedang memakai sepatu masih belum bisa mendinginkan hati, juga diam. sungguh tadi aku benar-benar enggan untuk menyapa sekedar untuk menandakan aku minta maaf. tapi itu terlalu sakit. aku seperti dianggap musuh oleh ibuku sendiri.

aku bukan orang yang sulit untuk minta maaf. tapi jujur saja, dengan kondisiku yang sedang dalam masalah juga, aku tak bisa meluruhkan perasaanku, bahkan mengingat bahwa ia adalah ibuku. belakangan ini, apa ia pernah peduli padaku? menanyakan keadaanku? kondisi perkuliahanku? tidak pernah! aku memang bukan lagi anak kecil yang harus diperhatikan seperti ini, tapi jujur saja, aku juga manusia. selagi aku masih punya ibu, apa salah aku mengharapkan perhatiannya? klise memang, tapi itulah adanya.

sampai, aku sering berpikir betapa enaknya teman-teman yang nge-kos. tidak perlu mendengar cacian panjang yang memuakkan. aku mau kalau saja ia mengizinkan. dengan senang hati aku akan beranjak dari rumah itu. terserah kalian mau memandang seperti apa, tapi yang pasti, aku ingin hidupku sendiri.

saat menulis ini, air mataku mengalir. padahal aku sudah menahan, tapi tetap tak kuasa. bukan karena aku lemah, hanya hatiku terlalu kuat berteriak. aku tak mampu meredamnya. klimaksnya adlah ketika air mata ku menetes. aku tak peduli.

ya Allah, luruhkan dinding keegoisan dihati hamba. ampuni hamba yang telah berbuat seperti ini kepada ibu hamba sendiri. hamba mohon ya Allah, berikan kekuatan untuk meminta maaf padanya nanti..... aamiiinn..

Rabu, 20 April 2011

Afrika Itu Putih

Ini cerpen yang ditulis bareng-bareng sama Haqqy "Lulu" Luthfita & Umar, waktu kita masih magang di LPM Dinamika. :)


Malam ini tidak seperti biasanya, sunyi tanpa gangguan. Musim pun berbeda. Di apartemen ini hanya ada dua penghuni. Huh deg-degan aku.
Mmmm, si Dia masih sibuk dengan kerjaannya. Aku juga tidak mau ketinggalan aksi, mungkin lebih larut lagi baru dia akan berpihak kepada ku…
Hahahah…lihat saja siapa yang mulai duluan.


***

            “Perbedaan ras bukanlah hal yang harus diperdebatkan Mai,” Haqqi berkata pada ku. Aku, kau, dan dia sama di mata Allah. Suatu saat kau akan mengerti”.
            Kalimat yang dilontarkan Haqqy sekitar dua tahun yang lalu kembali bergema di telinga ku. Sekelebat ingatan membayang di kepalaku. Aku teringat ketika aku memandang rendah Umar, seorang mahasiswa Harar University di Etiopia, Afrika Utara yang pindah kuliah kekampusku. Sungguh terlalu sikapku kala itu. Memandang rendah dia hanya karena warna kulit, tanpa melihat kemampuan akademisnya.

            Kala itu Haqqy yang kulihat menunjukkan sifat bersahabat pada lelaki hitam itu. Hanya Haqqy yang menganggap Umar tidak ada bedanya dengan kami. Dengan mudah Haqqy dan Umar bisa bersahabat. Aku yang tadinya adalah sahabat Haqqy menjauhinya dengan alasan karena aku tidak mau menerima Umar sebagai bagian dari persahabatan kami. Jauh dari perkiraanku yang mengira Haqqy akan lebih memilih menjadi sahabatku daripada Umar, ia malah lebih dekat dengan si hitam sekarang.

            Hal ini sungguh sulit ku terima, lelaki hitam legam yang datang dari Afrika itu telah merebut sahabatku. Apa hebatnya dia! Kenapa Haqqy mau berteman dengan dia?! ”Maaf Mai, kalau kamu tetap ngatain Umar kayak gituan, mendingan gak usah dekat-dekat aku, malu punya teman yang sombong ah, aku heran, kita kan dah mahasiswa tapi kelakuanmu ckckck...ndak tau ah, kelewatan”. Haqqy tidak pernah memedulikan teman-teman yang lain termasuk aku yang menyindir mereka bagai siang dan malam. Haqqy benar-benar berhati mulia. Ia selalu membela, menolong, dan menyemangati Umar ketika Umar diintimidasi dan didiskriminasikan.

            Setelah kehadiran Umar yang merusak persahabatanku dengan Haqqy, aku segera dekat dengan Dini dan Riki, karena mereka berdua juga tidak menyukai si hitam itu. Suatu ketika, aku, Dini, dan Riki berpapasan dengan Haqqy dan Umar di pintu masuk perpus, dengan sengaja Riki , menubruk  Umar sampai buku-buku yang dipegangnya jatuh, reflek, aku dan Dini tertawa keras. Umar tidak berkata apapun, dia segera membereskan buku-bukunya. Tapi Haqqy menghentikan tawa kami. Dia membantu umar memberskan buku-bukunya yang terjatuh dengan tulus.

            Umar, lelaki berkulit hitam itu tidak pernah sekalipun membalas kelakuan kami yang sangat terkesan menyepelekannya. Begitu ia masuk ke kelas, kami pasti berkasak-kusuk, sesekali ada celetukan-celetukan yang menyakitkan, tapi ia hanya membalasnya dengan senyum. Sungguh keras hati anak afrika itu, sanggup tersenyum setelah mendengar cemooh tentang warna kulitnya. Bahkan ia mau membantu kala kami kesulitan dan butuh bantuan.

            Aku masih ingat betapa minggu lalu, ketika akan mempresentasikan makalah, aku baru sadar kalau makalahku tertinggal di rumah. Saat ini aku sudah tiba  di kampus dan pelajaran akan dimulai 15 menit lagi. Aku stres, kalau aku tidak tampil presentasi, bisa dipastikan aku tidak mungkin mendapat nilai A mata kuliah ini. Apalagi dosen pembimbing yang satu ini  terkenal killer. Aku berpikir; kalau aku pulang ke rumah  naik nangkot, gak akan keburu. Mau minta tolong sama temen-temen, gak enak. Manajemen keuangan adalah mata kuliah utama, sulit dan dosennya killer.

            Tiba-tiba Umar menghampiri ku,
”What’s wrong Maisyarah? Dari tadi saya lihat kamu gelisah terus. Makalah kamu belum siap?” .
Aku yang kala itu sedang bingung berat menjawab dengan nada memelas,
”Udah selesai, tapi ketinggalan di rumah?”
”Kenapa gak dijemput? 10 menit lagi Bu Fatimah datang. Ayo, aku antar”.
Mendengarnya aku sedikit tidak menyangka. Tanpa basa-basi dia mengajak ku ke parkiran dan kami pun segera meluncur dengan sepeda motor hitamnya
”Huft, lega. Makasih ya Mar”.

            Setelah presentasi aku menemui sahabat ku Dini dan Riki minus Haqqy yang sudah lebih dulu pergi ke perpus bersama Umar. Dengan segera kami terlibat obrolan seru mengenai hal keterlambatanku hadir ke kelas, padahal hari ini jadwalku presentasi hingga kisah Umar yang membantu ku.
            ”Beneran Mai, Umar yang nolongin kamu? Baik banget ya kalo diingat-ingat kelakuan kita selama ini ke dia”.
            ”Iya guys, aku juga gak nyangka kalo dia mau bantu aku tadi. Dan sepertinya apa yang dibilang Haqqy benar. Umar memang punya kulit hitam, tapi di balik ini, hatinya seputih awan, tanpa sadar aku telah memuji sosok yang dulunya aku hinakan dan kedua sahabat ku mengiyakan.
            Sedikit berlebihan memang jika aku memuji keturunan Nalson Mandela itu hanya karena dia mau mengantar ku untuk mengambil makalah yang tertinggal. Tapi hal ini tidak hanya terjadi sekali, banyak kontribusi yang telah dipersembahkannya demi kelas kami. Dia membuat kelas kami menjadi harum karena keenceran otaknya. Dia mau mengajari kami hal yang belum kami mengerti. Dia selalu ada saat kami membutuhkan. Bukan membutuhkan orangnya, tapi ilmunya. Dia tau akan hal itu, tapi dia tetap mau mengajari kami tanpa pamrih. Haqqy pun jadi sangat bangga bersahabat dengan si hitam yang otaknya hampir seperti Einstein itu.
            Sejak ini, aku belajar untuk lebih menghargai orang lain. Umar seolah telah membuka mataku, merobohkan dinding kesombongan yang tanpa sadar telah terbangun kokoh di hatiku.
            Kini aku, Dini, dan Riki sering bertegur sapa dengan Umar dan Haqqy, bahkan kami malah sering terlibat obrolan seru. Umar selalu harus mengalah ketika kami memintanya untuk bercerita tentang dirinya, negaranya, walaupun sebenarnya ia enggan..
”Aku dulunya kuliah di Harar University. Aku pindah ke Indonesia atas rekomendasi seorang dosenku. Beliau mengharapkan aku dapat belajar lebih jika aku belajar di luar negeri. Katanya, ia menaruh harapan besar terhadap ku, ia ingin aku dapat menjadi salah satu asset berharga yang akan dimiliki Harar nantinya”, cerita Umar suatu hari.

            ”Hebat, begitu banyak mahasiswa di Harar University, dia adalah salah satu yang diperhitungkan hingga memperoleh beasiswa untuk kuliah di Indonesia”,diam-diam aku mengaguminya.

            ”Ibuku tingal di Harar guys, kota yang sangat panas dan kekurangan sumber air. Hampir seluruh afrika merasakan panas yang luar biasa dan sangat sulit menemukan sumber air. Menyedihkan sekali kotaku itu”. Matanya menerawang jauh. Jelas sekali terlihat kalau ia sangat merindukan kota kelahirannya itu.

            ”Disana, sisa-sisa apartheid yang pernah melanda afrika masih terasa hingga kini. Para pendatang kulit putih mendominasi 80% kota kami. Sementara kami hanya boleh berlindung di satu kawasan yang mereka sebut homeland. Kami harus membawa pasport jika ingin memasuki wilayah mereka. Kami sebagai warga pribumi tidak bisa melakukan apapun karena pengetahuan kami rendah. Kami tidak punya akses ke dunia internasional. Dan aku akan menjadi Nelson Mandela kedua yang akan meneruskan perjuangannya”.

            Mendengar cerita Umar yeng begitu bersemangat aku terharu. Anak ini begitu hebatya dia bisa menyimpan berjuta mimpi dan harapan untuk tanah airnya. Dia tidak mengeluh apalagi marah walau perlakuan kami terhadapnya pada awal ia menginjakkan kakinya di kampus hijau ini tidak jauh berbeda dari yang diterima di negerinya. Pernah kutanyakan mengapa ia begitu berbesar hati menerima cemoohan kami dulu, ia hanya menjawab dengan santai, ”Aku hanya ingin menunjukkan pada dunia bahwa Afrika itu putih, berkulit hitam tapi memiliki hati seputih awan. Hahaha”, jawabnya sambil bercanda.

            Mendengarnya hatiku terenyuh. Sungguh benar apa kata Haqqy waktu itu, mestinya aku juga bisa memiliki hati yang putih. Sungguh ironi, aku memandang diriku kebalikan dari umar, gadis kulit putih dengan hati yang hitam. Bulir-bulir bening tanpa terasa menagalir dari sudut mataku. Aku malu pada diriku, pada Tuhanku, pada teman-temanku, dan pada Umar. Bahkan Afrika pun putih. Buliran bening ini mengalir lebih deras.

***


”Ma, tidur yuuuuk” sesosok pria besar, hitam legam menghampiri ku, seraya merangkul. ”Sudah larut sayang...”, sambil main mata dengan mesranya. Ku pandangi pria itu, putih, berkharisma, dan penuh kasih sayang. Tak ku dapati sisi gelapnya dari mana pun. Suami ku, Umar. Malu rasanya kalau mengingat betapa gilanya aku di masa perkuliahan.
            Sign out ku klik. Ku hentikan ketikan ini, yah maklum ajakan suami jangan sampai ditolak ditambah lagi musim dingin yang melanda sebagian benua Afrika. Muantap euy... walau sudah beberapa minggu ini aku tidak posting tulisan, no problemo lah.
            Baru sebulan lalu kami resmi menjadi suami istri. Afrika itu putih ternyata.

***


            Sejak Umar menikahi ku, sikap Haqqy berubah drastis hampir 180 derajat terhadap Umar. Haqqy sepertinya mulai tertutup terhadap Umar, begitu juga dengan kehidupan pribadinya. Haqqy seolah-olah merasa tidak mendapat keadilan. Umar yang begitu dekat dengan Haqqy dianggapnya benar-benar tidak melakukan kesalahan, karena lebih memilih aku dibandingkan teman sejawat ku ini.
            Entah karena memang ingin atau sekedar menghibur diri, ataupun pelarian semata. Haqqy menerima perjodohan yang dilakukan orangtuanya. Keluarga Haqqy memintanya untuk segera menikah. Selain Haqqy sudah dianggap siap, perjodohan itu pun merupakan jawaban atas lamaran Teddy.
            Beberapa hari menjelang hari pernikahan, Haqqy semakin tertutup dan terlihat murung. Orang tua Haqqy bingung kenapa anaknya bersikap demikian. Seharusnya Haqqy terlihat bahagia karena pernikahan hampir di depan mata. Ayah Haqqy menganggap ada hal yang tidak beres dengan pernikahan ini.Ayah Haqqy meminta Umar untuk membujuk Haqqy untuk menjelaskan sikapnya itu. Karena orang tua Haqqy sudah percaya hanya Umar yang mampu melakukannya.
            ”Haqqy ada apa ini?, kenapa kamu bersikap seperti ini?. Pernikahanmu sudah depan mata. Kamu seolah-olah tidak bahagia... cobalah untuk  bersikaplah dewasa...”.
”Kau benar-benar tidak mengerti aku. Aku cuma cintai mu, bukan dia, begitu banyak waktu kita lalui, dan kau pergi ke Maisyarah begitu saja tanpa meihat aku...jujur aku tidak mengharapkan pernikahan ini...”
            ”Maafkan aku, jika hal itu membuat mu sakit dan kecewa. Aku sangat-sangat menghormati mu, bukan maksud ku berbuat demikian, ketahuilah aku bukan jodohmu. Mungkin Teddy lah jodohmu,...lihat dia, dia begitu ikhlas dan mau menerima dirimu apa adanya. Yang sudah berlalu tidak perlu kamu pikirkan lagi, lihat sekarang dan yang akan datang. Demi aku, orang tuamu dan dirimu, aku tak rela jika kamu terus menerus sakit dan kecewa karena aku...”
            ”Terima kasih, mungkin kita tidak berjodoh, tapi hanya dirimu yang mampu menangkan aku dan hanya Teddy yang mau menerima aku apa adanya”

Hari pernikahan itu pun tiba, sekali lagi Umar si Afrika mampu menyelamatkan nasib seseorang, kali ini ia mampu meyakinkan Haqqy sahabat sejati ku untuk menyelamatkan pernikahannya.


***

                                                                                              
Begitu banyak hal berharga yang telah diukir Umar dalam hidupku. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana akhir dari seorang gadis sombong sepertiku jika aku tidak bertemu dengannya dan dengan gadis sebaik Haqqy. Terima kasih Tuhan.



***

BERSAHABAT ( karya sang amatir : Tha maichy ^^ )


BERSAHABAT ( karya sang amatir : Tha maichy ^^ )
oleh Lita Maisyarah Dechy pada 16 Juli 2010 jam 22:49
Plok! Aku terperanjat. Sebuah tamparan mendarat dilenganku. “Heh! Siang-siang ngelamun. Gak baik buat kesehatan”, Dio, teman dekatku mengagetkan.
“Masa kamu gak tau Di, gelagat aneh kaya gini kan isyarat yang nunjukin kalo sahabat kita yang sebiji ini lagi naksir cewek untuk keseribu kalinya, hahaha”, Dani yang sok tau menimpali.
“Ah, apaan sih kalian berdua”, aku mencoba menutupi.
“yaaah, pake ga mo ngaku lagi. Kamu ga bisa boongin kita. Kali ini gadis mana yang bikin kamu jadi doyan bengong?”, kali ini Dani lebih serius.
“Benar kata Dani, kamu emang suka bengong kalo lagi mikir gimana caranya buat naklukin sasaran. Sekarang cewek mana nih? Kok gelagatnya, aku sama Dani ga tau apa-apa soal sasaran kali ini?”, Dio ikut-ikutan serius.
Aku yang memang tidak bias menutupi hal apapun dari mereka kali ini terdiam. Walau sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada mereka bahwa, ya, benar aku sedang jatuh cinta. Tapi kali ini berbeda. Dan titik perbedaan itu yang sampai detik ini masih belum bisa aku pahami apalagi harus menjelaskan pada mereka.
***
Seminggu yang lalu.
“Sialan, telat lagi”, aku berkata dalam hati sambil terus berlari. Letak ruang kelasku yang berada di lantai 3 yang awalnya aman-aman saja kini jadi alasanku mengeluarkan sumpah serapah. Rasanya semua hal menyulitkanku untuk menggapai kelas di lantai 3 lorong sebelah kanan dalam waktu 4 menit. Kulirik jam tanganku, pukul 9 lebih 11 menit. Artinya, ya, jika dalam waktu 4 menit aku tidak sampai, maka tamatlah sudah. Terbayang dikepalaku wajah sang dosen Ekonomi yang tenang dan menghanyutkan itu. Berwajah tenang dan damai, tapi sulit sekali menebak perintah apa yang akan keluar dari bibir tipisnya. Bisa saja dia mengizinkanku masuk, dengan syarat, aku harus mengikuti perkuliah disebelah tempat duduknya. Menjadi asistennya sama artinya harus menguasai materi yang akan disampaikan, kalau tidak sama saja dengan mencoreng muka sendiri. Atau menyuruhku menerangkan tentang materi tertentu yang dapat dipastikan sulit. Atau bahkan yang paling buruk adalah tidak mengizinkan aku masuk sama sekali. Dan ini sama artinya, aku tidak akan bisa mengikuti ujian final karena sudah terhitung ini adalah kali keempat juga aku tidak masuk mata kuliah pokok ini. Dan artinya lagi aku akan bertemu lagi dengan dosen dan mata kuliah yang sama semester depan! Gila! Mengingat itu semua aku semakin memperkencang lariku. Kencang sekali bahkan aku tidak melihat atau tepatnya tidak mempedulikan orang-orang yang hampir kutabrak.
Hingga tiba-tiba, bruk! Aduh, aku benar-benar menabrak seseorang. Aku langsung gusar. “Liat-liat dong kalo jalan! Ga tau apa aku lagi buru-buru?!” bentakku dengan keras. Tapi sebentar, kuperhatikan seseorang yang tadi kutabrak. Seorang gadis yang, oh my God, subhanallah, cantik sekali.
“Maaf”, dia berkata sambil terus membereskan buku-bukunya yang berserakan. Aku tertegun. Aku tidak menyangka aku telah menabrak seorang bidadari, kemudian membentaknya dan dia minta maaf, padahal orang bodoh pun tau aku yang salah. Aku yang tidak hati-hati Tapi tanpa berat hati dia segera minta maaf.
“Maaf ya,” ulang gadis itu sekali lagi seraya berlalu.
Aku memandanginya berlalu tanpa berkedip. Aku seolah terbius. Aku sama sekali lupa bahwa aku akan terlambat masuk ke kelas Ekonomi, aku lupa semua pradugaku tentang hukuman yang akan dihadiahkan sang dosen, dan bahkan aku lupa menanyakan siapa namanya. Bodohnya aku!
***
“Vin, kurasa, aku bukan cowok yang tepat buat kamu. Aku ga bisa bikin kamu seneng walaupun aku ada disamping kamu. Jadi kita putus aja ya. Aku yakin kamu akan menemukan seseorang yang jauh lebih baik dari aku. Maafin aku ya Vin”, aku menutup telepon, tak ingin mendengar luapan emosi Vina.
“Wuih, gila! Vina kan baru kamu dapetin seminggu yang lalu, masa sekarang dah kamu putusin?”, Dani dan Dio mengintrogasi.
“Hati-hati! Pernah dengar ga sih kalo hukum karma itu berlaku?!
“Kasihan mereka Fa, kamu deketin, kamu tembak, terus kamu putusin gitu aja tanpa alasan yang jelas. Kebayang ga sih kalo itu kejadin sama kamu?!
“Iya! Kamu harusnya diskusi dulu sama kita sebelum kamu mutusin dia. Atau paling ga kamu pertahankanlah sampai sebulan. Masa baru jadian seminggu kamu langsung mutusin sih?! Tega bener kamu!
Kedua sahabatku itu terus mehujaniku dengan berbagai kritikan tegas yang menyudutkan. Aku bisa menerima. Tapi tentu saja aku masih punya alasan yang cukup kuat. Bayang-bayang gadis manis dengan jilbab merah muda yang kutabrak kemarin seolah menari-nari dipelupuk mataku. Hal ini yang membuatku sanggup membela diri.
“Aku mutusin dia juga buat kebaikan dia kok. Aku ga sanggup jalan sama orang tapi hati dan pikiranku dah ga di dia lagi. Aku tau ini terlalu cepat, tapi kurasa, semakin cepat dia tau, maka semakin cepat pula dia bisa melupakanku”, kuterangkan alasanku.
“Kamu ga pernah serius ya sama semua cewek yang kamu pacari?’, Dani mulai sewot.
“Bukan Dan. Aku selalu serius sama mereka. Buktinya aku ga pernah ngeduain mereka. Aku cuma mau mencari yang terbaik doang kok, dan menurutku itu hal yang wajar”,aku mengurai argumen.
‘Tapi coba deh lainkali kamu jangan buru-buru nembak cewek. Kasihan mereka kalo cuma jadi bahan perbandingan kamu”, Dio menengahi.
***
Aku memang dikenal sebagai pria tampan dengan sejuta pesona dan senang gonta ganti pacar. Bagiku mudah saja menaklukkan wanita. Banyak cara yang bisa kugunakan untuk mendapatkan hati mereka. Dan kujamin mereka akan luluh dalam waktu paling lama sebulan. Gadis-gadis itu tau tentang image ku bahkan mereka yang melekatkan image itu padaku. Tapi anehnya, jika aku mendekati mereka, mereka pasti menerimaku. Ada-ada saja mereka itu.
***
Sejak pertemuan tidak terduga dengan bidadari berjilbab merah muda itu, perhatianku seolah hanya tertuju pada setiap gadis berjilbab dan mencari sosoknya. Ada apa denganku? Kenapa aku begitu ingin bertemu lagi? Apa aku menyukainya? Dan anehnya lagi, kenapa kali ini aku menjatuhkan sasaran pada seorang wanita berjilbab? Aku pasti sudah gila!
Malu rasanya mengakui hal ini. Bahkan aku masih belum bisa berterus terang pada kedua sahabatku. Aku malu mengakui bahwa aku telah jatuh cinta lagi, terlebih kali ini gadis berjilbab itulah yang memaksa hatiku untuk mencintainya.
“Woi! Ngelamun aja! Manajemen Keuangan masuk 15 menit lebih awal. Telat lo ntar!”, Dio menyadarkanku dari lamunan panjang sejak setengah jam yang lalu saat aku melihat gadis itu lewat dari depan kantin menuju mushala.
“Eh, kuperhatikan, belakangan ini kamu duduknya sering menghadap ke mushala ya. Ada yang kamu cari?”, Dio kembali bertanya.
“Ga kok Di. Dani mana?”, aku berusaha mengalihkan perhatian.
“Biasa, dapat giliran jadi imam sholat dzuhur. Whudu’ yuk, sebentar lagi adzan”, ajak Dio.
Kami bertiga memang istiqhamah untuk sholat dzuhur berjama’ah di mushala Ar-Rahman ini. Dan semenjak aku tau bahwa gadis idaman itu juga melaksanakan sholat dzuhur dimushala yang sama, aku jadi semakin rajin berlama-lama di mushala karena aku bisa mencuri-curi pandang kearah gadis itu. Tapi, astaghfirullah, aku sadar. Niatku salah. Aku ber-istighfar berulang-ulang.
Sejak itu, aku mulai menjauhkan mataku dari bagian shaf wanita. Tapi tetap hati dan fikiranku tidak sejalan. Tak sanggup menyembunyikannya, akhirnya aku curhat pada Dio dan Dani.
“Guys, kali ini sku benar-benar jatuh cinta dan aku yakin kali ini aku ga salah pilih”, aku mencoba berterus terang.
“Hah? Kirain kamu dah ga peduli lagi sama yang namanya cewek, eh ga taunya…”, ujar Dani
sambil geleng-geleng kepala.
“Iya nih. Kirain kamu udah ketularan virus kita buat ga pake pacaran-pacaran”, sambung Dio.
“”Tadinya gue pengen gitu, tapi kayanya iman gue belum kaya lo berdua. Tuh, cewek berjilbab itu yang bikin gue ga bisa kuat iman. Cantik banget sih”, kataku sambil menunjuk dengan isyarat gadis yang sedang bercanda dengan teman-temannya di teras mushala.
Posisi tempat duduk kami dikantin membuat kami dengan leluasa dapat melihat nya dengan jelas.
“Oh, dia. Namanya Tata”, Dani memberitau.
` “kamu kenal sama dia?”, Tanya Dio.
“Ga begitu kenal sebenarnya. Aku sering ketemu dia waktu jam sholat. Terus jadi sering saling sapa”,terang Dani. Tapi kayanya dia ga pernah dekat-dekat cowok. Dia itu akhwat, mana mungkin mau pacaran”.
“Tapi ga ada salahnya juga kan dicoba”, aku menguatkan niatku.
“Terserah kamu deh. Biasanya dia sama teman-temannya nongkrong diteras belakang mushala setelah selesai sholat. Kamu dekati aja, kalau soal cara, kan kamu pakarnya”, Dani ikut menyemangati.
Aku pun beraksi. Aku mulai dengan cara-cara ringan dengan mengajaknya mengobrol setelah selesai sholat, hingga akhirnya aku berhasil mendapatkan nomor Hp-nya.
“Assalamualaikum Ta, kamu sudah pulang kuliah? Pulang bareng yuk”, suatu ketika aku memberanikan diri mengirim pesan singkat padanya. Lama aku menunggu balasan. Semenit, dua menit, 3 menit, aku pasrah. Tapi tiba-tiba, Hp-ku berbunyi. 1 pesan baru, segera kubaca.
“Wa’alaikumsalam. Afwan lama balasnya Fa. Tata baru saja keluar kelas. Pulang bareng? Kan arahnya beda.”
Segera kubalas,
“Aku pengen nganterin kamu. Boleh ya. Kutunggu di parkiran samping mushala ”.
Tidak ada balasan. Menit pertama, kedua, kelima, ah lihat, bidadariku muncul. Kali ini jilbab biru menghiasi wajahnya. Cantik sekali ciptaan Allah yang satu ini.
Aku melempar senyum padanya sambil memakai helmku.
“Beneran nih mau nganterin Tata?”,katanya.
“Bener Ta. Keujung duniapun Rafa antar, hehehe”, aku mupeng.
Sambil tersenyum ia berkata, “Maaf Fa. Tata pulang sendiri saja. Ingat tidak? Dalam islam kan kita harus menjaga hijab dalam pergaulan.”
Aku terperangah. Tak pernah kubayangkan bahkan mengantarnya pulang pun tidak boleh.
***
Dan hal penting yang akhirnya kutau, dia tidak hanya cantik diparas, tapi memiliki pribadi dan akhlak yang sama indahnya.
Tanpa sadar aku dan Tata makin dekat.kami menjalin persahabatan yang indah. Persahabatan yang kurajut dengan mengikuti setiap pengajian-pengajian yang ditekuninya. Dan aku kian mencintainya. Hingga suatu ketika, di sore yang indah sepulang menghadiri pengajian aku mengejar langkahnya. Dan berusaha menyatakan isi hatiku padanya. Jilbab ungu mudanya melambai ditiup angin semilir. Dia tampak terkejut, roman wajahnya berbeda. Tapi aku sangat optimis dia akan menyambut cintaku. Dugaanku meleset. Seketika ia mulai mengendalikan ekspresinya, mengubah air muka yang tadinya tampak terkejut menjadi setenang biasa. Sambil tersenyum ia berkata, “Makasih Fa. Tapi maaf, Tata ga bisa membalas apa yang Rafa rasa. Tata menganggap Rafa hanya sebatas sahabat. Dan Tata berharap kita akan terus bersahabat”.
Aku terpaku. Kali ini cinta yang aku berikan hanya dimaknai sebagai persahabatan. Aku benar-benar tidak menyangka Tata akan menolak cintaku. Marah? Aku benar-benar ingin marah. Tapi marah pada Tata? Tidak mungkin aku mampu. Bahkan senyumnya saja dapat meluluhkan hatiku yang harusnya akan meledak. Aku tak mampu berkata-kata lagi. Kami terdiam dalam pikiran masing-masing. Hingga akhirnya, “sudah sore Fa, pulang yuk”, Tata berkata-kata seceria biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
Kejadian sore itu adalah pengalaman yang paling berkesan buatku. Pertama kali aku menyatakan cinta pada gadis berjilbab, pertama kali nya aku ditolak, dan pertama kalinya cinta yang kutawarkan hanya dimaknai sebagai persahabatan.
Malam harinya, aku mendapat sebuah pesan, kuteliti, pengirimnya adalah Tata, bidadariku. Apa dia berubah pikiran? Harapanku muncul lagi. Segera kubaca,
“Bila dirimu sedang menunggu seseorang untuk menjalani kehidupan menuju ridho-Nya, bersabarlah dengan keindahan. Demi Allah, dia tidak akan datang karena kecantikan, kepintaran, ataupun kekayaan, tapi Allah-lah yang menggerakkan. Janganlah tergesa untuk mengekspresikan cinta kepadanya sebelum Allah mengizinkan, karena belum tentu yang kau cintai adalah yang terbaik untukmu. Siapakah yang lebih mengetahui melainkan Allah? Simpanlah segala bentuk ungkapan cinta dan derap hati rapat-rapat. Allah akan menjawabnya dengan lebih indah disaat yang tepat”.
Aku tertegun. Kata-kata yang diuntai bidadari itu telah berhasil mengetuk sanubari yang terlelap. Kini ia terjaga, menyadari batapa banyak kekeliruan yang telah terukir. Kini aku menyadari mengapa kedua sahabatku, Dio dan Dani tidak pernah bermain dengan kata-kata cinta. Mereka memiliki jalan pikiran yang sama dengan Tata.
Cinta adalah persahabatan. Ya, itu mutiara terindah yang kudapat dari seorang Delia Aprananta, gadis manis berkerudung yang telah berhasil meluluhlantakkan keplayboyanku, mengetuk sanubariku, dan menyadarkan kekeliruanku.
Sekarang aku letih, sangat letih. Aku akhirnya tertidur dengan sejuta angan. Kuharap suatu saat nanti kau adalah jawaban yang diberikan Allah padaku, Ta.
***