Kamis, 21 Juli 2011

CINTA KANIA


“Selamat malam Kania. Have a nice dream.”
Pesan singkat ini masuk ke handphone-ku. Kuteliti pengirimnya, Rafa. Jantungku berdegup kencang saking senangnya. Tapi harusnya aku tidak perlu merasa segirang ini. Toh aku tahu kalau Rafa memang baik pada semua orang, bukan cuma kepadaku. Tapi entah kenapa rasanya aku tidak peduli.
“Hei, senyum-senyum sendiri. Ada apa nih?”, kak Dita tiba-tiba sudah berada disebelahku. Ikut berbaring di ranjang pink-ku yang nyaman.
“Ih, kakak.. kalau mau masuk  diketuk dong pintunya.”
“Sejak kapan masuk kamar kamu harus ketuk pintu dulu? Sok formal. Eh, kenapa melihat layar Hp sampai segitunya?”
“Hmm, ini kak. Aku dapat SMS dari Rafa. Senang sekali rasanya”, aku tidak bisa menyembunyikan kegiranganku.
“Rafa? Anak tim basket itu ya? Dia bilang apa?”, tanya kak Dita sambil merebut Hp-ku.
“Ah, cuma ini..Biasa sekali. Jangan terlalu senang begitu. Ini kan hal yang wajar”, sambungnya.
“Iiih, kak Dita”, aku manyun.
“Kania..Kania.. Kamu tahu kan kalau Rafa sudah punya pacar. Dan SMS seperti itu biasa dikirimnya kepada sahabat- sahabatnya. Termauk kamu. Jadi, menurut kakak, jangan terlalu berharaplah. Kan kamu juga masih sama Dani. Jangan main api, Ka. Nanti kebakaran loh”, kak Dita jadi berpidato.
***
“Ka..kania..”, Dani memanggilku sambil berusaha menjajari langkahku.
Aku pura-pura tidak mendengarnya. Ku percepat langkahku. Tapi langkahnya lebih cepat. Dan..
“Ka, mau kemana? Kelihatannya buru-buru sekali? Aku panggil daritadi kamu kenapa tidak menjawab?”, tanya Dani.
“Maaf Dan, aku tidak dengar”, jawabku asal.
“Ooh, ya sudah. Kita ke kantin yuk”, digenggamnya tangan ku segera.
Aku sebenarnya ingin menolak. Tapi aku tidak bisa. Entah kenapa Dani selalu mampu membuatku luluh dan menuruti maunya. Mungkin karena jauh dilubuk hatiku, masih dia yang bertahta. Ya. Aku menjalin hubungan spesial dengannya kurang lebih setahun lalu. Dia membuatku jatuh hati dengan kelihaiannya bermain basket. Dia memang disegani dilapangan. Aku sangat mengaguminya. Tak hanya itu, sejak aku mengenalnya, aku semakin kagum akan sifatnya yang sangat baik, sopan, dan menyenangkan. Tak bisa kupungkiri, aku suka padanya. Dia berhasil merebut cinta pertamaku, memaksaku menyerahkan cinta monyetku. Tapi itu sebelum aku mengenal sosok Rafa, teman sesama anggota tim basket yang dikenalkan Dani padaku. Rafa mampu membuat cintaku pada Dani perlahan-lahan luntur. Setiap Rafa mengirimiku SMS yang hanya menanyakan kabar, bayang-bayang Dani kian memudar. Kenapa aku ini? Padahal dulu Dani adalah sosok sempurna dimataku. Apa yang salah? Apa aku jenuh?
Aku tidak tahu. Tapi, sejujurnya, aku cemburu. Dia terlalu baik pada semua cewek-cewek yang mengaguminya. Aku tidak suka melihat dia terlalu dekat dengan mereka sampai posisiku sama sekali tidak ada artinya. Ya.. kecemburuanku yang mungkin melunturkan warna cinta yang harusnya masih legam. Sepertinya inilah yang perlahan membuatku belajar menghapus luapan cinta padanya yang dulu sangat kupuja. Ditambah lagi Rafa hadir, dan telah membawa separuh hatiku bersamanya dengan menumbuhkan harapanku.
Menumbuhkan harapan? Sebenarnya tidak. Siapa pun bisa mengirimimu SMS dengan isi singkat dan sederhana, “Hai, how bout this day?” Mestinya aku sadar.
***
“Kak, aku sepertinya benar-benar suka pada Rafa. Aku tidak bisa menghilangkan rasa ini, kak”, curhatanku dimulai begitu kak Dita mengizinkanku ikut berbaring di tempat tidur biru mudanya yang empuk.
“Kalau sekedar kagum, itu hal wajar”, sahut kak Dita sekenanya.
“Kak, aku serius. Ini bukan sekedar kagum, tapi lebih dari itu.”
“Ka, kamu kan belum putus dari Dani. Dan Rafa juga punya pacar. Biarpun namanya seperti kucing, tapi Katty juga manusia.”
“Aku sudah berusaha untuk melupakan Rafa, tapi tetap bayang-bayang Rafa terus berkelebatan… Aku tidak ingin seperti ini kak. Sakit rasanya.”
“Kamu memang harus jaga perasaan Dani dan Katty, Ka. Tapi kalau dengan jujur pada Rafa bisa membuat kamu lega, jujurlah..”
“Jujur bahwa aku sayang dia? Tidak kak. Biarlah rasa ini cukup aku yang miliki. Aku harus bisa terima kenyataan kalau Rafa memang bukan buat aku”, kurasakan pipiku basah. Bulir-bulir bening itu tumpah. Aku tergugu.
Serta merta kak Dita memelukku, mencoba menguatkan dan seolah berkata, “Tenanglah Dik, kakak selalu ada disampingmu.”
***
Persahabatan yang terbina indah dengan Rafa sangat membuatku bahagia sekaligus sedih. Perhatiannya mampu menghangatkan hatiku bahkan mampu membuatku melupakan sosok Dani walaupun Dani juga memberikan perhatian yang sama. Dan aku sedih ketika menyadari bahwa Rafa bukan milikku dan mungkin tak akan pernah menjadi milikku. Terlebih ketika aku akhirnya sadar  bahwa aku hanya salah satu dari sekian banyak sahabat cewek yang dekat dengannya, aku tak bisa menahan air mataku. Aku menjadi begitu mudah menangis untuknya.
“Kamu nangis lagi, Ka?” kak Dita menghampiriku yang tengah menikmati tangisan pilu.
“Kak, aku tidak bisa melupakan Rafa walau sudah berulang kali kucoba. Aku tidak mampu, kak..”, kata-kata ku tupah bersamaan dengan air mata yang kunjung berhenti. Kak Dita mendengarkan dengan sabar. Kak Dita adalah kakak-ku satu-satunya yang sangat pengertian. Tempatku menumpahkan semua uneg-uneg yang mengganjal dihatiku setiap harinya. Dan aku beruntung, dia tidak pernah bosan mendengar ceritaku.
“Terus, kamu maunya bagaimana?”
“Aku cuma ingin Rafa tau kalau aku sayang dia. Itu saja kak. Tanpa harus memilikinya, aku sudah lega dan bahagia, kak..”
“Ya ampun, Ka. Sederhana sekali. Kakak yakin Rafa sudah tahu tanpa kamu harus cerita.”
“Sungguh?”
“Ya. Dan kamu harus tata kembali hati kamu untuk Dani. Kamu harus tetap tanamkan dalam diri kamu kalau Rafa bukan milik kamu. Oke..”
Aku tertunduk sedih.
Kak Dita mengelus kepalaku dan berkata, “Jadikan Rafa seberkas sinar yang menerangi hati kamu, tanpa kamu harus memiliki sinar itu.”
“Tanks kak. Kakak emang kakak terbaik sedunia.”
***
“Ibu, ayah, Kania berangkat sekolah dulu ya. Kak, aku duluan..”, aku pamit.
Sambil berjalan,aku mendengar ada pesan masuk. Dari Rafa, “Pagi Kania. Have a nice day. Pulang sekolah kutunggu di toko buku seperti biasa.” Hatiku kian berbunga-bunga. Rasanya keadaan sekitar berubah jadi indah seketika dan berjalan lambat. Seperti adegan slow motion di TV.
Pulang sekolah segera aku melesat ke toko buku tempat janjian dengan Rafa tadi pagi. 15 menit berlalu, Rafa belum juga muncul.
Tiba-tiba, “Buk!” Pukulan lembut dengan buku mendarat dipunggungku. Rafa!
“Kamu… aku kaget”, aku tiba-tiba tidak bisa mengendalikan detak jantungku yang berdetak lebih cepat kini.
“Hahaha. Maaf. Sudah lama Ka?”
“Lumayan. Ada apa sih? Sepertinya penting?”
“Hmm, aku ingin ngomong sesuatu sama kamu”, mimik wajah Rafa berubah serius.
Aku salting. Tapi kucoba tetap mengendalikan kaki-ku yang ingin loncat-loncat untuk tetap diam, menanti untaian kalimat yang akan dituturkan Rafa.
Tapi Rafa terus diam. Tidak bicara sepatah kata pun, hanya diam seribu bhasa sambil menatapku lekat. Setelah sekian detik berlalu....
“Kita pulang saja?”, ujar Rafa akhirnya.
Aku mengangguk.
“Mau aku antar?”
“Tidak usah Fa. Aku bisa sendiri kok,” aku tersenyum, berusaha memecah kebekuan diantara kami.
“Ya sudah, hati-hati ya. Makasih sudah mau datang. Sekedar bertemu dan melihat senyum kamu, aku sudah bahagia”, balas Rafa.
Akhirnya kami beranjak pulang. Berjalan saling berbeda arah.
Tapi, taukah kita tentang cinta?
Satu kata yang sangat sulit diterjemahkan dan dipahami maknanya. Seandainya Kania tahu bahwa Rafa ingin mengatakan pada Kania bahwa ia begitu mencintai kania. Dan seandainya Rafa juga tau betapa Kania juga merasakan hal yang sama. Tapi tadi mulut Rafa terasa terkunci. Dalam benaknya, Rafa sangat ingin Kania tahu bahwa ia sangat tidak nyaman dengan hubungannya dengan Katty, yang benar-benar seperti kucing anggora yang kerjanya hanya berdandan.
Tapi keduanya mencoba bertahan. Menjaga komitmen masing-masing yang telah lebih dahulu terbangun. Tanpa diuraikan, keduanya menunjukkan sikap yang sama. Mencoba setia dengan apa yang sudah dijalani. Ingin menyatukan cinta dalam satu kebersamaan, tapi dipupuskan agar tidak menyakiti hubungan yang telah lebih dulu terjalin.
***
Andai keduanya tahu bahwa mereka masing-masing sedang berada dalam konflik batin yang begitu dalam.
“Ka, kamu adalah sahabat terbaikku. Hanya sebatas sahabat, Ka”, Rafa meneguhkan hatinya.
“Waktu yang akan mempertemukan kita, Fa”, Kania mempertegas langkah sambil menghapus air matanya yang membanjir.
***