Selasa, 17 April 2012

Soulmate (Hypnosoulmate)

oleh Lita Maisyarah Dechy pada 26 Juni 2011 pukul 21:31 ·
Soulmate  (Hypnosoulmate)
Widya namanya. Sahabat terdekat yang kuanggap bahkan sudah seperti saudara sendiri yang ‘pernah’ mengisi hari-hariku. Ya, pernah. Sekarang pun masih dekat, namun tak lagi seperti dulu. Berbeda. Kini, aku dan dia tak lagi menyebut kedekatan kami sebagai persahabatan. Sungguh, aku sangat tak ingin. Tapi, aku harus ikuti caranya, walau ku akui terkadang aku sangat rindukan hari-hari bersamanya seperti dulu.
***
Matanya nanar memandangku yang hadir kepesta pernikahan itu dengan Doni. Sahabatku sekaligus kekasihnya. Tak henti ia memandangiku tak percaya. Wajahnya pias. Aku hanya memandang sekilas, tak begitu peduli. Aku hanya mengira-ngira, mungkin dia sedang punya masalah dengan Doni, sampai Doni tak ingin pergi dengannya kepesta ini. Sementara aku juga adalah sahabat Doni. Tidak masalah kalau aku pergi dengannya. Toh nanti disana aku akan bertemu widya juga, pikirku. Pendek sekali cara berpikirku ini. Aku tak memperhitungkan bagaimana jadinya kalau Widya cemburu, atau kenapa Doni tidak pergi sendiri saja? Apa masalah itu sebegitu besar sampai Doni tak ingin bertemu dengan Widya? Tapi nyatanya, aku tak berpikir sampai kesitu.
Belakangan aku tahu, Widya memang sedang punya masalah dengan Doni. Tapi aku yakin Widya pasti tidak menyangka kalau Doni tega pergi kepesta itu dengan wanita lain, walaupun wanita itu adalah aku, sahabatnya sendiri. Sahabat sejati yang akan selalu ada untuknya. Aku tahu dia kecewa, tapi dengan sangat bodoh, aku tak berbuat apa-apa.
Kekecewaannya padaku memuncak ketika Doni akan mengantarkan ku pulang. Hal yang wajar sebenarnya, pergi dan pulang dengan orang sama. Tapi aku tak memikirkan ada belahan hati yang saat ini tengah meringis kesakitan. Tepatnya, aku tak sadar. Lambat laun, aku mulai mengerti makna dibalik wajah piasnya. Aku sadar diri juga. Segera kuminta Doni untuk mengantarnya pulang terlebih dulu. Doni yang aku yakin juga sedang merasa tidak enak hati, akhirnya mendekati Widya, menawarinya mengantarkannya pulang. Namun sambutan Widya sudah tak lagi hangat. Mungkin hatinya sudah terlalu sakit. Terlalu kecewa pada Doni, orang yang sangat disayanginya dan aku, orang yang katanya menyayanginya. Kupandangi ia dan Doni dari kejauhan. Aku yang saat itu sudah tersadar dari kebodohan sesaat, enggan mendekati mereka, khawatir akan ada pertumpahan darah.*lebay*

Mengenai Doni, sebenarnya aku tahu dia juga menyukaiku. Walau belum ada menyatakan secara langsung, dia sudah memberikan tanda-tanda yang mengisyaratkan hal demikian. Dia bosan dan dibuat gerah dengan tingkah Widya yang kekanak-kanakan, egois, dan possesive. Sikapnya kemarin mungkin adalah sinyal yang ingin ia tunjukkan pada Widya bahwa dia lebih memilih aku. Aku baru menyadarinya sekarang, memang. Tapi aku bisa jamin, aku tak akan membalas rasa yang sama. Aku menyayanginya hanya sebatas teman, tak lebih.
Setelah kejadian malam itu,Widya mulai menjaga jarak denganku. Aku sudah berulang kali mencoba menjelaskan masalah ini padanya. Berusaha mmemberikaa alibi yang mungkin sulit dipercaya, tapi itulah adanya. Berulang kali aku memintanya bertemu, berulang kali menghubungi, tapi jawaban tetap sama. “Tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Jalani saja kehidupan masing-masing.” Aku menyerah. Kubiarkan dia menyendiri. Aku tahu dia pasti butuh waktu untuk menetralisir rasa pahit kekecewaan itu. Alih-alih berharap dia akan segera menemuiku jika ia merasa waktu yang ia habiskan sudah cukup membuatku rindu, dia malah terus berusaha menjauh dariku. Pasti ribuan spekulasi sudah berdiam dikepalanya. Aku bertekad harus bisa bertemu dengannya dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan, “Ada hubungan apa kau dengan Doni, sahabatku?”
Merajut persahabatan dengannya selama hampir 7 tahun sejak SMP membuat aku optimis dia akan lebih mendengarkan aku daripada suara hatinya yang sudah pasti sekarang sangat membenciku. Entah karena bosan dengan pesan-pesan ku yang membuat memory hapenya penuh, atau karena telpon-telpon ku yang dirasa sangat berisik, akhirnya ia mengalah. Dia bersedia bertemu denganku.
Aku menatapnya yang sedang tertunduk. Sudah 15 menit berlalu sejak kami berdua duduk dibawah pohon rindang ini, tapi tak jua ada suara pembuka. Tak pernah kurasakan kegaringan yang amat sangat saat bersamanya seperti saat ini. Kuberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
“Wid, kita sahabatan udah lama. Aku harap kamu percaya, aku bukan orang bodoh yang rela melepas sahabatnya hanya karena seorang laki-laki”, tuturku to the point.
“Aku percaya, Chy. Dan karena aku tak ingin persahabatan ini berakhir, aku memilih mengalah,” ujarnya dalam.
Aku tersentak. Benar, spekulasi itu memang sudah mengakar dipikiran Widya. Aku sangat menyayangi Widya, seperti aku menyanyangi saudaraku. Mana mungkin aku tega merampas kebahagiaannya! Walau aku juga sangat menghargai Doni sebagai salah satu sahabatku, tapi jika karena dia persahabatku dengan Widya hancur, aku tak rela. Maaf saja.
“Wid,aku tak pernah menyukai Doni. Kamu tahu itu,” mataku memanas, seperti akan ada air yang memaksa ingin tumpah.
“Kalau kamu memnag tak menyukainya, kenapa kau mau diajak pergi bareng kepesta itu? Padahal kau tahu dia masih denganku. Kenapa kamu tidak tanyakan padanya alasan dia pergi denganmu dan mengabaikanku? Kamu gak punya perasaan! Ini makna sahabat yang selalu kamu bangga-banggakan itu?! Aku kecewa! Bahkan kekecewaanku padamu lebih besar daripada Doni!!” semburnya berapi-api. Dia yang awalnya sudah berupaya untuk melupakan dan merelakan Doni, kini jadi bagaikan meluapkan segala emosinya. Tangisnya meledak.
Aku terkejut. Tak pernah kusangka dia akan melabrakku habis-habisan. Dia tidak akan tega, selalu aku berpikir seperti itu. Tapi aku juga tak bisa menyangkal. Itu semua memang salahku. Bendungan air mata yag kubangun dengan susah payah sejak tadi rubuh. Perlahan-lahan bulir hangat membasahi pipiku. Ingin sekali rasanya aku mengatakan padanya bahwa aku menyesal, tapi aku tak kuasa. Aku menunduk, tak sanggup menatap matanya lagi.
“Sudahlah. Sudah kubilang, aku yang akan mengalah. Lupakan saja,” ucap Widya kemudian.
Aku tidak terima. Aku terpojok. Seakan ini semua memang keinginanku.
"Demi Tuhan, aku tidak pernah menginginkan hal ini, Wid. Aku tidak rela persahabatan kita harus berakhir. Akan kubuktikan kalau aku tidak ada hubungan apa-apa dengan dia,” ujarku ngotot.
Widya hanya tersenyum kecut.
Ternyata kata-kata yang diuntai Widya beberapa hari silam bahwa persahabatan kami akan tetap manis, hanya ucapan saja. Hatinya terlalu perih untuk mulai merangkai hari-hari bersamaku lagi. Dia hanyut pada kesibukannya sendiri, berusaha melupakanku demi mengobati hatinya yang tengah terluka dengan sayatan menganga. Aku belajar memahami, mencoba maklum. Aku tak mengganggunya. Berhari-hari kami putus kontak. Tapi tetap saja aku tak rela. Kembali kucoba menghubunginya, berharap kami bisa merajut kembali kebersamaan yang sempat terkoyak. Tak ada sambutan. Makin hari, kami makin jauh, bahkan tak lagi teraih. Mungkin dia tak lagi menganggapku sebagai sahabatnya.
Aku dan dia kini tengah meniti jalan kami masing-masing. Sendirian. Seorang sahabat yang bagaikan soulmate, sahabat yang telah rela melewati suka duka bersamaku, menemaniku melukis hidup, merangkai mimpi, kini menjauhiku karena kebodohan dan keegoisanku sendiri. Pijarnya mulai hilang bersama asa yang meredup.
Aku rindu. Entah apa yang harus kubuat agar dia kembali padaku. Jika ia membaca tulisan ini, aku ingin sampaikan satu pesan.
“Apakah hanya demikian? Apakah seperti ini ending persahabatan yang kita bina selama hampir 7 tahunan? Jika ya, izinkan aku mengukir namamu untuk yang terakhir kalinya dibuku kehidupanku. Tapi jika tidak, kenangan itu masih bisa kita putar ulang, teman. Dan akan kupastikan, tak akan kukecewakan lagi. Tak akan lagi kusakiti.
Teruntuk, soulmate yang (pernah) ada.

Jumat, 06 April 2012

SALAH JATUH CINTA

Manisnya kisah itu hanya sebentar. Sepintas lalu. Terlalu cepat mungkin aku mengakui jika rasa itu benar-benar ada. Sangat singkat aku menganalisanya. Mudah sekali aku layu dihadap senyumnya. Bodoh! Klise! Absurd!
            Aku memandangi layar ponselku, resah. Tak jua datang pesan singkat darinya yang sejak kemarin kutunggu.  Aku khawatir. Entah apa yang sedang terjadi sekarang, tapi yang pasti aku gelisah. Aku tahu tak seharusnya aku seperti ini. Tapi itulah adanya.  Sudah beberapa kali aku mencoba menghubunginya, hasilnya nihil.  Telponku tak jua diangkat. Aku menyerah. Kucampakkan ponselku ke sebelah bantal dan kurebahkan tubuhku. Lelap.
            Hal yang sama terus berulang beberapa hari terakhir. Resahku terus menggejala. Setiap kali ponselku berdering, aku selalu berharap itu dari dia. Sekalipun seringkali aku dihubungi oleh orang yang sebenarnya cukup menghibur, tapi tetap saja dia yang ada di angan. Sudah kubilang, aku memang terlalu klise. Bahkan, kau tahu kawan, aku selalu menggunakan headset setiap ada yang menelponku. Aku khawatir dia menelponku ketika aku sedang menerima telpon dari orang lain dan tak menyadarinya.

            Semua berawal dari jejaring social bernama fesbuk. Media yang dulunya mem-fasilitasi kami untuk bertegur sapa dengan lebih gamblang. Mungkin aku yang salah. Tapi semuanya terjadi begitu saja. Mungkin aku yang hadir sebagai orang ketiga dalam hubungan mereka tanpa aku sadari. “Dia” mungkin memantau setiap gerak gerik kami dari kejauhan. Aku tak akan tahu jika –hal-  ini tak terjadi. Mungkin aku sangat tak berperasaan, membuat jejak-jejak yang mungkin akan melukainya. Mungkin saja sebenarnya mereka masih saling menunggu dalam kebisuan. Kebisuan yang malah kuhiasi dengan iringan musik rock yang memekakkan telinga. Huh, aku memang tak terlalu peka. Aku hanyut dalam melodiku sendiri, dalam laguku yang terlalu manis. Tapi kini, sudah saatnya aku angkat kaki. Aku kini sadar, aku mungkin telah salah jatuh cinta.

Medan, 6 April ‘12
5.41 PM