Selasa, 19 Juni 2012

CORAT CORET SANTAI


Sudah lama tak bercuap-cuap ria nih di rumah maya. Kesibukan tak menentu membuat aku sedikit abai dengan keaktifan nulis di blog. Yaaahh.. kan aku sekarang sedang melakoni aktifitas sebagai jobseeker sejati. Hampir tiap hari keliling-keliling kota medan buat masukin lamaran ke bank-bank. Mana medan lagi panas-panasnya. Kalo gag mikirin masa depan, ogah banget aku keluar terik-terik. Kan kulitku yang sebening embun pagi bisa gosong. *cuiihh*. Untungnya nih, aku berjuangnya gag sendirian. Berdua bareng Maya, sahabat seperjuangan dikala suka dan duka. *ailopyu, say*. Kalo sendirian, gag tau dah bakal gimana nasib berkas-berkas lamaran yang sudah kusiapkan sebelumnya. Bisa saja berakhir tragis di tong sampah non organic.  -_-“
Well, belakangan ini aku liat krupers Dinamika lagi doyan-doyannya main blog. Ada yang baru bikin, ada yang baru belajar design, ada yang heboh minta di join. Huaahh, rame dah. Nah aku? Yang udah ngebangun rumah maya sejak lama melongo. What I have to do with my blog? Tapi tak lama, aku sadar. Aku harus merenovasi rumah mungil nan eksotis ini biar lebih manis. Harus ada penambahan perabot dan mengganti ulang warna catnya yang sudah kusam. Mungkin bisa belajar sama yang baru saja selesai mendesign blog atau otodidak saja dengan buku panduan. Kan kemaren bg Molen baru beli bukunya. Okelah, renovasi akan kita mulai segera.
Btw, banyak banget kisah yang bergulir dengan manis seiring berjalannya waktu. Tak selalu manis juga sih, sebenarnya. Tapi cukup menginspirasi. Banyak mereka yang sedang tenggelam dalam rona merah jambu dan banyak juga yang mengambang dalam pekatnya aliran bah. Berbanding terbalik. Itulah untungnya jadi dewasa dan memiliki ilmu psikologi walau cetek. Sedikit banyak kita bisa menyelami kehidupan dan perasaan seseorang. Bukan untuk apa-apa. Hanya menjadi media pendewasaan diri saja. Dengan mendengar kisah mereka, paling tidak aku bisa memperoleh gambaran jika suatu saat nanti aku mengalami apa yang mereka rasakan. Mengambil hikmah dan memastikan aku tak akan melakukan kesalahan seperti apa yang mereka lakukan.
Memang, tak selamanya kita sanggup jadi pendengar budiman saja. Adakalanya aku juga ingin mengutarakan sesuatu dan tentu ingin ada yang mendengarnya. Itulah kenapa aku nyaman mendengar cerita mereka yang juga nyaman mendengar ceritaku. Bukan karena gag ikhlas juga sih ngedengerin cerita mereka. Tapi ya begitulah. Mungkin, yang harus ku tanamkan dalam diriku, sebuah kalimat bijak, “dengan menjadi pendengar yang baiklah kita akan menjadi pembicara yang baik pula.” Untuk itu, ceritalah. Akan kudengar, akan kutanggapi, dan akan kupetikkan hikmah dari kisah kalian. Semoga bermanfaat di akhir kelak, buat kalian, juga buatku sendiri. ^_^

 Sekedar Mengenang Atau Memutar Kembali? 


Ini kisah cinta konyol tentang dia. Seseorang yang sungkan untuk kusebutkan namanya. Aku yang tadinya hanya ingin membaca kembali novelet-novelet manis hasil karyanya yang memang kusimpan di rak buku, tak sengaja menemukan sebuah tulisan yang baru kuterima beberapa minggu lalu. Tulisan dari tangan dekilnya. Coretan yang mewakili isi hatinya tentang seorang wanita. Siapa? Mungkin saat ini ia masih belum ingin aku menuliskan namanya. Jadi, tak usah memusingkan siapa dia, dan siapa wanitanya itu. Mari kita nikmati perjalanan cinta konyolnya ini.  :p
***
Gadis itu mendekatinya sambil tertunduk malu. Tampak sedikit gugup ketika dia mulai melemparkan pertanyaan. Ia menatap si gadis lekat-lekat, memberikan pandangan yang sudah diupayakan terlihat berwibawa. Ia ingin terlihat pantas dipandang sebagai senior. Sementara si gadis, setelah tiga menitan ditikam tatapan wibawa si pria, nampaknya sudah mulai bisa menguasai diri, menetralisir rasa malu dan gugup yang berlebihan dan memberanikan diri menatap matanya. Kemudian dengan luwes jawaban-jawaban mengalir bagai air dari bibirnya. Sesekali ia tersenyum. Senyum yang tanpa disadarinya membuat si pria malah salah tingkah. Tak ada yang istimewa dari gadis itu sebenarnya, namun mungkin cara si gadis menjawab pertanyaan yang ia ajukan, senyum yang sarat makna, juga tatapan mata yang tajam menusuk itu menawarkan karakter yang berbeda buat si pria. Ada kagum yang berkelebat di hatinya.
Kagum itu tak berubah di pertemuan-pertemuan selanjutnya. Sikap dan sifat yang dewasa yang dipancarkan si gadis membuat kagum itu tetap ada. Si pria yakin ada potensi besar pada diri si gadis. Namun, kecewa juga turut campur menghiasi kagum itu. Si gadis menggantungkan semua tanggung jawab yang di bebankan pada mood-nya. Tak peduli dengan keadaan sekitar, yang pasti saat mood-nya buruk, ia akan mengabaikan apapun. Kekesalan si pria memuncak. Ia tak bisa membiarkan si gadis terlalu abai dengan lingkungan kerja yang seharusnya ia tanggungjawabi. Ia mengambil sikap tegas. Ketegasan yang malah disalah artikan oleh si gadis itu. Gadis itu memang bebal. Ia malah menganggap si pria sengaja ingin menyingkirkannya dari dunia kerja mereka. Dan saat itu ia juga menegaskan ia akan keluar.
Air mata si gadis tak kunjung berhenti. Pun ketika si pria sudah melonggarkan egonya untuk minta maaf. Gadis itu merasa tak perlu ada kata maaf, toh ia sudah tau maksud dari si pria dan akan segera melakoninya. Sudahlah, fikirnya. Si pria mencapai titik galau tertinggi. Ia yang awalnya hanya ingin menyajikan shock terapy malah dianggap ingin menyingkirkan.
Ya, semua terjadi begitu saja. Air mata itu, moment itu, masih membekas hingga kini di hati si pria. Meninggalkan jejak yang dalam. Sejak itu, ntah kenapa, si pria malah memiliki perasaan yang berbeda terhadapnya. Ditambah lagi entah kenapa dan kapan, si gadis pernah mengucapkan sebuah mantra yang membuat hati si pria mungkin terkejut, atau bahkan sempat pingsan, “tetaplah jadi alasanku untuk bertahan.” Kalimat yang terlukis di langit-langit kamar, di cermin, sampai di bantal guling. Kalimat yang begitu hangat memeluknya seakan ia punya prestise untuk mengubah udara dingin menjadi hangat. Hanya satu kalimat, tapi mampu merobohkan genggamannya yang kokoh.
Namun, kembali lagi, semua mengalir begitu saja. Gadis itu terlalu misterius. Sorotnya yang tajam sulit diartikan. Si pria mulai patah arang. Walau kadang ada sebersit kerlingan yang menurutnya si gadis juga memiliki rasa yang sama, ia masih ragu. Khawatir kalau itu hanya tatapan sayang seorang adik kepada abangnya. Akhirnya pria itu memilih mengubur harapnya untuk bisa bersama si gadis. Ia mulai mengubur bayang-bayang gadis itu. Perlahan, tapi ia berhasil. Sampai ia mengisi ruang kosong dihatinya dengan sosok gadis lain.
Konyolkan? Bahkan untuk menyatakan saja, ia harus menimbang beribu kali. Beribu kali sampai ia terpaksa harus memupuskan harapnya karena ia mendengar kabar kalau si gadis menyukai orang lain. Padahal entah bagaimana, belakangan si pria dan si gadis tau, bahkan rekan kerja mereka sudah merasakan ada yang aneh dan tak biasa dari mereka. Tapi itulah takdir. Kita tak tau kemana ia akan membawa aliran itu bermuara. Kini, setelah kejadian dua tahun lalu itu, si pria agaknya mulai memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. Kita lihat saja, apakah hanya sekedar mengenang masa lalu, atau ingin dan akan memutar kembali?
***
Ada pesan moralnya loh, guys. Kan kita harus bercermin dari kisah orang lain biar gag ngelakuin kesalahan yang sama. Jadi, dari semua kisah yang kita dengar, kita lihat, bahkan kita baca, kita harus bisa mengambil hikmahnya. Nah, kalo dari kisah ini, aku bisa memetik hikmah, tak perlu memaksakan fikiran untuk menuruti apa kata hati. Mungkin, justru dengan tak memaksakan itu, semua malah akan indah pada waktunya. Pada saat yang tepat. Tapi, bisa saja kejadiannya malah terbalik. Bisa saja setelah sekian lama rasa itu di pendam, ia menghilang bahkan tanpa bekas. Yang lebih sedih lagi, kalo rasa itu masih ada di satu hati sementara hati yang lain sudah melupakan. Beragam kejadian bisa terjadi di masa depan, bukan? Jadi, mari ikuti aliran taqdir. Biarkan ia membawa kita pada suatu muara yang indah. ^_^

 Buah Dari Pohon Bernama Komitmen 


“Sekarang abang tanya, siapa yang mau tamat tiga setengah?” tanyanya setelah menjelaskan betapa banyak sarjana yang terluntang lantung setelah menyelesaikan studi S1 nya. Harusnya semua yang ada di forum itu tak ada yang mengacungkan tangan. Cerita yang diuraikan pria berkaca mata itu jelas meyakinkan kalau tak ada yang bisa diabdikan untuk masyarakat kalau mencukupkan tiga setengah tahun di perkuliahan. Ilmu yang didapat di perkuliahan itu belum cukup untuk mengabdi kepada masyarakat. Mana kuliahnya di kampus yang sedikit di pandang sebelah mata pula.

“Memangnya apa jurusan kalian? Bahasa inggris? Sekarang siapa yang gag bisa bahasa inggris rupanya? Semua orang bisa. Mau kerja dimanalah klen nanti. Saingan klen banyak. Kalaupun bisa, mungkin klen di tempatkan di pelosok sanalah,” ia menghela nafas. “Makanya fokuslah di Dinamika. Ini jalan alternative kita untuk masa depan. Jadi jurnalis atau jadi penulis. Disinilah potensi itu bisa kita gali. Jadi seriuslah. Abang tekankan, ini bukan organisasi. Ini adalah jurusan kedua yang kalian pilih, jurusan jurnalistik.”

Sedikit kerut membingkai wajahnya ketika ia melihat masih ada yang bebal. Sudah dikomporin segitu panas, masih juga angkat tangan. Menunjukkan pada forum ia tetap keukeh mau menyelesaikan studinya dalam waktu singkat. Ya, ia hanya sendirian. Dan forum itu mungkin menganggap ia sebagai orang aneh yang tak terlalu cinta Dinamika. Yang rela meninggalkan jejak pembelajaran dan pendewasaan diri di dunia Dinamika begitu cepat. Atau, mungkin sebagian mengira, “ahh, gag mungkin. Dia pasti gag mau ninggalin keluarga Dinamika begitu cepat.” Beragam persepsi bisa saja memenuhi fikiran mereka. Yang pasti di dalam benak kru yang bebal itu kira-kira seperti ini, “aku gag peduli kalian mikir apa. Aku hanya ingin jujur pada diriku sendiri.”

Dan sejak itu, ia memasang janji, “akan kuselesaikan studiku dalam tiga setengah tahun.”
Ini bukan sekedar keinginan, ini tentang sebuah komitmen.
***
Aku kembali mengingatkan kisah itu padanya, pada orang yang pernah ‘memanas-manasi’ untuk bertahan lebih lama di Dinamika. Orang yang dengan tanpa sengaja telah memicuku untuk mencetuskan komitmen itu. Ia tersenyum. Senyum yang multi tafsir sebenarnya. Tapi aku tahu makna terdalam dari senyum itu. *Kan aku pernah bilang, tanpa kau bicara pun, aku tau apa yang kau fikirkan.*
Sore itu mendung, tapi bagiku yang baru saja selesai dari pertempuran besar melawan pertanyaan demi pertanyaan dari penguji dalam perang sidang munaqasyah yang berjalan dengan sangat baik, sore itu tetap indah. Bahkan lebih indah dari biasa. Pujian dari seorang guru besar yang sangat kukagumi masih membekas dalam ingatan, bahkan sampai detik saat aku menulis catatan ini. Dan itu sungguh kebahagiaan tersendiri yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata lagi. Pujian biasa memang, tapi itu dari seorang guru besar Ekonomi Islam. Waw ^_^ takkan pernah kulupa.

Kuayun langkah menuju ‘rumahku’ di gedung perkantoran aula lantai 1 IAIN SU. Rasanya ingin berlari saja. Tak sabar aku membagi berita bahagia ini dengan seluruh keluargaku, krupers Dinamika. Semangatku menggebu. Tak puas hanya berbagi dengan mereka, aku menelepon hampir semua teman-teman dekat. Tak afdhol rasanya jika mereka tak tahu aku selamat dari pertempuran melawan puluhan pertanyaan dari seorang guru besar, satu orang doctor, dua orang kandidat doctor, dan seorang lagi dosen yang disegani, mantan kajur EKI. Mereka harus tau kalo aku baik-baik saja, selamat dan sehat wal afiat. Hahaha. :D

Ya, aku berhasil. Studiku selesai dalam waktu yang cukup singkat. Aku menang melawan bisikan-bisikan untuk menikmati lebih lama status sebagai mahasiswa.  Aku mengalahkan ‘sisi-sisi terlalu cinta’ ku pada Dinamika yang ingin aku tetap menyandang status sebagai kru, untuk menyelesaikan amanah yang dipercayakan padaku. Walau sebenarnya pertimbangan-pertimbangan itu sempat membuat aku kalut. Aku hampir dengan sengaja tak lagi memikirkan masalah kompri agar aku punya alasan untuk tak mencapai target wisuda bulan Mei 2012. Dan aku sempat membiarkan naskah skripsiku tertumpuk di rak tanpa berniat menyentuhnya. Galau saat itu merajai fikiranku.

Aku masih tak bergerak menyelesaikan semuanya sampai sahabat-sahabat seperjuangan di Manajemen Syariah ’08 kembali hadir mengusapkan semangat di atas galau yang menderaku. Mereka kembali meyakinkanku kalau aku harus selesai segera. Mereka mendesakku untuk tetap menjadi aku yang dulu, ambisius. Mengingatkan aku pada komitmen yang sudah kubangun sendiri. *ailopyu, guys* aku perlahan bangkit, tertatih awalnya, tapi kemudian aku mencoba menapakkan kaki dengan tegas dan mulai berlari. Berkejaran dengan waktu. Sampai, akhirnya kini, gelar Sarjana Ekonomi Islam sudah terpajang di belakang namaku. Memperpanjang namaku yang memang sudah panjang. :D

Itulah kawan, secercah kisah yang menunjukkan manisnya buah dari pohon bernama komitmen.