Sabtu, 27 April 2013

TETAP NGAJI, TAPI JANGAN LUPAKAN DAKWAH !

Bismillahirahmanirrahim..

Sudah lama gak nge-blog rasanya gimanaaa gitu. Beneran. Makanya sekarang, di sela-sela jadwal yang agak ruwet, aku menyempatkan jemari menari demi hobi blogging yang ecek-eceknya tak pernah padam. *eeaakk.

Jadi setelah sekian lama ini, pasti rada-rada bertanya-tanya kenapa aku gak nge-blog lagi. *eh, perasaan ada yang nanya si lita ini lah* Oke, oke, klarifikasi, aku yang bertanya-tanya sendiri. Kenapa ngerjain naskah yang deadline-nya mepet, selalu berusaha menyempatkan diri, sementara hobi blogging ini terabaikan. Padahal disini, tulisan cakar ayam ini bisa dinikmati siapa saja. Sementara kalo naskah yang udah terbit itu kan bacanya kudu beli bukunya dulu tuh. Nah, atas dasar ingin membagi corat coret, aku berniat gak bakal melepas hobi blogging. *doakan saya. :D kayak mau pemilu gitu.

Well, kali ini aku ingin membagi sepetik ilmu yang kemaren kudapat secara tidak sengaja dalam perjalanan pulang dari Desa Baru menuju Medan sehabis berdakwah, membagi ilmu dengan bocah-bocah disana. Yup, perjalanan yang memakan waktu paling tidak satu jam itu alhamdulillah terisi dengan kalimat-kalimat penuh manfaat. Memperluas cara pandang. Minimal buatku yang masih ‘bodoh’ ini.
“Tadi abang ngapal tiga hadis loh,” ujarnya sambil mengendarai motor.

“Oya? Hadis apa aja, bang?” tanyaku antusias. 

Dia kemudian mulai membacakan ketiga hadis yang dihafalnya itu. Mengajarkan maknanya. Pelan-pelan, sampai aku paham. Maaf saja, dalam kondisi berkendara dan mengenakan helm di jalan raya membuat pendengaran sedikit terganggu saking bisingnya.

Ada satu hadis yang saat itu menarik perhatianku. Aku lupa bagaimana persisnya redaksinya. Sudah usaha searching juga gak ketemu. Tapi maknanya itu lebih kurang begini, bencana akan tetap datang pada suatu golongan yang diantara golongan tersebut ada sebagaian yang taat beribadah, selagi yang taat beribadah itu tidak mencegah kemungkaran yang diciptakan sebagian yang lain. Si ahli ibadah tadi sibuk beribadah untuk dirinya sendiri hingga secara tidak sadar mengabaikan sebagian lagi yang malah sibuk berbuat mungkar. Nah, di dalam hadis tersebut, bukan hanya yang berbuat mungkar yang akan didatangkan bencana atasnya, tapi juga buat si ahli ibadah.

“Kita ini, ummat yang berdakwah, bukan beribadah,” jelasnya. “Bayangkan saja dulu, para sahabat yang ada waktu haji wada’ hanya beribadah untuk dirinya sendiri, tidak menyebar syiar ke seluruh penjuru dunia, mana mungkin islam nyampek sini.”

“Kita itu ummat terbaik, tahu kenapa? Kita ada dalam Al-Quran.  Dalam Surat Al-Imran ayat 110. Artinya, Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Nah, disitu udah jelas, kita disuruh berdakwah.”

“Gak ada alasan masih ngerasa belum cukup ilmunya. Masih harus belajar lagi dulu, ngaji lagi dulu, baru bisa dakwah. Loh? Sekolah di sekolah agama, ngampus di IAIN bertahun-tahun masa gak ada isinya sama sekali? Itu abang rasa bukan alasan yang logis.”

Kemudian aku ngacung, mo nanya. Sampe lupa kalo ini bukan materi di forum resmi. *biar gak jenuh klen bacanya. :p ngelees*

“Tapi kan di Al-Quran juga ada perintah jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Kan berarti disuruh memperbaiki diri dulu bang? Ngaji dulu?”

Saat membagi ilmu dengan adik-adik kecil di Desa Baru
“Iya. Tapi kan ilmu yang kita bagi itu gak bikin kita jadi gak memperbaiki diri. Iya gak? *setelah diingat-ingat, abang ini suka kali dengan kata ‘iya gak’. Hehe. Gak penting yak? :p* Kita, ummat akhir zaman ini imannya itu bukan naik turun, tapi ilang timbul. Nah, saat dakwah itulah kita bisa men-charge keimanan kita. Kalau cuma belajar-belajar aja, percayalah, nonsens itu. Kita butuh wadah untuk membagi ilmu kita. Contohnya nih, kita tahu jelas hadis tentang larangan makan dan minum sambil berdiri. Tapi dibuat juga. Kenapa itu? Karena kita gak men-syiar-kan. Jadi intinya, tetap ngaji, tapi jangan lupakan dakwah.”

“Kan kata rasul, sampaikanlah walau……..”

“Satu ayat,” sambungku yang memang ditunggunya untuk menyelesaikan hadis itu. Udah kayak di forum yang isinya anak kecil ya? diceramahin gitu sama ustadnya. :p

Nah, jadi dari obrolan itu, aku memetik banyak banget ilmu. Seperti yang kubilang di awal tadi, aku ini masih ‘bodoh’. Butuh banyak ilmu. Tapi semoga cukup cerdas untuk meyaring informasi-informasi yang kuterima.
Obrolan ini bermanfaat banget buat memperluas cara pandang. Aku jadi semakin semangat buat dakwah. Dan tentu makin menggebu buat ngaji.

Akhirul paragraf, semoga tulisan ini bermanfaat untuk memecut semangat kita buat belajar, dan membagi ilmu, ngaji dan dakwah. Semoga tulisan ini tak sekedar menjadi pajangan di rumah maya saya, tapi juga dibaca oleh kita, ummat yang berdakwah. Salam. ^_^

Kamis, 04 April 2013

MERAJUT KEBERSAMAAN DALAM BINGKAI JAMBORE IMAN DAN TAKWA

Menyapa pagi di tepi lau kawar

Keheningan malam di seputaran Danau Lau Kawar terusik dengan deru bus yang berjalan lambat-lambat. Beriringan, bus-bus carteran itu mencari tempat parkir untuk menurunkan penumpang-penumpang beserta barang bawaan mereka. Selang beberapa detik ketika suara mesin bus padam, yang terdengar adalah teriakan yang saling bersambut, “sudah sampai woi, bangun!”, “woi, turunkan wajan yang di atap”, “turunkan kompornya”, “sandalku mana?”, “cek lagi, ada yang ketinggalan apa enggak!” Panci, wajan dan kompor gas, serta peralatan dapur lainnya memang ikut andil dalam menemani perjalanan yang cukup melelahkan ini.  Ditingkahi suara jangkrik, lamat-lamat teriakan-teriakan itu mereda dengan sendirinya.
 
Jam sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB ketika saya dan rombongan peserta jambore iman dan takwa yang diadakan oleh Dewan Mahasiswa (DEMA) IAIN SU tiba di kaki Gunung Sinabung, di sebuah desa kecil bernama Lau Kawar. Dingin yang menusuk hingga ke sum sum membuat saya segera mengenakan beberapa tameng penghalau dingin, jaket tebal, kaus kaki dan sarung tangan. Lelah yang menggelayut memaksa saya dan teman-teman bergegas mencari (mendirikan, red) tempat bernaung dari dinginnya angin gunung.

Ketika beberapa orang masih berdendang ria di bawah pelukan rembulan, sisa malam itu saya dan teman-teman sesama peserta perwakilan dari LPM Dinamika habiskan dengan bergelut dengan selimut di dalam tenda. Sungguh terlihat kami tidak terbiasa dengan udara dingin menusuk tulang. 

Peserta terbanyak dari LPM Dinamika. :)
Jambore Iman & Takwa ini merupakan agenda tahunan DEMA. Acara perkemahan dengan tema mengukuhkan silaturahim antar UKK-UKM (LPM Dinamika, PMI, MAPASTA, LDK Al-Izzah, LKSM, Menwa dan Pramuka) itu berlangsung selama tiga hari dua malam dengan schedule yang menarik, di antaranya, menaklukkan Gunung Sinabung.  Mendaki gunung adalah terobosan baru yang dicanangkan DEMA. Jika tahun lalu hanya berkemah dan menuruni lembah menuju Air Terjun Dwi Warna, kali ini mendaki gunung, dan tidak tanggung-tanggung, yang di daki adalah gunung tertinggi di Sumatera.

“Acara ini memang sudah kami rapatkan dari jauh-jauh hari. Keputusan mendaki gunung Sinabung juga berdasarkan suara terbanyak”, ujar Muslim, Presiden Mahasiswa IAIN SU.

Seperti tema yang di usung DEMA, perkemahan ini benar telah mempererat tali silaturahim UKK-UKM. Hal ini terbukti saat mendaki gunung Sinabung. Kami (kru LPM Dinamika, red) yang notabene hanya terbiasa mengotak atik laptop, memburu berita dan menuliskannya, benar-benar masih sangat awam dengan  suasana pendakian, mampu mencapai puncak tertinggi. Kami tidak akan bisa jika hanya mengandalkan kekuatan tim kami sendiri. Keakraban dengan pengurus UKK-UKM itu terasa makin hangat ketika dipererat dalam keadaan yang saling membutuhkan satu sama lain.

Beban mental khawatir tidak mampu meneruskan perjalanan ke puncak yang kami tanggung ber-74, terasa sangat ringan. Tapi tim MAPASTA (Mahasiswa Pecinta Alam Semesta) yang baru kali ini menjadi guide untuk pendaki berjumlah 74 orang merasa cukup kewalahan juga.

“Biasanya orang kalau naik gunung paling banyak cuma 10 orang. Ini kita bawa 74 orang. Lumayanlah buat kering kerongkongan untuk ngasi komandonya”, sambil tersenyum Ateng, pimpinan tim MAPASTA menggaruk-garuk kepalanya.

Pendakian yang kami mulai sekitar pukul 9.30 pagi dan selesai ketika matahari hampir memasuki peraduaan itu cukup sukses membuat kaki-kaki kami terasa akan patah. Langkah kami terbilang lamban. Ateng memperkirakan pendaki pemula seperti rombongan yang dibawanya akan tiba kembali di Lau Kawar pukul 5 sore, tapi kami baru tiba ketika hari hampir gelap. Pendakian yang menjadi pengalaman pertama bagi hampir separuh peserta jambore ini aku yakin akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan. 

“Ini pertama kalinya aku naik gunung. Ku rasa aku mau lagi kalau di ajak daki lagi kapan-kapan. Yang ini memang benar-benar pengalaman pertama yang sulit buat dilupakan”, Rizal, peserta jambore dari tim PMI tersenyum sambil mengurut-urut kakinya.

“Aku juga mau lagi, tapi nanti, sampai aku lupa rasa sakit dan capek ini”, temanku dari tim Dinamika memotong, juga sambil memijati kakinya.

Dalam hati aku membenarkan ucapannya.

Kami kembali ke Medan esok harinya, setelah di kunjungi oleh PR3 (Pembantu Rektor 3), Prof. DR. Lahmuddin Lubis M.Ed beserta rombongan. Ditemani rintik hujan, kami, para peserta jambore mendengarkan nasihat-nasihat yang beliau kemas dalam kata sambutannya dengan takzim. Setelah di lanjutkan dengan foto bersama, kami mulai mengemasi barang-barang untuk segera kembali ke Medan. Sudah rindu rasanya dengan udara kota medan yang “agak” panas setelah 3 hari berada di kaki Gunung Sinabung yang dingin.