Rabu, 31 Juli 2013

AKU PENGEN KE JOGJA ^o^


Kalau ada istilah untuk orang yang pengeeen banget keluyuran keluar kota demi menikmati keindahan yang terhampar disana tanpa menguras kocek yang gede, --selain backpacker dan pelancong—aku kayaknya cocok buat ngedapetin atau make istilah itu. Kenapa? Kayaknya tanpa dijelasin juga udah pada tau dong ya? *nyengir

Yah, begitulah. Obsesi aku buat jalan-jalan keluar kota, keluar pulau Sumatera bikin aku nguras ide buat nyari sebutan yang pas. Soalnya aku bener-bener gak pantes buat ‘backpacker-an’. Alasan yang paling mendasar, nih. Backpacker itu bawanya ransel, nah aku, bukan cuma ransel, koper juga dibawa. Dan gak pantes buat make nama ‘pelancong’, soalnya dompetku gak tebel-tebel amat. -_-“

Belakangan, destinasi yang paling pengen aku kunjungi adalah Jogja dan Makassar. Berhubung belum pernah sama sekali, jadi agak alay memang. Maklum aja deh ya. Hehehe. Aku terpesona banget sama keindahan Pantai Parangtritis-nya Jogja dan Pantai Losari-nya Makassar. Bukannya di kotaku, Medan gak ada pantai sih. Banyak malah. Tapi, ya, kadang-kadang, rumput tetangga emang kelihatan lebih hijau dibanding rumput sendiri. *nyolong iklan*

Bus TransJogja
Nah, pas ngubek blognya Arga Litha, aku nemu artikel Uniknya Jogja. Wah, nambah pengetahuan nih. Kali aja ada rezeky buat plesiran kesana. Aku jadi tau, kalo naik bus Trans Jogja itu gak boleh bawa barang yang banyak. Dan kalo pun memang kebanyakan belanja souvenirnya, kan Malioboro dekat sama stasiun Tugu, jadi bisa dipaketin aja. Lebih gampang kan? 

Rujak Es Krim

Terus, aku jadi tau satu lagi kuliner Jogja yang kudu dicicipi. Rujak es krim. Seperti apa bentuknya? Aku juga gak tau sebelum ngulik blognya Arga. Hehehe. Dan lagi, aku juga jadi tau, kalo mau ke salon atau ke tempat refleksi, kudu ‘teliti.’ Jangan sampe ‘salah’ masuk. Lho? Kulik lagi deh blognya Argha. ;)

Selain ngebolang ke Pantai Parangtritis dan Malioboro, aku nemu dua lagi destinasi keren yang harus dikunjungi kalau kakiku menjejak Kota Pelajar itu. Dialah Istana Air Taman Sari dan Vredeburg, Benteng Perdamaian.

Istana Air Taman Sari

 Di Jogja yang masih sangat lekat dengan budayanya, aku gak bakal menyia-nyiakan waktu buat bersantai di pantai dan berburu oleh-oleh di Malioboro. Bukan cuma akan berkunjung ke keraton, tapi harus juga ke Istana Air Taman Sari. Aku bakal menyesap udara yang masih menawarkan aroma kerajaan. Menikmati setiap sudut  Taman Sari yang dibangunkan Raja Hamengku Buwono I untuk sang permaisuri yang telah membantu perjuangan selama masa perang. Sudah pastilah Taman Sari itu indah. Namanya juga hadiah buat orang yang dicinta, tho? 

Satu lagi, Vredeburg, Benteng Perdamaian. Seperti quote yang sering kudengar, bangsa yang hebat adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah. Dan generasi hebat, adalah generaasi yang menolak lupa pada sejarahnya juga. Jadi, museum juga adalah destinasi yang jangan sampai terlewat. Kalau dulu, perspektif-ku tentang museum adalah tempat belajar alternatif buat siswa-siswa sekolah dasar, sekarang berbeda. Ternyata ada museum yang tidak membosankan.

Vredeburg, Benteng Perdamaian
Dan taraaaa… Inilah dia, Vredeburg. Tidak hanya menambah isi kepala dengan pengetahuan-pengetahuan yang bisa kita gali disana, mata juga disuguhi pemandangan yang seru. Dengan empat diorama, tersaji pemandangan berbeda pula. Dan keempatnya kudu di jelajahi semua. Gak peduli kata Artha yang di diorama empat itu sedikit ‘seram.’ Yang penting semuanya kudu diabadikan dengan mata sendiri, selain oleh mata kamera. :D

Well, itulah tiga artikel termenarik versi aku yang memang kebetulan sedang amat sangat pengen berkunjung ke Jogja. Walaupun belum tau nih, kapan ada langkah buat kesana, paling tidak aku sudah punya gambaran destinasi apa saja yang akan kutuju nantinya. Dan yang paling penting, udah tau kalau belanja oleh-olehnya kebanyakan, tinggal di paketkan via kereta aja di Stasiun Tugu. Hehehe. 

Setelah membaca ulang artikel ini, aku semakin pengen ke jogja. Beneran!

Mungkin setelah destinasi keluar kota pertama kali tahun ini ke Bandung, aku harus menyiapkan jadwal untuk destinasi selanjutnya, Jogja. 

Yah, setelah Kota Kembang, Kota Pelajar akan menjadi tujuan selanjutnya. Kota Daeng masuk urutan setelahnya. Hehehe.


Minggu, 28 Juli 2013

What I Think About ‘Habib Think’

Dengan judul blog ‘Habib Think’, jelas sudah isi dari ruang-ruang rumah maya si empunya adalah jalan fikirannya. Caranya menilai sesuatu dari sudut pandangnya sendiri, mengulas hal-hal yang menurut kebanyakan orang wajar, menjadi layak untuk dipapar kembali.

Setiap bilik dari blognya, menawarkan aroma pemikiran yang berbeda. Salah satu yang aku favoritkan adalah artikel dengan judul ‘Ustad Bagus Ustad Jelek.’ Seperti yang kubilang di awal, ia mengulas hal yang kita terima secara wajar menjadi harus kembali ditatar. Pemikiran yang ia kemukakan berbeda dari pemahaman yang ada di kepalaku. Bahkan kurasa, dari pemikiran orang kebanyakan.

Disana, Habib Asyrafi, pemilik blog 'Habib Think' mengurai tentang bagaimana kita, para pendengar ceramah, atau sebut saja pencari ilmu, malah lebih suka mendengarkan ustad yang ‘asal,’ yang isi ceramahnya lebih banyak yel-yel, sorakan-sorakan, dan humor. Kita, yang kalau kata Habib, ‘penonton manja’ lebih suka mendengar ceramah yang mengemukakan kebaikan-kebaikan kita, bukannya nasihat. Dan itu membuat para da’I harus menyesuaikan diri. Tentu saja agar tidak ditinggalkan jamaahnya. Wah, miris ya. Sekarang, para guru itu yang mencari murid, bukan malah murid yang mencari guru. 

Kalau saja, ia tidak mengurai ini dalam ‘Habib Think’, bisa jadi kita, atau aku secara pribadi, tidak mempermasalahkan hal ini. Hal yang secara tidak langsung bermakna, kita adalah murid yang sembarangan memilih guru yang benar-benar guru. Yang benar-benar mendidik. Meski memang aku tidak begitu menyukai guru yang terlalu pintar berakting itu, yang bisa membuat jamaahnya tertawa-tawa, dan kemudian pura-pura menangis dalam doa. Aku tidak kepikiran kalau itu juga adalah akibat tuntutan dari media sebagai wakil dari, ya, penonton manja.

Di akhir artikelnya, Habib menuliskan sebuah quote, “Jika kau memilih gurumu dengan baik, mereka akan memilihkan jalan yang baik untukmu. ” Semoga kita, para pencari ilmu lebih selektif memilih guru, memilih muallim, memilih ustad, dan memilih dai untuk menjadi panutan.

Kurasa, membaca pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam ‘Habib Think’ akan menambah wawasan dan keluwesan cara berpikir. Pembaca yang cocok untuk blog ini juga adalah mereka yang mau berpikir. Mereka yang tidak merasa cukup dengan pemahaman yang tersaji di depan mata tanpa mau menelaahnya lebih lanjut.

Untuk dapat lebih menarik, mungkin background blog, dan tata letaknya dapat dibuat lebih ‘hidup.’ Dengan warna yang lebih ceria, mungkin pembaca akan lebih betah. Tapi kembali lagi, bisa jadi ini menunjukkan kepribadian si pemilik blog. Apapun itu, inilah kekurangan yang paling mendasar menurutku. 

Well, ‘Habib Think’ adalah Habib Asyrafi dalam versi tulisan, yang tidak jauh berbeda dengan versi aslinya.

Sabtu, 27 Juli 2013

ITU KAN BAJU MAMA

Kalau ngomongin soal mama, selain tentang nasihat-nasihat panjangnya yang ngalahin jalan terpanjang yang ada di Medan, aku juga ingat akan kekonyolan-kekonyolan yang aku dan mama pernah lakoni. Semuanya selalu bikin ngakak atau paling enggak nyengir. Bukan karena sekedar cetarnya kelakuan kita berdua, tapi juga karena malunya aku yang dibikin mati kutu sama mama, atau muka yang bak kepiting rebus juga karena mama. Dan belum lagi mama yang jadi salah tingkah karena ulahku. Fiuuh. Kalau aja aku anak yang tidak berbakti dan enggak lihai mencuri hati, kali aja mama udah ngutuk aku jadi kecebong. >_<

Untungnya, kekonyolan yang kami ciptakan itu berakhir sebagai bahan lucu-lucuan. Hiburan buat kita kenang, dan tentu mereka-mereka yang beruntung menyaksikan. Yah, aku memang dibikin malu semalu-malunya, tapi ternyata di balik itu, aku punya cerita yang akan menghibur kalian, pembaca setia yang suka nongkrong di blog-ku tersayang ini. Serta, pesan moral yang kudu kita amalin sama-sama. :)

Salah satu kisah unik, ehmm, bukan unik sih, malu-maluin lebih tepatnya, adalah pas aku mau pergi kondangan. Jadi ceritanya, badan mama dan aku gak begitu beda ukuran. Bukan, bukan aku yang gendut. Tapi mama emang agak langsing karena memang gak bisa dibilang bener-bener langsing, sih. Kebetulan waktu aku lagi ngobrak-abrik lemari buat nyari padu padan busana yang cakep dan unyu buat di pake, lemariku lagi blong. Alias semua baju-baju keren lagi ada di tumpukan pakean kotor dan sebagian lagi nangkring di baskom pakean yang belum disetrika.

Aku mikir, kalau nyetrika lagi, bakal kelamaan. Sementara teman-teman bakal jemput sebentar lagi. Sembari mikir, aku mengedar pandang kesana kemari, nyari-nyari sosok mama yang dari tadi gak keliatan. Beberapa detik kemudian, mataku mendarat di pintu kamar mama yang agak terbuka sedikit. Pelan-pelan aku masuk. Tak kutemukan mama disana. Dan you know what? Aku ngobrak abrik lemari mama. Yah, siapapun tahu, koleksi baju-baju mama kita pasti lebih banyak, lebih bagus, dan tentu lebih mahal dari pada punya kita sendiri.

Dan, taraa…! Aku menemukan baju keren warna hijau tosca dari balik daun pintu lemari mama, dan menyambar ban pinggang keren dari gantungan yang juga ada di lemari. 

Aku gak ingat baju itu dibeli mama kapan, dan berapa harganya. Yang kutahu, baju ini keren, dan aku juga akan kelihatan keren saat mengenakannya. Tepat, aku puas menyaksikan penampilanku dengan bantuan cermin gede. Yang juga masih milik mama. Eh, kayaknya, semua yang oke-oke itu punya mama semua ya? -_-"

Udah merasa cantik, aku mengendap-endap keluar kamar menuju pintu depan. Harusnya teman-temanku bakal datang sebentar lagi. Jangan sampai mama tahu aku make baju ini karena aku yakin seyakin-yakinnya, mama pasti protes. Yah, baju-baju mahal hanya untuk mama, memang.

Merasa di atas angin karena gak melihat dan mendengar suara mama dari tadi, aku mengambil posisi duduk manis di kursi depan. Kayaknya mama keluar deh, kali aja belanja, atau silaturahmi ke rumah tetangga.

“Assalamualaikum,” sapa segerombolan cewe-cewe dengan dandanan khas kondangan, teman-temanku.

“Wa’alaikumsalam. Lama amat sih, yuk, buruan,” aku segera bergegas. Hellow, kalau sampai mama lihat, semua bakal kacau, dan kemungkinan terburuk, aku batal pergi.

“Izinnya ntar aja kalau udah di jalan,” sambungku lagi sambil mengajak mereka segera keluar.

“Lita!”

Deg! Itu suara mama!

Dengan adegan slow motion aku menoleh ke belakang, eh, kesamping. Kudapati mama terbelalak dengan kantung belanjaan di tangan.

“ITU KAN BAJU MAMA!”

Aku kaku. Teman-temanku juga.

Sesaat setelah sambaran geledek dari kalimat mama, aku tersadar. Buru-buru aku mencoba membuat mama bungkam. Tengsin euy, kalau teman-teman pada tau aku make baju mama.

Dengan usaha keras aku ngedip-ngedipin mata, berharap mama ngerti. Tapi yang ada malah……

“Kamu ngapain kedip-kedip gitu? Kualat kan, make baju mama gak bilang-bilang! Lagian, masih gadis kok pake baju ibu-ibu,” omel mama panjang tanpa peduli akan kehadiran teman-temanku.

 “Mamaa…” keluhku miris.

Aku tau teman-temanku turut prihatin, sampai Ayu bilang, “yaudah, ganti dulu sana, bajunya.”

Asli! Aku malu abis!

Dari kejadian konyol nan memalukan, serta dengan kadar tengsin yang mematikan itu, aku akhirnya memetik beberapa pesan moral.

Pertama, jangan pake adegan slow motion ketika ngerasa kepergok. Bagusan ngacir aja. Hehehe.

Kedua, ajari mama kita isyarat-isyarat. Salah satunya masalah kedipan mata. Jangan sampe pas kita kedip-kedip ngasi isyarat kita disangkain kualat.

Ketiga, ini yang terakhir dan paling penting. Jangan make baju mama tanpa izin.

Semoga tulisannya gak cuma bikin nyengir, tapi juga bermanfaat. Hehehe.. ^_^

*) Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway Perdana Fardelyn Hacky'sBlog dengan tema 'OMG, My Mom!'


Kamis, 25 Juli 2013

SAYAP, KESEMPATAN, RAINBOW


Aku pengen baca ‪#‎RainbowEnimartini karena menurutku novel ini bisa dijadikan media untuk mengerti betapa perjuangan tetap dibutuhkan meski cinta telah disatukan dalam pernikahan & untuk mengerti makna ksmpatan ke-2.

Terlebih, kisah yang disajikan adalah kisah yang penuh pembelajaran. Pernikahan akan membuat bidadari tanpa sayap bisa terbang dengan bantuan kedua sayap pasangannya. Tapi, ketika si pasangan kehilangan sayap, haruskah bidadari itu ikut terhempas ke tanah, atau merajut sayap baru untuknya? Mba Eni Martini mengemas apik novel ini dengan pesan-pesan yang semoga menginspirasi kita semua.

***
Dulu, aku salah satu penggila ‘sayap.’ Bukan cuma sayap ayam goreng. Ini lebih dari itu. Sayap yang kumaksud adalah sayap seperti yang dimiliki peri-peri dalam dongeng. Sayap dalam arti harfiah. Berfungsi untuk bisa membawaku terbang.

Ya, menggilai sayap memang bukanlah hal yang wajar. Aku mendambakan hal yang sama sekali mustahil. Sesekali, aku bermimpi menjelma peri dan terbang berkeliling dunia dengan sepasang sayap dengan corak indah. Bahkan mengalahkan cantiknya sayap kupu-kupu. Rasanya aku tak butuh apapun lagi. Aku hanya butuh sepasang sayap, dan itu sudah cukup. 

Sayangnya, mimpi itu hanya sebatas mimpi. Aku akhirnya terjaga. Sayap peri adalah hal mustahil untuk kumiliki. Dan selamanya itu hanya akan menjadi khayalan kosong. Kemudian seseorang hadir. Menawarkan ‘sayap’ dalam makna berbeda. Tapi dengan aroma kebahagiaan yang sama.

Dengan senyum lebar, aku menyambutnya. Dan ya, aku, aku ternyata bisa terbang dengan ‘sayapnya,’ dengan cintanya.

Tuhan selalu memberi hambaNya kesempatan untuk menggapai mimpi meski dengan cara yang berbeda. Barangkali, saat itulah aku benar-benar mengerti akan suatu quote, ‘Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.’ Dan untuk itu, aku dengan penuh syukur berujar dalam hati, “terima kasih untuk semua rencanaMu ya Rabb. Aku bahagia.”

Dengan ‘sayap’ itu, aku bisa melihat pelangi dari jarak yang sangat dekat. Menikmati wewarnanya semauku. Bahkan menyentuh lembutnya dengan jemari kecilku. Bersama ‘sayap’ itu, aku yakin, Tuhan sangat menyayangiku dengan cara yang tidak kuduga. Memberiku kesempatan memiliki ‘sayap’ untuk menikmati indahnya pelangi. Dan semoga memberiku kesempatan untuk memiliki ‘RAINBOW’ demi menelisik pesan-pesan inspiratif yang tersaji di dalamnya. 

*) Tulisan ini diikut sertakan dalam Giveaway Rainbow.  :)

Jumat, 19 Juli 2013

Cerdas Memahami Mantra


Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillah, malam ini, setelah menuntaskan ibadah solat taraweh dan tadarusan, jemariku kembali dituntun Allah untuk menari. Menggoreskan sepatah dua patah kalimat yang insya Allah ‘berisi.’ Jika tidak untuk pembaca, mudah-mudahan, iya buat aku sendiri.

Ya, buatku, menulis adalah relaksasi. Media untuk menumpahkan gundah, galau, juga rasa bahagia. Dengan menarikan jemari, aku merasa bebas, lepas, kutinggalkan semua beban di hatiku. Melayang ku melayang jauh. Melayang ku melayang. *tuh kan, jadi nyanyi, entah seperti apapun korelasinya. :D

Oke, kita coba serius. Ini tentang sepotong kalimat yang sering di gaung-gaungkan pengusaha-pengusaha muda, milyarder yang sudah berpengalaman, dan mereka-mereka yang menganggap menjadi ‘gila’ itu harus. ‘The Power Of Kepepet.’

Yap, the power of kepepet. Kekuatan saat terdesak.

Kalimat ini pasti udah gak asing lagi di kuping kita. udah bukan hal baru yang kita harus bertanya-tanya, ‘apaan tuh?’

Hari gini kan ya? Kalo masih ada yang gak tahu, aku rekomendasikan buku-bukunya Ippho. Cek deh.
Yang mau aku bahas disini, bukan mengenai apa itu kekuatan saat terdesak, tapi korelasinya dengan kehidupan kita sehari-hari. Keterkaitannya dengan aktivitas yang kita lakukan. Serta masih pantaskah kita mengagungkan kalimat itu.

Jadi gini, menurut pandangan dari kaca mataku *sekalipun aku gak pake kaca mata* kekuatan itu malah ngebuat kita malas. Kita dibikin ngerasa gak masalah untuk menunda-nunda pekerjaan. Yang ada di fikiran kita lebih kurang gini, ‘tenang aja deh. Ntar juga kalo dikebut selesai juga.’

Itu dia, secara sadar atau tidak, kalimat ‘the power of kepepet’ itu udah mengakar kuat di kepala kita. Dan parahnya, kita bersembunyi di balik kalimat itu. Menjadikannya tameng untuk menutupi kemalasan kita. Kalau udah akut, bisa aja kita gak cuma malas, tapi juga sepele. Dan FYI, sepele itu kerap membuat kita jatuh sejatuh-jatuhnya ke dalam jurang yang dalam sedalam-dalamnya. *cadas!

Contoh paling simpel nih ya. Tentang deadline. Namanya juga deadline alias ‘garis mati’, kalo gak nyampe garis, ya mati. *asal banget* Tapi gak apa-apa deh, buat memperkuat kalo deadline itu ya deadline. No tawar. Harga pas!

Untuk kita yang sering dihadapkan sama yang namanya DL, udah ngerti lah ya seberapa keramat kata-kata itu. Dan apa resiko yang bakal kita dapat kalo melanggarnya. Well, udah sebegitu pahamnya pun, masih juga banya yang sepele sama si garis mati. *fiiuuhh*

Nah, kebetulan, aku adalah salah satu dari calon pelanggar garis mati. Jadi ceritanya, kemaren, aku ikutan kompetisi menulis novel nih. Ada jangka watu satu bulan jelang garis mati. Setelah di taksir-taksir, kayaknya bakal bisa kelar lah sebelum DL. Tapi, ya, namanya juga manusia, alasan ini itu bakal jadi kambing hitam. *kasian si kambing hitam*

Walhasil, naskah pun belum jadi di DL-2. Mana harus ada video promonya, kudu di apload ke youtube dan di sertakan link-nya di formulir. Jadilah hari itu aku memeras otak buat ngelarin sekitar 8 halaman a4 dengan 1 spasi. Plus sinopsis 2 halaman. Tahu gimana rasanya ngerjain sebegitu banyak naskah dalam waktu singkat dan perasaan yang diuber-uber? Yang jelas, gak enak.

Ini dia. Ini bisa saja terjadi karena aku sepele. Karena aku menganggap sesuatu yang dahsyat akan terjadi pada jemariku saat itu, dan dia bisa menari sendiri, tanpa aku harus capek-capek mikir. Atas dasar apa aku bisa mikir gitu? Apalagi kalo bukan mantra ‘the power of kepepet.’

Hasilnya pemirsa, aku capek super. Bukan cuman otak yang dipaksa bekerja ekstra, tapi juga pinggang yang nyaris gak bisa dilurusin lagi. Dan percaya, deh. Itu bener-bener gak enak. Kalo bisa, jangan sampe ada yang ngerasain kayak yang aku alami.

Ending dari kisah itu, iya sih, aku alhamdulillah berhasil menyelesaikan semuanya. Naskahku berangkat juga menuju meja juri di pulau seberang sana. Tapi kalau saja waktu bisa diputar ulang, aku gak mau semuanya berlangsung seperti ini. Menulis itu sesuatu yang menyenangkan seharusnya, tapi kemarin, aku benar-benar kesiksa.

Bayangin kalo aku gak bisa nyiapin semua, perkara dua hari nih, kerja keras selama sebulan kemarin percuma. Gak kebayang gimana keselnya, sedihnya, dan perasaan-perasaan gak enak lainnya.

Well, cukuplah pengalaman itu jadi pelajaran yang amat sangat berharga. Jangan sampai terbuai dengan mantra yang ngebikin semuanya layak untuk ditunda-tunda, apalagi di sepelekan.

Kekuatan saat terdesak itu bisa jadi bekerja, tapi kalau saja kekuatan itu kita paksa hadirkan saat santai, bisa jadi akan lebih maksimal. So, cerdaslah dalam menyelami mantra-mantra yang ada. The power of kepepet, mungkin bijak. Tapi bisa jadi ‘you can do the best when you in cool zone’ lebih tepat buat kita.