Minggu, 24 Februari 2019

IBU BEKERJA ATAU IBU RUMAH TANGGA


Bismillahirrahmanirrahim.

Kolaborasi suami istri yang sama2 doyan jalan wkwk
Setelah sekian lama tenggelam dalam kehidupan rumah tangga dengan segala keriweuahnnya, walhasil blog update tak muncul2. Hehe. Sudah itu, sedang keranjingan baca komik di webtoon pula. Padahal dulu sempat uninstal sekian lama, eh, sekarang daku kembali tergoda. Wkwk.

Aku gak becanda waktu ngetik “rumah tangga dengan segala keriweuhannya” loh. Ternyata kehidupan pasca menikah dengan kehidupan kita pra menikah itu sama sekali berbeda. Kehidupan sebelum menikah jelas lebih simpel. Kenapa simpel? Karena kita ngatur diri kita sendiri, mengurus diri kita sendiri, dan bebas melakukan apapun yang kita suka. Contohnya kayak aku dulu. Aku beberes rumah kapan aku suka. Nyuci baju, ngelap2 meja dan jendela, nyetrika, ganti seprei, ganti gorden, dan sodara2nya itu semuanya ku-lakukan kapan aku mau.

Masak? Ini salah satu kerjaan yang aku paling gak suka dari dulu. *Plak!* Gak tau kenapa, aku memang lebih suka mengerjakan pekerjaan rumah yang lain daripada berlama-lama di dapur. Sampai mamaku bilang, “belajarlah masak. Nanti belum tentu suami-mu mau masakan orang, atau makan lauk kede.” Saking kepikirannya sama apa yang dibilang mamak, sebelum nikah aku laporan sama si calon suami, “aku gak pande masak, mas. Mas yakin mau nikah sama aku?” Do you know what the answer? “Gak pande bukan berarti gak bisa. Lagian sekarang zaman online, mau masak apa tinggal search. Lagian mas bisa masak kok.” Berkali-kali diomongin, dan berkali-kali pula jawaban ngademin yang eke terima. Apa gak makin lope-lope awak ya kan. Wkwkwk.

Dan ketika akhirnya kami menikah, disinilah kisah perjuangan karena cinta itu dimulai. *Hatsyim* Kemeriahan pesta pernikahan kami berlanjut dengan keriweuhan hidup pasca menikah.

Di rumah bareng, kerja bareng. :v
Oh iya, aku tidak resign dari pekerjaan walaupun sudah menikah. Ini sudah menjadi kesepakatan kita. Jadi setelah menuntaskan cuti menikah seminggu, kita kembali pada rutinitas pergi pagi, pulang sore. Sama seperti sebelumnya.

Bedanya, kalo dulu pulang ngajar sore, biasanya aku mandi, solat, makan, dan leha2 di depan tv sampek ngantuk. Lah sekarang? Hahahahhaha. Disinilah perjuangan cinta itu, kawan! Pulang ngajar, dengan lelah yang teramat, daku mandi, sholat, dan kemudian berjibaku di dapur. Masak. Iya, MASAK. *Bukan gak ngeri. Wkwkwk.

Gak tau deh ya. padahal dulu mamaku juga kek gitu. Pulang kerja sore, masak jugaknya. Biasa aja tuh. Tapi pas aku yang ngalamin kok rasanya gimanaa gitu ya. Hahahaha. Makanya wahai para anak gadis, terbiasalah dengan dapur. Karena begitu menikah, kamu gak akan tega lihat suamimu kelaparan. Rasa gak tega itu muncul karena cinta. Jadi kalo udah gitu, ya mau gak mau ke dapur jugak lah awak ya kan.

Di bulan-bulan pertama pernikahan, aku sampek ngebikin suamiku makan malam jam 10 malam. Situ orang udah mau tidur, situ baru makanannya siap. Kadang-kadang, kalo pas capek kali, aku minta mas bantuin bikin martabak aja. Parahnya, pernah pas kecapekan kali, habis maghrib aku ketiduran. Bangun-bangun mas udah siap makan pake telur ceplok. T_T Maka dari itu, kembali lagi kuingatkan wahai para anak gadis diluar sana, belajar akrab sama dapur dan masak memasak ya, dek. Percayalah, walaupun kita perempuan mandiri, bisa cari duit sendiri, ternyata juga akan merasakan “sakitnya tuh disini” kalo ngeliat suami makan pake telur ceplok doang. Walaupun dianya juga gapapa, karena tau kita capek banget. Tapi bener, nancepnya tuh di dada. Cius!
Zaman masih muda.. :v

Dulu, waktu mamaku bilang, “belajar masak lah, ci. Nanti ... bla..bla..bla..” Aku cuman mikir, kenapa sih, aku udah sekolah tinggi-tinggi, punya karir, masih tetaaapp aja ujungnya ke dapur. Dulu aku yang sok paten ini mengira, yang penting kita punya uang, jadi bisa dipake buat bayar ketring, atau beli makanan, atau bayar orang buat masak di rumah. Apalagi kan kalo udah seharian kerja, udah capek, masa iya sih masak lagi? Gue Lita, bukan Samson. Tenaga dari mana?

Tapi ternyata benar. Aku gak pande masak. Tapi suamiku lebih memilih makan hasil masakanku dari pada beli makanan diluar. Bahkan aku pernah nawarin buat ketring aja, tapi suamiku malah bilang, “kalo adek capek, mas bisa kok masak.” Apa gak makjleb kali. Manalah ambo tega, uda. T_T

Jadi keriweuhan kehidupan rumah tangga yang kuhadapi adalah rutinitas seperti ini :
Bangun pagi – Berangkat kerja – Pulang kerja – mandi – sholat – makan makan – masak (buat sarapan dan bekal makan siang besoknya). Dan ini adalah siklus yang berulang setiap hari. Sesekali diselipi dengan cuci baju, nyetrika, ngelap-ngelap, ngepel, dan seterusnya, dan seterusnya.

Memang harus kuakui, rumahku dari berbagai sudut gak akan bisa serapih, sebersih, dan seelok para ibu yang memilih untuk mengabdikan diri sepenuhnya di rumah. Semampunya, aku berusaha untuk menjadikan rumahku surgaku. Tapi apa daya, rutinitas pekerjaan yang memaksa aku untuk hanya punya waktu di rumah dari jam setengah tujuh sore sampai setengah tujuh pagi esok harinya berujung pada kesimpulan seperti di atas ; “rumahku, sebagai seorang ibu bekerja, tidak akan serapih rumah milik ibu rumah tangga.”

Namun demikian, hidup adalah pilihan. Mas suami dan aku sepakat bahwa aku adalah ibu bekerja. Maka kami secara otomatis bekerja sama disemua bidang, segala aspek. Mulai dari hal ribet, sampai hanya sekedar hal remeh temeh kayak ngecek seluruh pintu rumah sebelum tidur. :v

Mas suami memaklumi aku, dan aku memakluminya. Aku menghargai pemaklumannya atasku ; kayak aku yang mengkek minta dikawanin berjibaku di dapur walaupun cuman jadi penonton. *Padahal jelas banget dia pengen nonton ILC. Wkwk. Karena ya kapan lagi coba kita ngobrol?* Dan dia menghargai pemaklumanku atasnya ; pengen dilayani kayak raja, karena dia memang adalah raja di rumah kami.

Saling memahami dan memaklumi itu indah, Marimar.

Kembali lagi, menjadi ibu bekerja atau ibu rumah tangga, keduanya adalah opsi yang kita pilih bersama pasangan. Menjadi ibu bekerja, berarti keduanya harus rela untuk bahu membahu mengurus rumah bersama. Menjadi ibu rumah tangga, berarti sumber penghasilan keluarga hanya dari suami saja. Keduanya sama-sama baik. Tinggal memilih saja.

Tapi sayang-sayangkuh, my dear, para anak gadis diluar sana yang kelak akan menjadi seorang istri, kakak ingatkan, apapun pilihan yang kelak kamu dan suamimu ambil, kamu tetap harus punya kemampuan, punya keahlian untuk mengerjakan hal-hal mendasar dikeluargamu kelak. Salah satunya masak. Soalnya dek, ternyata ibu negara aja, yang suaminya itu presiden, blio juga masak. Nah apalagi kita ya kan?

Setiap istri, baik dia ibu bekerja atau ibu rumah tangga, harus bisa masak, dan harus bisa dandan. Jangan sampai karena keasikan ngurus pekerjaan, si ibu bekerja lupa caranya masak. Juga jangan sampai karena terlalu seru menata rumah dan memasak, ibu rumah tangga lupa caranya berdandan. Suami butuh dimanjakan mulai dari mata sampai ke perut. Bayangin gimana pahalanya kalo suami ridho sama kita.

Ini hanya uneg-uneg ibu bekerja yang mungkin udah basi banget di kalangan pe-rumah tangga-an. Kalo gak dituliskan rasanya sayang, mumpung idenya datang, dan mengingat blog udah sawangan, kelamaan gak dipegang. Maka dari itu, selamat membaca, semoga menginspirasi.

Ini editan, Fergusso. Jangan percaya kali. Wkwk.
Kecup manja buat ibu bekerja dan ibu rumah tangga yang berjuang demi cinta! Mwwaaahh...