Kamis, 03 Januari 2019

MY JOURNEY – THE WONDERFUL WEH ISLAND


Bismillahirrahmanirrahim.

Ini blogpost pertama di 2019. Semoga akan banyak perjalanan-perjalanan lain yang akan menjadi bahan untuk postingan selanjutnya. Aamiin. Hehe.

Penghujung tahun 2018 kemarin adalah penghujung tahun penuh kebahagiaan. Bersebab apa? Karena beberapa defenisi sukses 2018 sudah tercapai. Hihihi. Salah satunya, Alhamdulillah, 2017 masih single lillah, 2018 sudah menikah. Ciyeee...

Kemarin pasca menikah kita gak punya waktu banyak buat honey moon kemana-mana. Eh, honey moon? (Ciyeee.. lagi) Aku gak tau sih, honey moon itu penting apa nggak. Cuman karena emang aku suka jalan-jalan, jadi alasan honey moon itu sengaja dipake, biar berasa penting gitu jalan-jalannya. Hahahhaa.

Ada satu tempat yang dari dulu aku kepingiiin banget. Dulu pernah berencana mau berangkat, tapi selalu belum rezeky. Ada saja halangan. Kemarin bahkan detik-detik mau nikah aja, aku bahas ini duluan sama mas. “Abis nikah kita kita kesana ya. Yayayaa..” Mas cuman geleng2, “adek udah bilang ini sepuluh kali kayaknya. Iya loh dek, iya.”

See? Sebegitu-lah kepinginnya gue.

Tempat penuh daya tarik itu adalah Pulau Weh, yang kita lebih akrab sama nama kotanya, Kota Sabang. Trust me, Pulau Weh punya sejuta pesona yang bakal bikin kita betah berlama2 disana.

Ini akan jadi blogpost yang panjang. Aku akan bahas semuanya. Gak hanya tentang keindahan Pulau Weh, tapi juga tentang transportasi, akomodasi, konsumsi, sampai hal remeh temeh yang kita lalui selama disana. Semoga akan bermanfaat buat kamu yang mau nge-trip kesana, ya.

Kita berangkat dari Medan hari Selasa, tanggal 25 Desember 2018. Libur sekolah sih udah dari hari Minggu, cuman karena banyak hal yang harus diberesin dulu, akhirnya kita putuskan untuk berangkat hari selasa aja. Eh, sebenernya, aku sih yang ngatur trip ini. Mas suami cuman tinggal meng-ACC aja. Blio percayakan semuanya ke aku. Jadi aku yang nyari bus, nyari penginapan, sampai mikirin mau masak apa buat makan di jalan. Blio cuman bilang, “adek atur aja. Mas oke aja.”

Aku kan jadi bingung, kan. -_- Lantas teringatlah kawan2 yang udah pernah kesana. Langsung-lah inisiatif nelp mereka buat diskusi. Maaci banyak Beb dan Wina. *eemmmmaaahh.* semoga kebermanfaatan ini berbuah pahala yaa. :*

Oke, its time to work! Aku mulai download lagi Traveloka dan Trivago. Mulai berselancar, dan...  “Mas, ini bus-nya. Ini jadwal berangkatnya. Ini penginapannya. Gimana? Cocok kam rasa?” Anggukan blio adalah tanda ACC yang terus diikuti dengan booking semuanya di hari yang sama.
Aku kemarin milih Bus Sempati Star yang tipe super executif. Harga tiket di Traveloka Rp. 171.000. Pas ke loket buat nukar e-tiket jadi tiket kertas, aku lihat harga untuk tipe bus serupa Rp. 180.000. jadi buat kamu yang kepingin berangkat, pesan tiketnya dari jauh hari pake Traveloka aja. Emang sih sepuluh ribu. Tapi kalo berangkatnya bersepuluh, apa nggak udah seratus ribu jugak. (Omongan mamak2).

Perjalanan dimulai menuju Banda Aceh. Kita di bus selama 12 jam. Iya, dua belas jam! Jadi sangat disarankan untuk ambil perjalanan malam. Biar gak terasa kali. Terus, siapkan bontot buat makan malam dan sarapan besok paginya. Pertama, biar bisa nekan budget. Kedua, biar gak kelaparan. Soalnya bus-nya berhenti buat makan malam itu jam 10 malam. Ketiga, biar gak terganggu bobo cantik-nya. Hihihi.

Hari Pertama

Kita berencana disana selama 3 hari 2 malam. Dan petualangan dimulai sejak kaki kita menapak di Terminal Batoh, Banda Aceh. Terminal Batoh ini bersih sekali. Tertata rapi. Masjidnya gak di-ujung-ujung. Letak masjid dimana-mana pasti di ujung-ujung. Tapi kalo disana, terletak di tempat strategis. Dan aku makin terkesima pas ke toilet. Toilet-nya bersih, airnya banyak. Pokoknya sangat berbeda dengan terminal2 bus yang pernah kusinggahi sebelumnya. Empat dari lima jempol buat Terminal Batoh.

Dari Terminal Batoh, kita beranjak ke Pelabuhan Ulee Lheu. (Baca : Ulele. Di aceh emang gitu, gaes. Tulisannya ribet. Padahal bacanya simpel.) Bermodal informasi tarif bentor dari internet, mas suami nyari bentor dan berhasil dapat harga Rp. 30.000 dari penawaran awal bapak bentor Rp. 40.000. Lumayan kan.

Sepanjang jalan menuju Pelabuhan, mata kita disajikan pemandangan Kota Banda Aceh yang rapih. Hampir semua bangunan baru. Pasca tsunami tahun 2004, Banda Aceh bangkit dan kembali tegak berdiri. Hari itu tepat peringatan tsunami ke 14 tahun. Banyak diadakan doa bersama. Sampai aktivitas pelayaran pun harus dihentikan sejenak. Pukul 10 pagi, setelah doa bersama, baru kapal boleh berangkat.

Dari Pelabuhan Ulee Lheu, menuju Pulau Weh kita pakai kapal cepat Express Bahari. Tiketnya Rp. 80.000 / orang. Belinya harus pake tanda pengenal. Perjalanan di kapal memakan waktu 45 menit. Kapalnya cakep. Aku ngeliatnya udah kayak kapal pesiar. Kita milih duduk di buritan kapal, jadi pandangan luas. Pas di jalan, banyak lumba2 lucu berenang dan lompat2. Uuhhh, baguuuusss banget! Dan syukur alhamdulillah, cuaca bagus. Laut tenang. (Ini yang paling dikhawatirkan, soalnya).

Dari jauh kelihatan Pulau Weh yang gagah. Masya Allah, senangnya hatikuuu. Terminal Balohan menyambut kami dengan hangat. Banyak porter, dan abang-abang rental mobil atau kereta (baca : motor. Orang Medan bilang sepeda motor itu kereta. Hehe.) menyapa ramah. Kita rental kereta dong ya. Soalnya berdua doang. Harga rental kereta macam-macam. Tergantung kamu bisa nawar apa nggak. Kemaren mas dapat harga Rp. 100.000/hari dari tawaran abang rental Rp. 150.000/hari. Oh iya, nge-rental kereta disana amat sangat gampang. Tanpa syarat. Pokoknya hari pertama bayar aja dulu. Dia gak minta KTP. Malah kita yang nawarin, “bang, KTP kami gak perlu?” Eh dia malah bilang, “gak usah bang. Potokan aja nanti KTP-nya, terus kirim ke WA, ya bang.” Thats all. Cerita punya cerita, rental disana gampang karena itu kereta juga gak bakal bisa kemana2. Soalnya mereka (para tukang rental) itu punya persatuan yang bekerja sama dengan pengelola kapal.

Destinasi pertama kita adalah Desa Wisata Iboih. Ini atas rekomendasi Wina. *Maaci cayang* Dari Pelabuhan Balohan menuju Iboih itu satu jam. Jalannya bagus. Eh, sepanjang berkendara di Pulau Weh, kita gak menemukan jalan rusak samsek. Semua jalannya bagus. Keren banget Pemda-nya. Tahu banget bikin wisatawan betah. Sepanjang jalan menuju Iboih, jalanan lengang. Beberapa menit berjalan, kanan kiri kita hutan. Suara jangkriknya kenceng. Hutan-nya rimbun. Selama kereta kita membelah hutan itu, aku berdoa dalam hati, semoga Allah memberi petunjuk, jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan. Terus kita ada ngelewatin jalan bekas longsor. Apa nggak makin ser2an awak. Tapi ini gak kuucapkan. Kata mas, kekhawatiran kita ketika dalam perjalanan, simpan saja sendiri. Kalo diceritakan, nanti bisa bikin semangat kawan down.

Finally, tibalah kita di Iboih. Alhamdulillah. Pertama memasuki gapura kita bayar registrasi Rp. 5.000. Terus kita langsung menuju penginapan. Aku sengaja milih penginapan yang di tepi laut langsung. Pemandangan kita langsung ke laut tanpa ada penghalang apapun. Emang harganya sedikit agak mahal, tapi itu cucok meong buat honey moon. Hehe. Kita nginap di Erick’s Green House. Tarifnya Rp. 350.000/malam. Kalo bukan buat bulan madu, kamu bisa loh ambil penginapan yang harganya lebih ekonomis. Kisaran harga mulai Rp. 250.000. Oh iya, buat kamu yang lawan jenis dan belum menikah, gak boleh share kamar ya. Kita diminta nunjukin buku nikah kalo mau satu kamar sama lawan jenis.

Kita ngabisin waktu leha2 di penginapan. Dari balkon kita, kelihatan ikan2 berenang. Bayangin, gimana jernihnya air lautnya. Oh iya, kita makan siang di Panorama Cafe, persis di belakang penginapan kita. Harganya selangit. Huhu. Kita makan mie gurita, cah kangkung, jus kuini, dan jus apel, semuanya dibandrol Rp. 70.000. Usut punya usut, ternyata kalo cafe di sekitaran penginapan harganya mahal karena itu harga turis asing. Kalo agak ke bawah dikit, dekat pemukiman warga, harganya jauh lebih miring. Pas makan malam, kita pesan nasi pake ikan sambel, sama teh manis panas 2 porsi cuman Rp. 40.000. Tapi gaes, semurah2 apapun, namanya juga tempat wisata ya kan. Harga lontong buat sarapan pagi yang seiprit itu juga harganya per porsi lima belas rebu. -_-

Hari pertama kita habiskan buat istirahat, mandang2, dan jalan2 di pantai Iboih. Kita juga mampir ke lokalisasi turis asing. Dimana katanya bule2 itu banyak yang pake bikini. Dan dimana katanya bule2nya gak level sama snorkling, tapi diving. Tapi pas kita nyampek, habis ashar, kita gak nemu tuh bule yang pake bikini. Wkwkwkwk.

Hari Kedua

Hari  ini kita rencana mau snorkling ke Pulang Rubiah. Di pantai Iboih jarang ada yang berenang, soalnya disitu banyak bulu babi. Jadi berenangnya di Pantai Rubiah. Pulau Rubiah itu dekat banget dari Iboih. Paling ada juga 200 meter. Tapi tarif boat buat nyebrangnya, tau berapa? Rp.100.000/pp. Mas sampek bilang, “kita berenang ajalah dek. Dekat kali itu. Rugi kali bayar segitu cuman buat nyebrang dekat gini.” Gue terpelongo. Terus dia sambung, “nanti adek mas dorong. Kan pakek pelampung.” Gue tetap ternganga mandangin dia sampek akhirnya,”yaudalah, naek boat aja.”



Peraturan pengelola pariwisata di Iboih ini patut diacungi jempol. Kita kalo mau nyebrang beli tiketya di loket. Nanti pengelola yang menentukan boat mana yang kita tumpangi. Jadi gak ada calo2, gak ada juga boat2 yang ngejar kita ke parkiran biar naik boat dia. Enak banget kan turisnya klo tertata gitu.

Nah, kita sewa alat snorkling di Pulau Rubiah. Tarifnya RP. 40.000/set. Harganya sama dari ujung ke ujung, karena sudah kesepakatan bersama. Enak kan kalo gini. Terus ada juga sewa kamera buat foto2 di dalam air. Tarifnya Rp. 150.000. Mungkin bisa ditawar. Kita gak sewa kamera karena kita emang punya kamera Go Pro. Terus, kalo kita sewa guide, dia bisa nunjukin spot2 yang bagus. Dan tentu hasil fotonya lebih bagus kalo spot-nya bagus kan. Tarif guide-nya Rp. 100.000. Tapi kemaren kita juga gak sewa guide, karena mas suami udah cukup jadi guide buat aku. Hehe. Terus lagi, kita harus beli makanan ikan, biar ikan2 cantik itu mendekat. Tau gak makanan ikannya apa? Mie instan yang direndam air tapi jangan sampai lembek banget. Seiprit doang harganya lima rebu per bungkus.

Itu pertama kalinya aku snorkling, gaeeeessss. Betapa antusias-nya aku pas nyemplung, dan melihat segala ikan warna warni, berenang kesana kemari. Aku sor sendiri. Sampek gak teringat minta fotokan sama mas. Untung mas inisiatif, aku lagi seru2 ngasi makan ikan, mas udah moto2in aja. Hasilnya bagus2 pula. Haha. *Maaci ya mas. Lafyu* Berenang sama ikan2 itu moment indah tak terlupakan. Masih teringat banget ikan2 dori dari yang kecil sama indukan berenang di sekeliling, duuuhhh... Amazing!

Jam setengah 1 siang kita pulang ke penginapan. Soalnya kita mau explore Kota Sabang. Rencananya habis check out jam 2 siang, kita jalan keliling2 Pulau Weh dan ambil penginapan lagi di Kota Sabang. Oh iya, kita sempat pesan makan siang di Pulau Rubiah. Menunya ikan GT (Giant Trevally) atau ikan koe atau entah apalah namanya, aku gak kenal. Mas yang tau. Ukurannya sedang, sekitar setengah kilo, dibakar. Terus cah kangkung, sambel kecap dan sambel terasi plus nasi putih dua porsi. Itu semua dibandrol Rp. 120.000. Uhuuuyy... -_-

Kita lanjut perjalanan menuju titik nol kilometer. Letaknya di puncak. Dari Iboih sekitar 15 menitan. Di titik nol ada tugu gedeeee banget yang berbentuk rencong. Disana banyak yang jualan souvenir2, dan rujak aceh. Kalo kesana sempatkan nyicipin rujak aceh itu ya. aku kemaren gak sempat. Ada buah rumbia, aku kepo banget padahal sama rasanya. Nanti deh hunting rujak aceh di Medan aja.

Puas foto2 di titik nol, kita lanjutin perjalanan lagi. Kita melewati Pantai Gapang, yang pemandangannya gak jauh beda dari Pantai Iboih. Terus melewati Danau Aneuk Laot, dimana ada danau yang berair tawar di Pulau yang berada di tengah laut. Wow! Terus katanya ada air terjun Pria Laot. Mas udah kepingin banget sebenernya kesana, tapi karena kita belum search jalurnya dan penampakan air terjunnya, kita takut zonk. Soalnya udah sore. Mana kita mau ngejar sunset lagi di Pantai Paradiso. Duuuhh.. semua mau dikejar. -_-

Akhirnya kita gak jadi singgah ke air terjun. Kita langsung menuju ke Sabang Fair dan Pantai Paradiso di Kota Atas Sabang. Di perjalanan, bapak mertua nelp, bilang ada family yang tinggal di Kota Sabang. Segala puji bagi Allah. Waktu kita nelp family itu, rumahnya hanya berjarak 200 meter dari Pantai Paradiso tempat kita akan menyaksikan sunset. Masya Allah. Tabarakallah. Allah ijabah doa yang kupanjatkan, memohon dipertemukan dengan orang-orang baik.

Malam itu, setelah memanjakan mata dengan sunset paling indah yang pernah kulihat, kita gak jadi check in hotel. Kita bermalam di rumah Makcik Angok dan makan malam disana. Keluarga Makcik Angok menyambut kami hangat. Ternyata dulu, Makcik dan keluarganya tinggal di Belawan, tetanggaan sama mas. Jadilah mereka ngobrol ngalor ngidul mengenang masa lalu. Mengenang Belawan tempoe doeloe. Hehe.

Kita juga diajak keliling menikmati Kota Sabang di malam hari. Diajak ke tugu Sabang-Merauke, ke taman kota, dan diajak makan mie sedap khas Sabang. Sekali lagi kuutarakan, sejauh apa kita berkendara di Kota Sabang, gak ada satu pun jalan rusak. Semua mulus. Semua bagus. Masya Allah sekali pemda-nya.

Alhamdulillah. Hari kedua berlalu dengan banyak sekali nikmat yang Allah limpahkan didalamnya. Terima kasih tak terhingga buat keluarga Makcik. Semoga Allah balas kebaikannya dengan yang lebih baik.

Hari Ketiga

Kita bergegas ke Pelabuhan Balohan. Kapal cepat express Bahari akan berangkat jam 8 pagi tepat. Di perjalanan menuju Balohn, kita ketemu taman kota yang ada tulisan I love Sabang, dan kita mampir dong pasti. Hehe. Gak nyangka banget gara-gara kelamaan foto disitu kita jadi kehabisan tiket kapal cepat. -_- Akhirnya terpaksa nunggu keberangkatan kapal selanjutnya. Kapal lambat Ferry. Ongkosnya jauh lebih murah dibanding Kapal cepat Express Bahari, Rp. 25.000/orang. Tapi perjalanannya juga lama, 1 jam 45 menit.

Akhirnya setelah lelah menahan kantuk, kita tiba kembali di Pelabuhan Ulee Lheu. Eh, selama di kapal tadi, kita kayak gak lagi di kapal aja rasanya. Kayak di darat aja. Tapi kata mas, kalo laut berombak, kapal besar gini pun bisa terasa goncangannya.

Di Pelabuhan Ulee Lheu, kita udah ditunggu Bang Ali, yang akan membawa kita menjelajah keliling Kota Banda Aceh. Habis diajak makan siang di rumahnya, kita mulai perjalanan kita dari Museum Tsunami. Tiket masuk Rp. 6.000/orang. Di Museum tsunami ada sebuah lorong yang dalam, gelap, dan dilengkapi suara bergemuruh dahsyat. Di depan lorong itu ada peringatan, “yang punya trauma atau serangan jantung, silakan langsung ke lantai 2.” Ternyata lorong ini lebih mencekam dari penampakannya. Sepanjang lorong, aku memeluk erat lengan mas, ketakutan. Nuansanya mistis dan horror dalam waktu bersamaan. Tapi lorong itu membuat kita mengingat Allah, membuat kita tak henti berdzikir. Mungkin inilah perasaan yang dirasakan para korban tsunami.

Satu lagi tempat yang paling berkesan di dalam museum tsunami, Sumur Doa. Di ruangan itu tertulis nama2 korban tsunami, dan dilantunkan bacaan2 Quran dengan speaker. Suasana mencekam kembali terasa. Semoga Allah berikan tempat yang layak bagi para korban.

Perjalanan kita lanjut lagi menuju masjid Baiturrahman. Masjid yang menjadi saksi bisu terjangan tsunami 14 tahun silam. Masjid ini berdiri kokoh dengan tiang2 besar yang menopangnya. Di pelataran masjid ada payung2 besar yang mengingatkan kita pada Masjidil Haram. Semoga jika saat ini hanya masih bisa menyambangi kota serambi Makkah, nanti, suatu ketika, Allah izinkan kita menapak di rumahNya, Makkatul Mukarromah. Aamiin.

Hari ketiga kita akhiri dengan mengunjungi Kapal PLTD Apung yang terseret sampai ke tengah2 pemukiman warga. Kemudian ditutup dengan membeli oleh2. Lantas ke Terminal Batoh, untuk kembali ke pelukan Medan tercinta.

Sunnatullah. Kita kehabisan tiket bus Sempati Star. Akhirnya kita kembali ke Medan dengan bus Putra Pelangi. Harga tiket untuk kelas executif normal Rp. 180.000/orang. Di terminal Batoh itu banyak banget bus dengan tujuan Medan. Kita tinggal pilih mau yang mana. Bus Putra Pelangi yang kita pilih ini tempat duduknya lebih luas, lebih leluasa. Tapi selimutnya kalah tebal sama Sempati Star. Masing-masing punya plus minus-lah. Tergantung seleranya kita aja. Bus Putra Pelangi dan Sempati Star dapat empat dari lima bintang versi aku.

Well, akhirnya trip kita usai begitu kita tiba di Pinang Baris Medan. Alhamdulillah, kita kembali dengan sehat dan selamat sesuai dengan harapan. Perjalanan paling seru yang pernah kujalani. Paling menyenangkan. Paling berkesan.

Semoga blogpost ini bermanfaat kalo kawan-kawan mau menjelajah di Pulau Weh, ya. J

*Terima kasih sudah jadi kawan travelling yang oke, suamiku. Semoga akan ada perjalanan-perjalanan yang lain lagi nanti. Iloveu.*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar