Manisnya kisah itu hanya sebentar. Sepintas lalu. Terlalu cepat mungkin aku mengakui jika rasa itu benar-benar ada. Sangat singkat aku menganalisanya. Mudah sekali aku layu dihadap senyumnya. Bodoh! Klise! Absurd!
Aku memandangi layar ponselku, resah. Tak jua datang pesan singkat darinya yang sejak kemarin kutunggu. Aku khawatir. Entah apa yang sedang terjadi sekarang, tapi yang pasti aku gelisah. Aku tahu tak seharusnya aku seperti ini. Tapi itulah adanya. Sudah beberapa kali aku mencoba menghubunginya, hasilnya nihil. Telponku tak jua diangkat. Aku menyerah. Kucampakkan ponselku ke sebelah bantal dan kurebahkan tubuhku. Lelap.
Hal yang sama terus berulang beberapa hari terakhir. Resahku terus menggejala. Setiap kali ponselku berdering, aku selalu berharap itu dari dia. Sekalipun seringkali aku dihubungi oleh orang yang sebenarnya cukup menghibur, tapi tetap saja dia yang ada di angan. Sudah kubilang, aku memang terlalu klise. Bahkan, kau tahu kawan, aku selalu menggunakan headset setiap ada yang menelponku. Aku khawatir dia menelponku ketika aku sedang menerima telpon dari orang lain dan tak menyadarinya.
Semua berawal dari jejaring social bernama fesbuk. Media yang dulunya mem-fasilitasi kami untuk bertegur sapa dengan lebih gamblang. Mungkin aku yang salah. Tapi semuanya terjadi begitu saja. Mungkin aku yang hadir sebagai orang ketiga dalam hubungan mereka tanpa aku sadari. “Dia” mungkin memantau setiap gerak gerik kami dari kejauhan. Aku tak akan tahu jika –hal- ini tak terjadi. Mungkin aku sangat tak berperasaan, membuat jejak-jejak yang mungkin akan melukainya. Mungkin saja sebenarnya mereka masih saling menunggu dalam kebisuan. Kebisuan yang malah kuhiasi dengan iringan musik rock yang memekakkan telinga. Huh, aku memang tak terlalu peka. Aku hanyut dalam melodiku sendiri, dalam laguku yang terlalu manis. Tapi kini, sudah saatnya aku angkat kaki. Aku kini sadar, aku mungkin telah salah jatuh cinta.
Medan, 6 April ‘12
5.41 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar