Pernah baca buku Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990? Atau Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1991? Atau Milea, Suara Dari Dilan?
Aku
nggak tau buku ini populer atau nggak. Pertama kali aku tertarik baca karena
ada beberapa postingan di instagram yang captionnya tentang sebaris kalimat,
“Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu. – Dilan”
Sudah
sekian lama aku gak berkutat dengan novel lagi. Entah, mungkin karena sudah
lelah dengan aktivitas di sekolah atau lebih tertarik membaca stories di
sosmed. Atau bisa juga lebih tertarik ngobrol pake jempol. Pokoknya udah jarang
banget baca novel, dan berujung pada : gak pernah lagi nulis cerpen. Kalo nulis
blogpost ya seadanya aja gini. Gak pernah romantis lagi seromantis cerpen2 aku
yang sudah2.
Tapi
aku bukan mau bahas itu. Aku mau cerita tentang novel yang baru kutuntaskan
tadi malam. Novel romantik remaja yang ditulis Pidi Baiq untuk mengenang
perjalanan cinta Dilan dan Milea semasa SMA. Dalam hal ini aku bukan mau bikin
resensi. Aku Cuma mau cerita.
Ini
kisah masa lalu yang mau nggak mau buat aku teringat ke masa lalu juga. Dilan
dan Milea bisa serta merta ngebuat aku ngayal mereka ada di dunia nyata. Entah
gimana, Pidi Baiq dengan gaya nulisnya yang banyak banget kata “yaitu” nya itu
berhasil bikin aku merasa masuk ke cerita. Aku bisa ngerasain suasana waktu
Dilan, Milea dan kawan2 lagi nongkrong di warung Bi Eem. Aku bisa merasakan
suasana Bandung zaman dulu dengan asrinya, dinginnya, jalan raya yang sepi. Aku
bisa ngerasain suasana hati Milea yang bahagia di boncengan Dilan. Aku bisa
merasakan setiap senti kerinduan Dilan pada Milea meski mereka baru saja
bertemu. Dan pada akhirnya aku bener2 nangis karena bisa merasakan hampanya
hari2 Dilan setelah mereka putus.
Ini
kisah anak muda memang. Isinya tentang pasangan muda mudi yang jatuh cinta.
Tentang dilema yang harus Dilan hadapi, antara Milea atau geng motornya.
Tentang apa yang harus Dilan utamakan, cinta atau persahabatan.
Novel
ini berhasil bikin aku senyum, sesekali nyengir, dan di beberapa bagian
menangis.
Aku
bukan tipikal orang yang terlalu perasa sebenarnya. Hanya saja ada beberapa
kejadian akhir2 ini yang membuat sisi melankolisku mendadak muncul. Kupikir,
saat suasana hatiku sedang baik2 saja, mungkin aku gak bakal nangis membaca
ending cerita yang ditulis Baiq. Bayangkan, hanya dengan kalimat Dilan, “Semoga
kita kuat ya, Lia.” Air mataku bercucuran. Entah. Bayangan masa lalu memang
kerap membuat kita jadi seperti bukan diri kita.
Yang
terbayang di kepalaku bukan melulu tentang masa lalu sebenarnya. Kalau boleh
jujur, justru yang teringat dibenakku tentang masa lalu, hanya yang indah2
saja. Tentang cinta pertama yang gak pernah kesampean, tapi aku bahagia. Kurasa
aku perlu sedikit cerita. Supaya nanti suatu ketika, aku punya bahan jikalah
ada orang macam Baiq yang nyasar ke rumahku dan ingin tau kisah cintaku. :v
Masa
putih abu2ku kuhabiskan dengan aktif di ekstra kurikuler sekolah, marching
band. Namanya Bimanda. Bergelut di organisasi itu dari kelas X sampai XII ngebuat
aku berjarak dengan teman2 sekelas. Aku lebih dekat dengan teman2 di Bimanda.
Hari2ku habis di sekretariat Bimanda. Apa ini hanya karena aku memang menyukai
dunia musik? Tentu saja bukan. Aku ke sekret hanya karena ingin melihat
seseorang.
Demi
kebaikan bersama, nama2 mereka yang terlibat di cerita ini kusamarkan saja ya.
Hehe.
Di
organisasi itu, seorang player (bukan karena dia playboy! Tapi di dunia
marching band, pemain memang disebut player.) yang meniup trumpet telah mencuri
perhatianku. Dia memang punya posisi bagus. Di beberapa display kami, ada part
yang dia bermain solo. Itu mengagumkan memang. Aku yakin sekali banyak junior
yang jatuh cinta padanya. Hanya saja, sayang sekali, dia sudah punya pacar saat
itu. Dan pacarnya adalah seniorku di CG (Colour Guard). Hahaha. Lucu memang.
Paling
nggak, akhirnya masa itu aku sudah tau rasanya gimana jadi seorang secret
admirer. Wkwkwk. aku gak pernah pacaran dengan dia, tapi aku bahagia karena di
hari2ku selalu ada dia. Nah loh. Enakan jadi gue kayaknya daripada pacarnya
sendiri yang konon katanya lebih sering berantem daripada baikan. :v
Jadi
kalo ini yang ada di masa SMA, kenapa aku bisa nangis ngebaca kisah Dilan dan
Milea?
Aku
terharu dengan keteguhan hati Dilan untuk tetap bersikap baik ke Milea, dan Milea
yang juga bersikap baik ke Dilan setelah mereka berpisah dan gak ketemu
beberapa lama.
Itu
gak gampang. Paling nggak itu gak gampang kalo seperti yang pernah aku alami.
Lost contact adalah pilihan paling bijak untuk menghadapi masa demikian. Masih
enakan zaman Dilan dan Milea. Saat itu belum ada sosmed. Kalo mau komunikasian
Cuma telepon rumah doang. Itu tuh masih enak tauk. Lah sekarang, kalo bener2
mau lost contact harus ngeblok segala sesuatu yang berkaitan dengan yang bersangkutan.
Wiiihh. -_-“
Dan
kemudian imajinasiku bermain kemasa dimana saat aku putus aku masih harus
sering ketemu. Gimana aku bisa berjuang menyelesaikan hari saat aku harus
benar2 kembali menikmati hidup pasca pisah. Gimana aku harus bisa bangkit dari
segala keterpurukan yang pasti akan menghampiri jika itu terjadi. Ahh,
untungnya itu hanya di imajinasi. Untungnya aku gak pacaran. Jadi aku gak bakal
putus. Untungnya aku gak pernah memiliki, jadi aku gak bakal kehilangan. Ahh,
alhamdulillah.
Membayangkan
Dilan dan Milea dengan perpisahan mereka, dengan air mataku yang terus tumpah, aku
teringat sebaris doa yang pernah ditulis Bang Zakaria, teman lamaku di S1, yang
kemudian kubaca ulang sebelum aku tertidur karena kelelahan menangis.
“Jika
dia memang adalah yang engkau pilihkan untukku, ya Rabb, mohon satukan kami
dalam ridhoMu. Namun jika tidak, maka pisahkan kami dengan cara yang baik.”
Malam
itu hujan deras. Tapi yang membasahi pipiku bukan tempias hujan, melainkan air
mataku yang dibuat luruh oleh Dilan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar