Alhamdulillahirabbilalamiin.
Finally
setelah sekian banyak kesibukan, mulai dari seminar hasil, sidang tertutup,
mengawas ujian mid semester, USBN, ngoreksi, dan menyelesaikan raport, aku bisa
kembali buka laptop buat relaksasi. Kemaren2 kalo buka laptop yang dibuka Mc.
Excel dan Power Point mulu soalnya. Akhirnya hari ini bisa buka word. Bisa
curhat dengan segala pernak pernik keidupan yang warna warni, pait, asem,
manise pooolll. Hahahhaa. Wanna see? Lets join me!
Belakangan
ini ada beberapa hal yang menyadarkan aku kalo aku ini adalah newbie banget. Im
so sooo newbie. Ternyata selama ini aku terjebak di kubangan “sok tau” dan “sok
oke” yang parah banget. Sampai mungkin kesombongan merasuki hatiku.
Naudzubillah.
Blogpost
ini kutulis sebenarnya selain untuk media relaksasi juga sebagai media
introspeksi diri. Utamanya karena baru-baru ini aku mendapat tamparan keras
oleh kalimat, “helloo... lo tau apa? Anak kemaren sore, masih ijo.”
Deg!
Seketika
aku tersadar. Ya, aku memang anak kemarin sore. Aku memang masih ijo dan gak
tau apa2. Gak tau apa2 dan
bego itu emang gak jauh beda. And thats me. T_T
Sejauh
ini, aku mengajar memang masih baru banget. Usiaku masih muda banget kalo
dibandingin dengan mereka, rekan kerja yang rata2 sudah punya sertifikat guru
profesional. Dari segi ilmu, pengalaman, cara menyikapi masalah, dan sebagainya
jelas mereka tak diragukan lagi. Kalo dibandingin sama aku sih gak ada apa2nya.
Tapi dengan ke-tidak ada apa2nya- ini, aku kok bisa jadi bertingkah sok oke ya?
Aku
gak tau ini sebentuk tamparan atau jitakan atau tonjokan. Yang pasti ini nyakitin.
Tapi
meski demikian, ada beberapa hal yang aku pelajari dan hikmah yang aku ambil
dari tamparan keras itu walaupun sebenarnya aku tersinggung gak ketulungan.
Pertama, aku jadi sadar
dengan sesadar2nya orang sadar kalo aku memang adalah seorang newbie yang kudu
bersikap dan bertingkah layaknya seorang newbie.
Kedua, aku jadi paham,
bahwa seorang
newbie tidak pantas berkomentar banyak atas situasi apapun yang
melibatkan para senior meskipun memang ada aku di dalamnya.
Ketiga, diam adalah
mutiara. Di beberapa kondisi, aku pernah tak sepakat dengan kalimat “diam
adalah emas” karena selagi kita bisa bicara yang baik, maka bicara lah. Yang benar
itu memang hadist “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Namun di kasus-ku
kemaren, aku berpendapat bahwa diam adalah mutiara. Porsiku sebagai anak
kemaren sore masih terlalu sedikit untuk bisa bersuara, meski aku saat itu aku
merasa diriku benar.
Keempat, suatu kesalahan
jika sudah didukung banyak orang akan menjadi kebenaran. Dan kebenaran yang
tidak punya pendukung akan tetap menjadi benar tapi tidak “dibenarkan.” Kadang,
kita merasa aman hanya karena banyak teman2 kita yang melakukan hal yang sama. Kita
sadar betul kita salah, tapi karena kita berada di antara orang ramai yang
tidak mempermasalahkan hal tersebut, kita santai. Kenapa tidak dipermasalahkan?
Karena kita
sama2 keliru. Sementara pihak yang benar, akan diasingkan karena
dia berjalan sendirian. Semakin kemari, semakin tebal kabut yang memisahkan
mana yang benar dan mana yang salah.
Kelima, tanyakan
sesuatu kepada yang memiliki kapasitas untuk menjawab. Dan jawablah
pertanyaan hanya jika kita merasa memiliki kapasitas untuk menjawab. Ini sering
digaungkan kepala sekolah kami, dan itu benar. Jika selama ini aku hanya mengiyakan
dalam diam, kali ini karena sudah kejadian jelas di depan mata, aku benar2
mengangguk setuju.
Keenam, semakin banyak
kepala, semakin banyak pula pemikiran. Semakin banyak orang pintar, semakin
banyak pula yang merasa dirinya benar. Miss communication dan miss
understanding akan menjadi hal yang biasa dan akan menjadi sesuatu yang lumrah.
Dalam suatu instansi pasti akan ada konflik2 kecil, itu biasa. Hanya, bagaimana kita
menyikapi konflik tersebut agar tidak membesar dan melebar.
Ketujuh, kita secara
pribadi adalah seseorang yang ingin dibela. Bahkan dalam situasi bersalah
sekalipun. Dan biasanya, kita akan menuntut orang yang dekat dengan kita,
teman2 baik kita, untuk ada di pihak kita. Rasa kecewa yang tadinya hanya
sekelumit, hanya seujung kuku, bisa jadi kekecewaan seutuhnya. Kita jadi merasa
sendirian. Kita merasa tak punya teman. Meski akhirnya teman2 kita datang
menghampiri untuk menepuk2 bahu kita, menguatkan, kita akan menganggap dia pengkhianat.
Ya, harusnya dia ada disebelah kita, mendukung dan membela. Bukannya malah ikut
memojokkan. Dalam hal ini, aku mengambil pelajaran, tepikan ego meski kita merasa benar,
demi menghargai orang yang kita anggap teman.
Kedelapan,
pertengkaran dan ribut2 kecil, sampai perang besar itu bisa terjadi kapan saja
dan dimana saja. Saat kedua belah pihak sedang dalam ego tertinggi, tak akan
ada yang bisa menyelesaikan. Jadi, jangan larut dalam ego. Salah satunya harus
mendinginkan suasana, harus ada yang mengalah. Harus ada cara agar
pertengkaran itu tidak terus berlanjut, dan suasana kembali membaik. Butuh proses
memang, tapi proses itu harus segera dimulai. Hadapi, dan selesaikan.
Kesembilan,
tidak semua yang kejadian akan berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Jadi tempa
diri untuk kokoh di atas pijakan sendiri. Kita akan menghadapi tamparan, jitakan, dan tonjokan lagi. Entah
dengan sikap atau dengan lisan. Jadi kuatkan hati, kuatkan diri. Bersabarlah,
ini ujian.
Kesepuluh,
ini yang terakhir. Sebagai anak kemarin sore, yang masih ijo dan memang gak tau
apa2, maka jangan
pernah tersinggung dengan perkataan “helloo... lo tau apa? Anak
kemaren sore, masih ijo.” Karena itu memang kenyataannya.
So, selamat kepada hatiku. Aku bangga padamu.
Terima
kasih atas segala tamparan, jitakan, dan tonjokan. Kalau tidak begini, aku
tidak akan sadar siapa diriku. Terima kasih. Pelajaran berharga ini takkan
kulupa sepanjang hidupku.
jangan tersinggung mbak klu ada yang ngomongin demikian. pahala mengalir loh.
BalasHapussemangat untuk menulis di blogspotnya mbak.