Selasa, 29 Oktober 2019

MY LIFE JOURNEY – SESUATU YANG TAK TERUNGKAPKAN DENGAN LUGAS



Ada satu dan lain hal yang menyebabkan sesuatu tidak bisa diungkapkan dengan lugas. Salah satunya mungkin untuk menjaga perasaan orang lain, atau justru untuk menjaga perasaan diri sendiri. Ternyata pepatah dahulu bahwa diam itu emas, benar adanya. Walau kata mama, diam itu tak selalu emas. Ada kalanya ketika kita berkata-kata justru bisa jadi permata yang jauh lebih berharga daripada emas. Tapi anggaplah kali ini, dalam kasus ini, diam itu adalah segala yang terbaik.

Dalam hidup, tentu akan ada banyak hal yang tak menyenangkan. Namun, selalu lebih banyak hal yang patut untuk disyukuri. Dan lagi, di bumi bukan Cuma kita yang punya perasaan, jadi tak semua hal harus berjalan sesuai dengan keinginan kita. Memangnya kita mau menuruti semua keinginan orang lain meskipun itu bertentangan dengan keinginan kita? Maka bijaksanalah dalam me-manaj perasaan sendiri.

Ini tentang sesuatu yang tidak bisa dikatakan dengan lugas. Tentang perasaan. Tentang sesuatu yang akan lebih baik jika didiamkan, demi menjaga perasaan orang lain dan diri sendiri. Aku sudah mencoba untuk meng-emas-kan diamku, namun nyatanya hatiku jauh lebih sakit dibanding ketika aku speak up. Namun, mungkin diamku akan lebih bermanfaat untuk orang lain. Maka dari itu, blog post ini ada. Berujar, tanpa harus didengar.

Aku yang sedang hamil tua ini tiba-tiba jadi bipholar. Suasana hati bisa berubah dengan cepat dan tanpa alasan yang masuk akal. Sebentar aku merasa baik-baik saja, namun semenit kemudian aku bisa menangis sejadi-jadinya. Sebentar aku bisa mengotrol emosi, tak lama perasaan tiba-tiba sakit kembali. Entahlah. Ini bukan aku. Aku memang pribadi super sensitif. Bisa tersinggung kapan saja dan dimana saja serta oleh siapa saja. Di lain sisi, aku bisa jadi orang yang ‘bodo amat’ dengan segala kondisi. Tapi yang belakangan ini kuhadapi adalah sesuatu yang ‘bukan aku banget.’

Aku gak tau apakah ini hal yang wajar. Dari semua gejala aneh yang kualami, nyaris semua penyebabnya adalah hormon kehamilan menurut bidan. Namun untuk yang satu ini, aku gak tau. Dan aku gak akan bertanya. Ini semacam penyakit kepribadian yang memalukan. Namun, aku akan coba menganalisa sendiri.

Ini kualami sejak kemarin. Entah bagaimana aku langsung sedih sehabis sholat maghrib dan melihat suamiku pulang. Biasanya semua berjalan baik-baik saja. Senyum dan tawa renyah biasanya akan terdengar begitu kami ketemu setelah seharian beraktivitas masing-masing. Tapi kemarin berbeda. Aku yang membuat perbedaan itu ada. Aku dan perasaanku.

Sebagai ibu hamil tua, yang sudah menghadapi perubahan hormon sekitar sembilan bulan, aku hapal. Perasaan yang memang sudah sensitif dari sananya, mendadak menjadi semakin parah dengan perubahan hormon ini. Setelah ketemu sebentar, saling sapa, kemudian suami kelihatan sibuk nyariin barang, dan sibuk dengan urusan sendiri. Hanya karena itu, air mataku jatuh. Aku merasa tidak diperhatikan.

Well, siapa penyebab bipholar ini? AKU.

Jadi, akan kuanalisa penyakit kepribadian ini menurut versiku. Penyebab aku bisa merasakan hal ini, karena tentu, ini adalah hal yang tidak bisa diungkapkan dengan lugas.

Pertama, aku adalah seorang wanita bekerja, punya karir, terbiasa sibuk, terbiasa dengan hiruk pikuk dunia luar, dan terbiasa berinteraksi dengan orang banyak. Sudah semingguan lebih aku cuti dengan alasan menjaga diri dan janin agar tidak terlalu lelah dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Secara otomatis, aku di rumah sendirian. Tidak punya aktivitas apapun selain membereskan pekerjaan rumah seharian.

Kedua, aku cuti adalah untuk beristirahat. Tapi kenyataannya, aku justru harus membereskan segala pekerjaan rumah yang tidak akan pernah habis walau dikerjakan seharian penuh. Kemarin, aku berusaha sekuat tenaga untuk membereskan semuanya dan itu berakhir dengan kata ‘kelelahan’. Semua orang yang terlalu lelah pasti akan mudah marah.

Ketiga, aku terlalu menaruh ekspektasi yang tinggi pada orang lain. Terkhusus suamiku sendiri. Aku terlalu berharap dia bisa memperlakukanku seperti yang kuinginkan. Paling tidak menanyai keadaanku selama aku di rumah sendiri seharian. Atau menanyakan keadaan si bayi, gimana keadaannya seharian ini, atau sekedar bercerita, bergurau tentang apapun, sebagai ganti dia tidak ada disampingku seharian. Tapi seperti yang kubilang tadi, aku terlalu berharap berlebihan.

Realita yang se-HARUS-nya kupahami adalah,

Pertama, menjadi ibu rumah tangga yang mengabdikan seluruh waktunya untuk mengurus rumah dan keluarga memang bukan jalan yang kupilih dalam hidup. Namun, saat ini, itu harus kujalani. Demi aku sendiri dan demi janin yang sangat kucintai ini. Lantas, kenapa harus mengeluh? Siapa yang menyuruhku atau menuntutku untuk hamil? Bukannya aku sendiri yang kepingin punya bayi? Lalu siapa pula yang mau disalahkan atas keputusan yang sudah bulat ini?

Kedua, tidak ada yang menyuruh dan memaksa, atau menuntutku untuk menguras tenaga demi membereskan rumah. Tidak ada keharusan dari siapapun untuk itu. Lagi pula, dengan kondisi perut yang buncit klimaks ini, ditambah dengan usia kehamilan yang hampir penuh, tentu aku tidak boleh terlalu lelah. Harusnya aku memang banyak istirahat. Jadi tentu tidak ada yang bisa disalahkan tho? Aku yang tau kondisiku, harusnya aku pula yang menentukan apa yang bisa dan tidak bisa kulakukan.

Ketiga, selama dua belas jam gak ketemu, dari jam 7 pagi sampai jam 6 sore, tentu aku dan suami menghadapi hal yang berbeda. Aku dengan masalahku, dan dia dengan masalahnya. Setiba di rumah, ia ingin melemaskan syaraf-syarafnya dengan hal yang menyenangkan buatnya, begitupun dengan aku. Ternyata, hal yang dapat menyenangkan kami berdua tidak selalu sama. Perbedaan itu sunnah-kan? Lantas, apakah karena dia memilih hobi untuk menyenangkan dirinya, kemudian aku merasa tidak diperhatikan? Kemudian, apakah aku hanya punya dia untuk menyenangkan hati? Atau justru karena aku terlalu berharap dia bisa mengobati hati, aku malah jadi terluka? Mungkin aku perlu mencoba hal baru, agar tidak seluruh harap kuletakkan dipundaknya.

Setelah semua analisa itu, aku kemudian memikirkan solusi. Bipholar ini menyiksa. Aku butuh obat. Dan obat itu mungkin adalah ;

Aku harus bisa membuat diriku senang, tanpa harus melibatkan orang lain. Aku harus punya alasan untuk bahagia, tanpa orang lain.

Aktivitasku selama cuti harus benar-benar membuat aku nyaman. Mungkin aku memang tetap harus membereskan rumah, tapi aku akan memilih bagian mana yang sanggup untuk kukerjakan dan bagian mana yang tidak.

Aku butuh bepergian. Akan kutemukan waktu yang tepat untuk merilekskan pikiran dengan bertemu dengan orang baru. Atau sekedar duduk di tempat baru. Atau apalah. Mungkin besok atau lusa saat tubuhku fit.

Aku tidak boleh terlalu berharap pada manusia. Ada Allah. Dan Dia sebaik-baik tempat untuk berharap.

Setelah menulis ini, aku merasa jauh lebih baik. Alhamdulillah. Menulis memang adalah salah satu relaksasi terbaik yang pernah aku punya. Semoga setelah ini aku semakin lebih baik, karena ternyata, ketidak-nyamanan hati membuat badan berasa ada aja yang sakit. Kadang kaki, kadang perut, kadang kepala.

Semoga buat kamu yang baca ini, bisa semakin open minded, ya. Kunci hidup sehat adalah hidup bahagia. Yuk, kita temukan bahagia kita masing-masing. J

Inilah tentang sesuatu yang tak terungkapkan dengan lugas. Tata hati dan pikiranmu sendiri dalam diam. Karena yang kita butuhkan hanya sebuah sepi setelah banyak ramai yang tak juga mengerti. Wkwkwkwk. :p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar