Rabu, 20 April 2011

Afrika Itu Putih

Ini cerpen yang ditulis bareng-bareng sama Haqqy "Lulu" Luthfita & Umar, waktu kita masih magang di LPM Dinamika. :)


Malam ini tidak seperti biasanya, sunyi tanpa gangguan. Musim pun berbeda. Di apartemen ini hanya ada dua penghuni. Huh deg-degan aku.
Mmmm, si Dia masih sibuk dengan kerjaannya. Aku juga tidak mau ketinggalan aksi, mungkin lebih larut lagi baru dia akan berpihak kepada ku…
Hahahah…lihat saja siapa yang mulai duluan.


***

            “Perbedaan ras bukanlah hal yang harus diperdebatkan Mai,” Haqqi berkata pada ku. Aku, kau, dan dia sama di mata Allah. Suatu saat kau akan mengerti”.
            Kalimat yang dilontarkan Haqqy sekitar dua tahun yang lalu kembali bergema di telinga ku. Sekelebat ingatan membayang di kepalaku. Aku teringat ketika aku memandang rendah Umar, seorang mahasiswa Harar University di Etiopia, Afrika Utara yang pindah kuliah kekampusku. Sungguh terlalu sikapku kala itu. Memandang rendah dia hanya karena warna kulit, tanpa melihat kemampuan akademisnya.

            Kala itu Haqqy yang kulihat menunjukkan sifat bersahabat pada lelaki hitam itu. Hanya Haqqy yang menganggap Umar tidak ada bedanya dengan kami. Dengan mudah Haqqy dan Umar bisa bersahabat. Aku yang tadinya adalah sahabat Haqqy menjauhinya dengan alasan karena aku tidak mau menerima Umar sebagai bagian dari persahabatan kami. Jauh dari perkiraanku yang mengira Haqqy akan lebih memilih menjadi sahabatku daripada Umar, ia malah lebih dekat dengan si hitam sekarang.

            Hal ini sungguh sulit ku terima, lelaki hitam legam yang datang dari Afrika itu telah merebut sahabatku. Apa hebatnya dia! Kenapa Haqqy mau berteman dengan dia?! ”Maaf Mai, kalau kamu tetap ngatain Umar kayak gituan, mendingan gak usah dekat-dekat aku, malu punya teman yang sombong ah, aku heran, kita kan dah mahasiswa tapi kelakuanmu ckckck...ndak tau ah, kelewatan”. Haqqy tidak pernah memedulikan teman-teman yang lain termasuk aku yang menyindir mereka bagai siang dan malam. Haqqy benar-benar berhati mulia. Ia selalu membela, menolong, dan menyemangati Umar ketika Umar diintimidasi dan didiskriminasikan.

            Setelah kehadiran Umar yang merusak persahabatanku dengan Haqqy, aku segera dekat dengan Dini dan Riki, karena mereka berdua juga tidak menyukai si hitam itu. Suatu ketika, aku, Dini, dan Riki berpapasan dengan Haqqy dan Umar di pintu masuk perpus, dengan sengaja Riki , menubruk  Umar sampai buku-buku yang dipegangnya jatuh, reflek, aku dan Dini tertawa keras. Umar tidak berkata apapun, dia segera membereskan buku-bukunya. Tapi Haqqy menghentikan tawa kami. Dia membantu umar memberskan buku-bukunya yang terjatuh dengan tulus.

            Umar, lelaki berkulit hitam itu tidak pernah sekalipun membalas kelakuan kami yang sangat terkesan menyepelekannya. Begitu ia masuk ke kelas, kami pasti berkasak-kusuk, sesekali ada celetukan-celetukan yang menyakitkan, tapi ia hanya membalasnya dengan senyum. Sungguh keras hati anak afrika itu, sanggup tersenyum setelah mendengar cemooh tentang warna kulitnya. Bahkan ia mau membantu kala kami kesulitan dan butuh bantuan.

            Aku masih ingat betapa minggu lalu, ketika akan mempresentasikan makalah, aku baru sadar kalau makalahku tertinggal di rumah. Saat ini aku sudah tiba  di kampus dan pelajaran akan dimulai 15 menit lagi. Aku stres, kalau aku tidak tampil presentasi, bisa dipastikan aku tidak mungkin mendapat nilai A mata kuliah ini. Apalagi dosen pembimbing yang satu ini  terkenal killer. Aku berpikir; kalau aku pulang ke rumah  naik nangkot, gak akan keburu. Mau minta tolong sama temen-temen, gak enak. Manajemen keuangan adalah mata kuliah utama, sulit dan dosennya killer.

            Tiba-tiba Umar menghampiri ku,
”What’s wrong Maisyarah? Dari tadi saya lihat kamu gelisah terus. Makalah kamu belum siap?” .
Aku yang kala itu sedang bingung berat menjawab dengan nada memelas,
”Udah selesai, tapi ketinggalan di rumah?”
”Kenapa gak dijemput? 10 menit lagi Bu Fatimah datang. Ayo, aku antar”.
Mendengarnya aku sedikit tidak menyangka. Tanpa basa-basi dia mengajak ku ke parkiran dan kami pun segera meluncur dengan sepeda motor hitamnya
”Huft, lega. Makasih ya Mar”.

            Setelah presentasi aku menemui sahabat ku Dini dan Riki minus Haqqy yang sudah lebih dulu pergi ke perpus bersama Umar. Dengan segera kami terlibat obrolan seru mengenai hal keterlambatanku hadir ke kelas, padahal hari ini jadwalku presentasi hingga kisah Umar yang membantu ku.
            ”Beneran Mai, Umar yang nolongin kamu? Baik banget ya kalo diingat-ingat kelakuan kita selama ini ke dia”.
            ”Iya guys, aku juga gak nyangka kalo dia mau bantu aku tadi. Dan sepertinya apa yang dibilang Haqqy benar. Umar memang punya kulit hitam, tapi di balik ini, hatinya seputih awan, tanpa sadar aku telah memuji sosok yang dulunya aku hinakan dan kedua sahabat ku mengiyakan.
            Sedikit berlebihan memang jika aku memuji keturunan Nalson Mandela itu hanya karena dia mau mengantar ku untuk mengambil makalah yang tertinggal. Tapi hal ini tidak hanya terjadi sekali, banyak kontribusi yang telah dipersembahkannya demi kelas kami. Dia membuat kelas kami menjadi harum karena keenceran otaknya. Dia mau mengajari kami hal yang belum kami mengerti. Dia selalu ada saat kami membutuhkan. Bukan membutuhkan orangnya, tapi ilmunya. Dia tau akan hal itu, tapi dia tetap mau mengajari kami tanpa pamrih. Haqqy pun jadi sangat bangga bersahabat dengan si hitam yang otaknya hampir seperti Einstein itu.
            Sejak ini, aku belajar untuk lebih menghargai orang lain. Umar seolah telah membuka mataku, merobohkan dinding kesombongan yang tanpa sadar telah terbangun kokoh di hatiku.
            Kini aku, Dini, dan Riki sering bertegur sapa dengan Umar dan Haqqy, bahkan kami malah sering terlibat obrolan seru. Umar selalu harus mengalah ketika kami memintanya untuk bercerita tentang dirinya, negaranya, walaupun sebenarnya ia enggan..
”Aku dulunya kuliah di Harar University. Aku pindah ke Indonesia atas rekomendasi seorang dosenku. Beliau mengharapkan aku dapat belajar lebih jika aku belajar di luar negeri. Katanya, ia menaruh harapan besar terhadap ku, ia ingin aku dapat menjadi salah satu asset berharga yang akan dimiliki Harar nantinya”, cerita Umar suatu hari.

            ”Hebat, begitu banyak mahasiswa di Harar University, dia adalah salah satu yang diperhitungkan hingga memperoleh beasiswa untuk kuliah di Indonesia”,diam-diam aku mengaguminya.

            ”Ibuku tingal di Harar guys, kota yang sangat panas dan kekurangan sumber air. Hampir seluruh afrika merasakan panas yang luar biasa dan sangat sulit menemukan sumber air. Menyedihkan sekali kotaku itu”. Matanya menerawang jauh. Jelas sekali terlihat kalau ia sangat merindukan kota kelahirannya itu.

            ”Disana, sisa-sisa apartheid yang pernah melanda afrika masih terasa hingga kini. Para pendatang kulit putih mendominasi 80% kota kami. Sementara kami hanya boleh berlindung di satu kawasan yang mereka sebut homeland. Kami harus membawa pasport jika ingin memasuki wilayah mereka. Kami sebagai warga pribumi tidak bisa melakukan apapun karena pengetahuan kami rendah. Kami tidak punya akses ke dunia internasional. Dan aku akan menjadi Nelson Mandela kedua yang akan meneruskan perjuangannya”.

            Mendengar cerita Umar yeng begitu bersemangat aku terharu. Anak ini begitu hebatya dia bisa menyimpan berjuta mimpi dan harapan untuk tanah airnya. Dia tidak mengeluh apalagi marah walau perlakuan kami terhadapnya pada awal ia menginjakkan kakinya di kampus hijau ini tidak jauh berbeda dari yang diterima di negerinya. Pernah kutanyakan mengapa ia begitu berbesar hati menerima cemoohan kami dulu, ia hanya menjawab dengan santai, ”Aku hanya ingin menunjukkan pada dunia bahwa Afrika itu putih, berkulit hitam tapi memiliki hati seputih awan. Hahaha”, jawabnya sambil bercanda.

            Mendengarnya hatiku terenyuh. Sungguh benar apa kata Haqqy waktu itu, mestinya aku juga bisa memiliki hati yang putih. Sungguh ironi, aku memandang diriku kebalikan dari umar, gadis kulit putih dengan hati yang hitam. Bulir-bulir bening tanpa terasa menagalir dari sudut mataku. Aku malu pada diriku, pada Tuhanku, pada teman-temanku, dan pada Umar. Bahkan Afrika pun putih. Buliran bening ini mengalir lebih deras.

***


”Ma, tidur yuuuuk” sesosok pria besar, hitam legam menghampiri ku, seraya merangkul. ”Sudah larut sayang...”, sambil main mata dengan mesranya. Ku pandangi pria itu, putih, berkharisma, dan penuh kasih sayang. Tak ku dapati sisi gelapnya dari mana pun. Suami ku, Umar. Malu rasanya kalau mengingat betapa gilanya aku di masa perkuliahan.
            Sign out ku klik. Ku hentikan ketikan ini, yah maklum ajakan suami jangan sampai ditolak ditambah lagi musim dingin yang melanda sebagian benua Afrika. Muantap euy... walau sudah beberapa minggu ini aku tidak posting tulisan, no problemo lah.
            Baru sebulan lalu kami resmi menjadi suami istri. Afrika itu putih ternyata.

***


            Sejak Umar menikahi ku, sikap Haqqy berubah drastis hampir 180 derajat terhadap Umar. Haqqy sepertinya mulai tertutup terhadap Umar, begitu juga dengan kehidupan pribadinya. Haqqy seolah-olah merasa tidak mendapat keadilan. Umar yang begitu dekat dengan Haqqy dianggapnya benar-benar tidak melakukan kesalahan, karena lebih memilih aku dibandingkan teman sejawat ku ini.
            Entah karena memang ingin atau sekedar menghibur diri, ataupun pelarian semata. Haqqy menerima perjodohan yang dilakukan orangtuanya. Keluarga Haqqy memintanya untuk segera menikah. Selain Haqqy sudah dianggap siap, perjodohan itu pun merupakan jawaban atas lamaran Teddy.
            Beberapa hari menjelang hari pernikahan, Haqqy semakin tertutup dan terlihat murung. Orang tua Haqqy bingung kenapa anaknya bersikap demikian. Seharusnya Haqqy terlihat bahagia karena pernikahan hampir di depan mata. Ayah Haqqy menganggap ada hal yang tidak beres dengan pernikahan ini.Ayah Haqqy meminta Umar untuk membujuk Haqqy untuk menjelaskan sikapnya itu. Karena orang tua Haqqy sudah percaya hanya Umar yang mampu melakukannya.
            ”Haqqy ada apa ini?, kenapa kamu bersikap seperti ini?. Pernikahanmu sudah depan mata. Kamu seolah-olah tidak bahagia... cobalah untuk  bersikaplah dewasa...”.
”Kau benar-benar tidak mengerti aku. Aku cuma cintai mu, bukan dia, begitu banyak waktu kita lalui, dan kau pergi ke Maisyarah begitu saja tanpa meihat aku...jujur aku tidak mengharapkan pernikahan ini...”
            ”Maafkan aku, jika hal itu membuat mu sakit dan kecewa. Aku sangat-sangat menghormati mu, bukan maksud ku berbuat demikian, ketahuilah aku bukan jodohmu. Mungkin Teddy lah jodohmu,...lihat dia, dia begitu ikhlas dan mau menerima dirimu apa adanya. Yang sudah berlalu tidak perlu kamu pikirkan lagi, lihat sekarang dan yang akan datang. Demi aku, orang tuamu dan dirimu, aku tak rela jika kamu terus menerus sakit dan kecewa karena aku...”
            ”Terima kasih, mungkin kita tidak berjodoh, tapi hanya dirimu yang mampu menangkan aku dan hanya Teddy yang mau menerima aku apa adanya”

Hari pernikahan itu pun tiba, sekali lagi Umar si Afrika mampu menyelamatkan nasib seseorang, kali ini ia mampu meyakinkan Haqqy sahabat sejati ku untuk menyelamatkan pernikahannya.


***

                                                                                              
Begitu banyak hal berharga yang telah diukir Umar dalam hidupku. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana akhir dari seorang gadis sombong sepertiku jika aku tidak bertemu dengannya dan dengan gadis sebaik Haqqy. Terima kasih Tuhan.



***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar