Rabu, 20 April 2011

BERSAHABAT ( karya sang amatir : Tha maichy ^^ )


BERSAHABAT ( karya sang amatir : Tha maichy ^^ )
oleh Lita Maisyarah Dechy pada 16 Juli 2010 jam 22:49
Plok! Aku terperanjat. Sebuah tamparan mendarat dilenganku. “Heh! Siang-siang ngelamun. Gak baik buat kesehatan”, Dio, teman dekatku mengagetkan.
“Masa kamu gak tau Di, gelagat aneh kaya gini kan isyarat yang nunjukin kalo sahabat kita yang sebiji ini lagi naksir cewek untuk keseribu kalinya, hahaha”, Dani yang sok tau menimpali.
“Ah, apaan sih kalian berdua”, aku mencoba menutupi.
“yaaah, pake ga mo ngaku lagi. Kamu ga bisa boongin kita. Kali ini gadis mana yang bikin kamu jadi doyan bengong?”, kali ini Dani lebih serius.
“Benar kata Dani, kamu emang suka bengong kalo lagi mikir gimana caranya buat naklukin sasaran. Sekarang cewek mana nih? Kok gelagatnya, aku sama Dani ga tau apa-apa soal sasaran kali ini?”, Dio ikut-ikutan serius.
Aku yang memang tidak bias menutupi hal apapun dari mereka kali ini terdiam. Walau sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada mereka bahwa, ya, benar aku sedang jatuh cinta. Tapi kali ini berbeda. Dan titik perbedaan itu yang sampai detik ini masih belum bisa aku pahami apalagi harus menjelaskan pada mereka.
***
Seminggu yang lalu.
“Sialan, telat lagi”, aku berkata dalam hati sambil terus berlari. Letak ruang kelasku yang berada di lantai 3 yang awalnya aman-aman saja kini jadi alasanku mengeluarkan sumpah serapah. Rasanya semua hal menyulitkanku untuk menggapai kelas di lantai 3 lorong sebelah kanan dalam waktu 4 menit. Kulirik jam tanganku, pukul 9 lebih 11 menit. Artinya, ya, jika dalam waktu 4 menit aku tidak sampai, maka tamatlah sudah. Terbayang dikepalaku wajah sang dosen Ekonomi yang tenang dan menghanyutkan itu. Berwajah tenang dan damai, tapi sulit sekali menebak perintah apa yang akan keluar dari bibir tipisnya. Bisa saja dia mengizinkanku masuk, dengan syarat, aku harus mengikuti perkuliah disebelah tempat duduknya. Menjadi asistennya sama artinya harus menguasai materi yang akan disampaikan, kalau tidak sama saja dengan mencoreng muka sendiri. Atau menyuruhku menerangkan tentang materi tertentu yang dapat dipastikan sulit. Atau bahkan yang paling buruk adalah tidak mengizinkan aku masuk sama sekali. Dan ini sama artinya, aku tidak akan bisa mengikuti ujian final karena sudah terhitung ini adalah kali keempat juga aku tidak masuk mata kuliah pokok ini. Dan artinya lagi aku akan bertemu lagi dengan dosen dan mata kuliah yang sama semester depan! Gila! Mengingat itu semua aku semakin memperkencang lariku. Kencang sekali bahkan aku tidak melihat atau tepatnya tidak mempedulikan orang-orang yang hampir kutabrak.
Hingga tiba-tiba, bruk! Aduh, aku benar-benar menabrak seseorang. Aku langsung gusar. “Liat-liat dong kalo jalan! Ga tau apa aku lagi buru-buru?!” bentakku dengan keras. Tapi sebentar, kuperhatikan seseorang yang tadi kutabrak. Seorang gadis yang, oh my God, subhanallah, cantik sekali.
“Maaf”, dia berkata sambil terus membereskan buku-bukunya yang berserakan. Aku tertegun. Aku tidak menyangka aku telah menabrak seorang bidadari, kemudian membentaknya dan dia minta maaf, padahal orang bodoh pun tau aku yang salah. Aku yang tidak hati-hati Tapi tanpa berat hati dia segera minta maaf.
“Maaf ya,” ulang gadis itu sekali lagi seraya berlalu.
Aku memandanginya berlalu tanpa berkedip. Aku seolah terbius. Aku sama sekali lupa bahwa aku akan terlambat masuk ke kelas Ekonomi, aku lupa semua pradugaku tentang hukuman yang akan dihadiahkan sang dosen, dan bahkan aku lupa menanyakan siapa namanya. Bodohnya aku!
***
“Vin, kurasa, aku bukan cowok yang tepat buat kamu. Aku ga bisa bikin kamu seneng walaupun aku ada disamping kamu. Jadi kita putus aja ya. Aku yakin kamu akan menemukan seseorang yang jauh lebih baik dari aku. Maafin aku ya Vin”, aku menutup telepon, tak ingin mendengar luapan emosi Vina.
“Wuih, gila! Vina kan baru kamu dapetin seminggu yang lalu, masa sekarang dah kamu putusin?”, Dani dan Dio mengintrogasi.
“Hati-hati! Pernah dengar ga sih kalo hukum karma itu berlaku?!
“Kasihan mereka Fa, kamu deketin, kamu tembak, terus kamu putusin gitu aja tanpa alasan yang jelas. Kebayang ga sih kalo itu kejadin sama kamu?!
“Iya! Kamu harusnya diskusi dulu sama kita sebelum kamu mutusin dia. Atau paling ga kamu pertahankanlah sampai sebulan. Masa baru jadian seminggu kamu langsung mutusin sih?! Tega bener kamu!
Kedua sahabatku itu terus mehujaniku dengan berbagai kritikan tegas yang menyudutkan. Aku bisa menerima. Tapi tentu saja aku masih punya alasan yang cukup kuat. Bayang-bayang gadis manis dengan jilbab merah muda yang kutabrak kemarin seolah menari-nari dipelupuk mataku. Hal ini yang membuatku sanggup membela diri.
“Aku mutusin dia juga buat kebaikan dia kok. Aku ga sanggup jalan sama orang tapi hati dan pikiranku dah ga di dia lagi. Aku tau ini terlalu cepat, tapi kurasa, semakin cepat dia tau, maka semakin cepat pula dia bisa melupakanku”, kuterangkan alasanku.
“Kamu ga pernah serius ya sama semua cewek yang kamu pacari?’, Dani mulai sewot.
“Bukan Dan. Aku selalu serius sama mereka. Buktinya aku ga pernah ngeduain mereka. Aku cuma mau mencari yang terbaik doang kok, dan menurutku itu hal yang wajar”,aku mengurai argumen.
‘Tapi coba deh lainkali kamu jangan buru-buru nembak cewek. Kasihan mereka kalo cuma jadi bahan perbandingan kamu”, Dio menengahi.
***
Aku memang dikenal sebagai pria tampan dengan sejuta pesona dan senang gonta ganti pacar. Bagiku mudah saja menaklukkan wanita. Banyak cara yang bisa kugunakan untuk mendapatkan hati mereka. Dan kujamin mereka akan luluh dalam waktu paling lama sebulan. Gadis-gadis itu tau tentang image ku bahkan mereka yang melekatkan image itu padaku. Tapi anehnya, jika aku mendekati mereka, mereka pasti menerimaku. Ada-ada saja mereka itu.
***
Sejak pertemuan tidak terduga dengan bidadari berjilbab merah muda itu, perhatianku seolah hanya tertuju pada setiap gadis berjilbab dan mencari sosoknya. Ada apa denganku? Kenapa aku begitu ingin bertemu lagi? Apa aku menyukainya? Dan anehnya lagi, kenapa kali ini aku menjatuhkan sasaran pada seorang wanita berjilbab? Aku pasti sudah gila!
Malu rasanya mengakui hal ini. Bahkan aku masih belum bisa berterus terang pada kedua sahabatku. Aku malu mengakui bahwa aku telah jatuh cinta lagi, terlebih kali ini gadis berjilbab itulah yang memaksa hatiku untuk mencintainya.
“Woi! Ngelamun aja! Manajemen Keuangan masuk 15 menit lebih awal. Telat lo ntar!”, Dio menyadarkanku dari lamunan panjang sejak setengah jam yang lalu saat aku melihat gadis itu lewat dari depan kantin menuju mushala.
“Eh, kuperhatikan, belakangan ini kamu duduknya sering menghadap ke mushala ya. Ada yang kamu cari?”, Dio kembali bertanya.
“Ga kok Di. Dani mana?”, aku berusaha mengalihkan perhatian.
“Biasa, dapat giliran jadi imam sholat dzuhur. Whudu’ yuk, sebentar lagi adzan”, ajak Dio.
Kami bertiga memang istiqhamah untuk sholat dzuhur berjama’ah di mushala Ar-Rahman ini. Dan semenjak aku tau bahwa gadis idaman itu juga melaksanakan sholat dzuhur dimushala yang sama, aku jadi semakin rajin berlama-lama di mushala karena aku bisa mencuri-curi pandang kearah gadis itu. Tapi, astaghfirullah, aku sadar. Niatku salah. Aku ber-istighfar berulang-ulang.
Sejak itu, aku mulai menjauhkan mataku dari bagian shaf wanita. Tapi tetap hati dan fikiranku tidak sejalan. Tak sanggup menyembunyikannya, akhirnya aku curhat pada Dio dan Dani.
“Guys, kali ini sku benar-benar jatuh cinta dan aku yakin kali ini aku ga salah pilih”, aku mencoba berterus terang.
“Hah? Kirain kamu dah ga peduli lagi sama yang namanya cewek, eh ga taunya…”, ujar Dani
sambil geleng-geleng kepala.
“Iya nih. Kirain kamu udah ketularan virus kita buat ga pake pacaran-pacaran”, sambung Dio.
“”Tadinya gue pengen gitu, tapi kayanya iman gue belum kaya lo berdua. Tuh, cewek berjilbab itu yang bikin gue ga bisa kuat iman. Cantik banget sih”, kataku sambil menunjuk dengan isyarat gadis yang sedang bercanda dengan teman-temannya di teras mushala.
Posisi tempat duduk kami dikantin membuat kami dengan leluasa dapat melihat nya dengan jelas.
“Oh, dia. Namanya Tata”, Dani memberitau.
` “kamu kenal sama dia?”, Tanya Dio.
“Ga begitu kenal sebenarnya. Aku sering ketemu dia waktu jam sholat. Terus jadi sering saling sapa”,terang Dani. Tapi kayanya dia ga pernah dekat-dekat cowok. Dia itu akhwat, mana mungkin mau pacaran”.
“Tapi ga ada salahnya juga kan dicoba”, aku menguatkan niatku.
“Terserah kamu deh. Biasanya dia sama teman-temannya nongkrong diteras belakang mushala setelah selesai sholat. Kamu dekati aja, kalau soal cara, kan kamu pakarnya”, Dani ikut menyemangati.
Aku pun beraksi. Aku mulai dengan cara-cara ringan dengan mengajaknya mengobrol setelah selesai sholat, hingga akhirnya aku berhasil mendapatkan nomor Hp-nya.
“Assalamualaikum Ta, kamu sudah pulang kuliah? Pulang bareng yuk”, suatu ketika aku memberanikan diri mengirim pesan singkat padanya. Lama aku menunggu balasan. Semenit, dua menit, 3 menit, aku pasrah. Tapi tiba-tiba, Hp-ku berbunyi. 1 pesan baru, segera kubaca.
“Wa’alaikumsalam. Afwan lama balasnya Fa. Tata baru saja keluar kelas. Pulang bareng? Kan arahnya beda.”
Segera kubalas,
“Aku pengen nganterin kamu. Boleh ya. Kutunggu di parkiran samping mushala ”.
Tidak ada balasan. Menit pertama, kedua, kelima, ah lihat, bidadariku muncul. Kali ini jilbab biru menghiasi wajahnya. Cantik sekali ciptaan Allah yang satu ini.
Aku melempar senyum padanya sambil memakai helmku.
“Beneran nih mau nganterin Tata?”,katanya.
“Bener Ta. Keujung duniapun Rafa antar, hehehe”, aku mupeng.
Sambil tersenyum ia berkata, “Maaf Fa. Tata pulang sendiri saja. Ingat tidak? Dalam islam kan kita harus menjaga hijab dalam pergaulan.”
Aku terperangah. Tak pernah kubayangkan bahkan mengantarnya pulang pun tidak boleh.
***
Dan hal penting yang akhirnya kutau, dia tidak hanya cantik diparas, tapi memiliki pribadi dan akhlak yang sama indahnya.
Tanpa sadar aku dan Tata makin dekat.kami menjalin persahabatan yang indah. Persahabatan yang kurajut dengan mengikuti setiap pengajian-pengajian yang ditekuninya. Dan aku kian mencintainya. Hingga suatu ketika, di sore yang indah sepulang menghadiri pengajian aku mengejar langkahnya. Dan berusaha menyatakan isi hatiku padanya. Jilbab ungu mudanya melambai ditiup angin semilir. Dia tampak terkejut, roman wajahnya berbeda. Tapi aku sangat optimis dia akan menyambut cintaku. Dugaanku meleset. Seketika ia mulai mengendalikan ekspresinya, mengubah air muka yang tadinya tampak terkejut menjadi setenang biasa. Sambil tersenyum ia berkata, “Makasih Fa. Tapi maaf, Tata ga bisa membalas apa yang Rafa rasa. Tata menganggap Rafa hanya sebatas sahabat. Dan Tata berharap kita akan terus bersahabat”.
Aku terpaku. Kali ini cinta yang aku berikan hanya dimaknai sebagai persahabatan. Aku benar-benar tidak menyangka Tata akan menolak cintaku. Marah? Aku benar-benar ingin marah. Tapi marah pada Tata? Tidak mungkin aku mampu. Bahkan senyumnya saja dapat meluluhkan hatiku yang harusnya akan meledak. Aku tak mampu berkata-kata lagi. Kami terdiam dalam pikiran masing-masing. Hingga akhirnya, “sudah sore Fa, pulang yuk”, Tata berkata-kata seceria biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
Kejadian sore itu adalah pengalaman yang paling berkesan buatku. Pertama kali aku menyatakan cinta pada gadis berjilbab, pertama kali nya aku ditolak, dan pertama kalinya cinta yang kutawarkan hanya dimaknai sebagai persahabatan.
Malam harinya, aku mendapat sebuah pesan, kuteliti, pengirimnya adalah Tata, bidadariku. Apa dia berubah pikiran? Harapanku muncul lagi. Segera kubaca,
“Bila dirimu sedang menunggu seseorang untuk menjalani kehidupan menuju ridho-Nya, bersabarlah dengan keindahan. Demi Allah, dia tidak akan datang karena kecantikan, kepintaran, ataupun kekayaan, tapi Allah-lah yang menggerakkan. Janganlah tergesa untuk mengekspresikan cinta kepadanya sebelum Allah mengizinkan, karena belum tentu yang kau cintai adalah yang terbaik untukmu. Siapakah yang lebih mengetahui melainkan Allah? Simpanlah segala bentuk ungkapan cinta dan derap hati rapat-rapat. Allah akan menjawabnya dengan lebih indah disaat yang tepat”.
Aku tertegun. Kata-kata yang diuntai bidadari itu telah berhasil mengetuk sanubari yang terlelap. Kini ia terjaga, menyadari batapa banyak kekeliruan yang telah terukir. Kini aku menyadari mengapa kedua sahabatku, Dio dan Dani tidak pernah bermain dengan kata-kata cinta. Mereka memiliki jalan pikiran yang sama dengan Tata.
Cinta adalah persahabatan. Ya, itu mutiara terindah yang kudapat dari seorang Delia Aprananta, gadis manis berkerudung yang telah berhasil meluluhlantakkan keplayboyanku, mengetuk sanubariku, dan menyadarkan kekeliruanku.
Sekarang aku letih, sangat letih. Aku akhirnya tertidur dengan sejuta angan. Kuharap suatu saat nanti kau adalah jawaban yang diberikan Allah padaku, Ta.
***

1 komentar:

  1. sahabat kadang tak mau mengrti perasaan temannya yang sedang jatuh cinta,.

    BalasHapus