Sabtu, 21 Januari 2012

Artikelku yang dimuat untuk ke empat kalinya di buletin Ad-Din


KEBERAGAMAN, MASIH INDAHKAH?
Oleh     : Lita Maisyarah Desy*

Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Jika dirujuk dari wikipedia bahasa inggris, definisi pluralism, "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia, "Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)."

           Dalam keseharian kita, issue pluralism bukanlah lagi sesuatu yang baru. Keberagaman itu membuat kita kaya, semboyan yang belakangan banyak di usung sekelompok orang membuat kita semakin dengan tangan terbuka menerima indahnya perbedaan. Ditambah lagi dengan semboyan bangsa kita, bhineka tunggal ika, berbeda tapi tetap satu jua. Ya, perbedaan memang indah, bahkan islam juga mengajarkan betapa indahnya perbedaan, seperti yang tertuang dalam Qur’an surat Al-Hujurat
[49]:13).

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah (QS al-Hujurat [49]:13).”

Berbicara tentang perbedaan, kita yang terdiri dari berbagai macam suku dan ras, tetap dapat bergabung dalam satu payung kebersamaan. Sudah selayaknya kita bersyukur atas anugerah keberagaman ini. Tanpa keberagaman, hidup kita akan terasa datar. Kita hanya mengenal satu kelompok masyarakat dengan suku tertentu saja, secara tidak langsung, kita akan miskin. Miskin peradaban, miskin kebudayaan sangat tidak menyenangkan. Sudut pandang kita terhadap dunia akan sempit. Dan apa jadinya kita jika tak membuka diri dengan dunia luar? Terpuruk secara mental, sudah pasti.

Memaknai keberagaman yang sehat sudah menjadi hal yang wajib dikuasai oleh setiap orang, setiap lapisan masyarakat. Tidak hanya oleh orang-orang yang perpendidikan, tapi juga yang masih belum tersentuh atau menyentuh dunia pendidikan. Keberagaman yang indah itu dikhawatirkan akan menjadi momok yag menakutkan jika ada yang tidak mengerti bagaimana memaknai keberagaman yang sehat itu, walau hanya segelintir orang. Berbahayakah? Bahkan lebih berbahaya dari apa yang kita bayangkan.


PLURALISME Dan TOLERANSI
Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Hidup dalam bangsa yang majemuk “memaksa” kita untuk menghargai perbedaan. Toleransi adalah salah satu caranya. Mengusung kata toleransi berarti mengajak kepada menghargai perbuatan, pekerjaan, keinginan dan sebagainya walau tak sama dengan pandangan kita. bahkan sekalipun bertolak belakang dengan keyakinan kita.

Esensi dari toleransi adalah menghargai, bukan membenarkan. Kita tidak harus mengatakan tindakan seseorang itu benar jika kita tidak sepakat dengannya juga tidak harus membenarkan sekalipun kita setuju dengan argumennya. Layaknya menyampaikan pendapat dalam musyawarah, setiap orang berhak melakukannya. Dalam etikanya, membenarkan atau menyalahkan pendapat seseorang secara gambling bukanlah hal yang baik. mungkin cara yang lebih tepat untuk kita lakukan adalah menyampaikan argument kita secara lugas. Peserta musyawarah akan dapat menilai kita setuju atau tidak dengan pendapat pertama tadi.

Tak hanya dalam musyawarah, dalam setiap aspek kehidupan kita yang dihiasi dengan kebergaman suku, ras, tingkah laku, kebiasaan dan kebudayaan, kita memang sudah seharusnya memiliki rasa toleransi yang tinggi. Toleransi (tasamuh) akan membuat kita hidup rukun, damai dan harmonis. Kurangnya rasa toleransi yang sempat mencabik-cabik kedamaian di Maluku dan Poso rasanya sudah cukup menjadi pembelajaran bagi kita. mengajarkan betapa pentingnya toleransi untuk dipelihara dalam kehidupan kita. Kepedihan yang mendera ras kulit hitam di Afrika karena mendapat perlakuan diskriminasi dari ras kulit putih. Sudah cukup menggambarkan betapa kehidupan tanpa toleransi adalah hal yang berat. Toleransi harus ditanam dan tumbuh dengan subur di benak kita, di hati dan sikap kita.

Islam juga mengajarkan toleransi (tasamuh) dalam konteks yang luas. Islam menekankan akan pentingnya saling menghargai, saling menghormati dan berbuat baik kepada siapa pun.
Keyakinan umat Islam bahwa manusia itu adalah makhluk yang mulia apapun agama, kebangsaan dan warna kulitnya. Allah SWT berfirman dalam surat  Al-Isra’:70,
“…Dan sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam (manusia)…” (QS. Al-Isra’:70)
Allah telah menghadiahkan kemuliaan kepada manusia untuk memiliki hak dihormati, dihargai dan dilindungi. Imam Bukhari dari Jabir ibn Abdillah meriwayatkan suatu hadis, bahwa ada jenazah yang dibawa lewat dihadapan nabi Muhammad SAW. lalu beliau berdiri untuk menghormatinya. Kemudian ada seseorang memberitahukan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu jenazah Yahudi.” Beliau menjawab dengan nada bertanya: “Bukankah ia juga manusia?”
Ayat Qur’an dan hadits tersebut cukup menerangkan bahwa islam menjunjung tinggi toleransi. Namun tidak hanya itu, Allah juga berfirman, “jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tapi mereka senantiasa berselisih pendapat (QS. Hud : 118).”
Penjelasan dari ayat tersebut dapat kita artikan sebagai islam menganggap perbedaaan manusia dalam memeluk agama adalah suatu hal yang lumrah, Allah SWT telah memberikan kebebasan dan hak memilih kepada makhlukNya. Tidak ada ketimpangan yang boleh dilakukan ummat islam terhadap ummat non muslim. Termasuk tentang keadilan. Allah membenci siapapun yang berbuat curang dan menebarkan ketidakadilan, sekalipun karena kaum muslim merasa dizalimi oleh kaum lainnya. Allah SWT berfirman: “…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kamu mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (QS. Al-Maidah : 8).
Ajaran Islam juga tidak pernah memaksa umat lain untuk menjadi muslim apalagi melalui jalan kekerasan. Allah SWT berfirman: “Tidak ada paksaan dalam agama. (QS. Al-Baqarah : 256). Islam memang agama dakwah. Dakwah dalam ajaran Islam dilakukan melalui proses yang bijaksana. Allah SWT berfirman: “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahal : 125). Tidak diragukan lagi bahwa Islam adalah agama yang toleran. Dalam artian, agama yang senantiasa menghargai, menghormati dan menebar kebaikan di tengah umat yang lain (rahmatan lil’alamin).
Berbicara tentang toleransi yang diberikan islam, berlaku tenggang rasa terhadap orang lain adalah kewajiban kita. indahnya toleransi akan kita nikmati jika semua ummat memiliki rasa toleransi yang tinggi. Islam tak hanya mengupas tuntas toleransi beragama, tapi lengkap dengan toleransi antar setiap manusia.
Keberagaman tak Sehat
Adakah keberagaman yang tak sehat? Bukankan keberagaman membuat kita kaya? Pluralism yang dibingkai dengan toleransi bukankah sangat baik? Benar. Pluralism membuat kita kaya. Toleransi membuat kehidupan kita harmonis. Namun, sangat disesalkan, pluralism tak sehat juga tetap ada. Unsur ini  mengacu pada keberagaman agama yang dianggap memiliki nilai estetika yang sama. Ya, hal ini terkait dengan pluralism agama.
Keberagaman agama yang ada di Indonesia membuat kita secara sadar atau tidak harus memahami makna keberagaman adalah hal yang wajar dan lumrah. Namun, ada segelintir orang yang membuat agama seolah sama. Sama-sama memiliki esensi kebenaran yang sama, sehingga tak lagi penting berbeda keyakinan. Semua agama akan membawa penganutnya ke surga. Inilah yang pada akhirnya membuat esensi agama terkesan tak penting. Toh, sama-sama mengajarkan kebenaran, kebaikan dan keindahan. Pandangan inilah yang menurut saya memulai ketegangan keberagaman.
Pluralism seolah menjadi alasan untuk membuat agama adalah hal yang sama. Banyak hal yang menunjukkan bahwa mereka yang mengagung-agungkan pluralism sudah menyalahi makna awal pluralism itu sendiri. Seperti cerita yang diangkat sutradara ternama Hanung Bramantyo dalam film “?”. Dalam film itu dengan gamblang Hanung menyuarakan tentang nilai keberagaman beragama yang sangat kontroversi. Dalam satu adegan ia menceritakan seseorang dapat dengan mudah merubah agamanya hanya karena ia merasa tidak cocok dengan agama tersebut. Hal ini sudah menyalahi etika beragama. Agama terkait dengan kepercayaan kepada Tuhan dan dengan mudah ia menggambarkan seseorang bisa saja melepas kepercayaannya dan berpindah dengan kepercayaan lain. dalam scenario “saya berpindah agama bukan karena saya mengkhianati Tuhan saya”, ia kembali menegaskan pesan yang diangkat adalah semua agama sama, menyembah Tuhan yang satu hanya dengan cara yang berbeda.
Jika keberagaman dimaknai dengan pemikiran yang seprti ini, untuk menjawab pertanyaan judul tulisan saya di atas, saya akan menjawab “tidak!”. Keindahan pluralism lenyap dengan cara berpikir orang yang semacam itu. Walau konflik akan terkesan “tidur” karena kita semua “sama”, tapi itu sudah menyalahi esensi agama dan kepercayaan. Sudikah jika Tuhan kita disamakan dengan Tuhan mereka?
Solusi ada di tangan kita. bersediakah kita menjaga keindahan keberagaman? Menjaga keharmonisan dengan tetap menghargai pilihan dalam beragama. Tetap menjunjung tinggi kepercayaan yang telah kita pilih.
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Syariah, Jurusan EKI-EMS, Semester VII


Tidak ada komentar:

Posting Komentar