Rabu, 11 Januari 2012

Sepenggal Cerita Tentangnya

oleh Lita Maisyarah Dechy pada 5 Januari 2012 pukul 23:03

Dia, satu-satunya kakak yang terasa jauh, sangat jauh. Belum sempat aku mengobrol manis sebagai seorang adik dengannya. Kami masih kaku, dingin. Tapi aku menyayanginya. Entahlah. Aku juga heran kenapa jemariku bisa dengan mudah mengetik kalimat “ aku menyayanginya”. Aku bahkan tak pernah dekat, ngobrol, bersenda gurau dengannya. Bahkan kesan yang ku tangkap saat bertemu denganku, aku mengira dia membenciku. Ahh, mungkin aku saja yang terlalu perasa.
            Kira-kira beberapa bulan lalu kami mendengar ia terserang penyakit yang sangat mengerikan, kanker payudara. Tak hanya resep dokter, obat-obatan herbal dari pengobatan alternative juga menjadi makanan sehari-harinya. Dia juga sudah menjalani dua kali operasi untuk mengangkat kanker itu atas anjuran dokter. Namun “ia” tetap berkembang walau sudah di angkat. Katanya sih, karena akarnya tidah terangkat secara menyeluruh. Entah, aku tak begitu mengerti.
            Hingga seminggu lalu, ia berada pada kondisi terparah. RS. Angkatan Laut Belawan bahkan sudah menyerah untuk mengobatinya dan memilih untuk dirujuk ke RS. Herna Medan. Ia harus masuk ICU karena shock. Aku hanya mendengar penuturan dari ibuku, tak melihat langsung. Tapi cukup membuatku bergidik ngeri. Apalagi waktu pertama kali dadanya akan dibersihkan oleh perawat di RS.  Herna. Semua keluarga yang berkepentingan, suami, ayah dan ibu. Saat itu, kata ibuku, ayah menangis sangat pilu. Aku yakin, pasti penyakit itu sangat parah. 3 hari ia lewatkan dengan beragam jarum menusuki tubuhnya. Alat bantu pernapasan dan deteksi detak jantung yang turut meramaikan jarum-jarum itu membuat aku semakin cemas.
Aku menggendong sayang Baqis, keponakanku, anak sulungnya yang masih berumur 4 tahun. Senyum dan tawanya merekah ceria. Dimainkannya jilbabku dengan bebas. Kubelai rambutnya sebahunya. Dalam diamku, aku tergugu, “jika terjadi sesuatu dengan ibumu, kau akan menjadi piatu, nak…”
Benar adanya, kemarin setelah ujian, aku menerima telpon dari adikku Arif kalau kakakku itu telah tiada. Wajah Balqis dan Gibran serta merta terlintas di benakku. Kedua bocah, putera puterinya kini telah menjadi piatu. Air mataku merebak.
Kemarin, tanggal 4 Januari 2012, ia dikebumikan. Masih terbayang di ingatan, Balqis tak mau meninggalkan pusara ibunya walau hari sudah senja. Sungguh, aku benar-benar tak bisa membendung buliran bening itu walau aku sudah membangun tembok pertahanan. Aku tak mau membuat balqis semakin yakin kalau ibunya benar tidak akan kembali ke rumah lagi. Tapi aku tak bisa. Mataku terus saja basah.
Kudekap balqis yang menyentuh tulisan di nisan baru itu, “innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Ratna Sari Dewi Binti Abd. Rahman.”
Rest in peace, sista..
sehari sebelum berpulang, di ruang ICU RS. Herna Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar