Sabtu, 13 Oktober 2012

DETIK-DETIK PENENTU #ngelap keringat -_-

waktu ngobrak abrik file, aku nemu makanan ringan ini, eh, catatan ringan maksdunya. entah kapan tepatnya aku curhat sama si item dan menghasilkan cemilan ini. yang pasti, waktu kutemukan kembali, rasa2nya harus kupajang disini deh. jadi, ini dia cemilan itu. :D
 ^_^


Tes!

Aku seolah bisa mendengar bunyi lelehan keringat yang jatuh dari dahi menuju lenganku. Tidak, bukan karena cuaca kotaku yang sedang panas, bukan pula karena aku sedang berolahraga keras untuk menurunkan berat badan yang belakangan menunjukkan kenaikan yang signifikan. Bukan itu. Aku tengah dilanda cemas luar biasa. Ini adalah detik-detik penentuan aku bisa wisuda bulan ini atau tidak.

Kulihat dosen pembimbing yang sedang membolak-balik halaman skripsiku. Meneliti dan mencari-cari kesalahan yang mungkin ada. Sesekali keningnya berkerut sambil menari-narikan penanya di atas lembaran putih nan tebal itu. Aku semakin gugup. Aku tahu masih banyak kesalahan yang ada karena aku tidak terlalu memperhatikan. Tapi, tolonglah. Besok adalah hari terakhir untuk mendaftar menjadi peserta ujian komprehensif yang juga merupakan persyaratan kelulusan. Kalau skripsiku tidak di ACC sekarang, aku takkan bisa mendaftar besok.

“Kenapa gelisah sekali, Lita?” Bu Yenni, pembimbingku mengalihkan wajahnya dari tumpukan kertas skripsi ke arahku. “Besok hari terakhir pendaftaran ujian komprehensif, ya?” sambungnya.

Melihatku yang mengangguk pasrah, beliau tersenyum.

“Selesaikan saja dulu revisinya. Kalau sudah rezeki untuk wisuda bulan ini, insya Allah bisa, kok. Lagian, Lita belum genap empat tahun kan, kuliahnya?”

Ahh, kalimat itu.

Aku melangkah keluar dari ruangan Bu Yenni gontai. Aku memang masih bisa memperbaiki semua kesalahan itu segera, tapi kapan aku bisa bertemu Bu Yenni lagi? Bukannya beliau cuma ada di kampus sekali seminggu? Sementara besok, kalau aku tidak bisa daftar, otomatis aku takkan bisa wisuda.

Kuhempaskan tubuhku di kursi tunggu di lobby fakultas. Pupus sudah harapan bisa menyelesaikan studi strata satu dalam kurun waktu tiga setengah tahun.

Kuakui, aku memang terlalu santai mengerjakan skripsi ini. Harusnya dari kemarin-kemarin aku sudah bimbingan dan meneliti lagi setiap kalimat di skripsiku, agar tak ada yang salah tulis atau salah analisa lagi. Mestinya kemarin aku tidak menganggap program pengerjaan skripsi itu mudah. Nyatanya, satu semester masih belum cukup untuk merampungkannya. Dan aku sudah diujung tanduk. Jika tidak bisa menyelesaikan S1 bulan ini, artinya kerja kerasku memperjuangkan semuanya agar bisa selesai dalam tiga setengah tahun, percuma. Dan semua itu disebabkan oleh satu kata : sepele.

Aku terlalu abai dengan skripsi-ku belakangan ini. Saat harusnya tengah getol-getolnya revisi, aku malah menyempatkan diri untuk ikut pelatihan jurnalistik di Sumatera Barat selama seminggu plus liburan ke Riau selama lima hari. Dua belas hari terlewati tanpa sedikitpun menyentuh naskah skripsi yang harusnya sudah selesai kurevisi.
Dan sekarang, aku dihadapkan pada kenyataan kalau aku tidak bisa wisuda bulan ini karena abaiku, karena acuhku sendiri. 
Tes!
Kali ini bukan lagi tetesan keringat, tapi airmata. Ya, aku menangis. Sedih sekali rasanya jika perjuanganku selama lima bulan terakhir berujung sia-sia hanya karena dua belas hari. Separah itukah dampak dua belas hari terhadap lima bulan kemarin?
Ditengah sedu sedan yang kubuat sedemikian rupa untuk mendramatisir keadaan, ponselku berdering. Ada pesan masuk.
“Bsk, jam 9 pagi ibu tunggu di ruangan. Pstikan tdk ada yang salah lagi, ya.”
Bu Yenni.
Ohh Tuhan, besok. Penentuannya adalah besok. Ini kesempatanku. Terimakasih , Allah, telah membukakakan hati Bu Yenni untuk menerimaku bimbingan besok. Padahal harusnya, minggu depan ia baru bisa ditemui.
Semangatku menggebu lagi. Paling tidak, kini aku punya harapan. Kuhabiskan waktu semalam suntuk untuk membaca ulang dan memperbaiki kalimat-kalimat yang keliru dan analisa-analisa yang dangkal. Kuperhatikan lagi coretan-coretan yang dibuat Bu Yenni tadi siang, lantas kurevisi. Ternyata semangat menggebu juga tidak bisa merubah kantuk dan lelah menjadi tetap segar. Aku tertidur di depan laptop yang masih menyala tepat saat aku mendengar adzan Subuh.
Dan tepat pukul 11 esok paginya, aku keluar dari ruangan Bu Yenni dengan senyum lebar. Terlukis tiga huruf yang kuincar dengan manisnya di skripsi yang ku genggam, ‘ACC’. Kerja kerasku selama lima bulan terakhir serta malam panjang yang kulewatkan dengan revisi habis-habisan, tidak berakhir sia-sia. Setelah mendaftar ujian komprehensif, langkah untuk menuju gerbang sarjana tinggal dua saja, lulus ujian komprehensif dan sidang munaqasyah.
Aku mengulum senyum. Kejadian sebulan bulan lalu itu sungguh masih bisa membuatku merasakan sensasi-sensasinya. Masih bisa merasakan degup jantung yang tak beraturan saat tahu akan kemungkinan tidak bisa wisuda bulan itu, juga masih bisa merasakan sensasi dinginnya keringat dan air mata yang menetes di lengan. Tapi semuanya terbayar sudah.
Pesan moralnya, jangan menganggap remeh suatu hal, apapun itu. Karena mungkin akan berdampak pada keberhasilan yang dituju. Dan pastikan semangat tetap menyala di saat paling krisis sekalipun, karena
 tak ada yang mustahil jika Tuhan sudah berkehendak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar