Ini Jalan yang Dipilihkan Allah Buatmu T,,T
oleh Lana Molen pada 18 Mei 2012 pukul 0:18 ·
Setiap
orang punya jalan yang ia pilih. Jalan yang membawanya menuju satu
tempat yang ia impikan. Perlu komitmen yang kuat untuk menuju tempat
itu, komitmen yang dibagun atas dasar keyakinan.
.........
Hahahaha...kali ini aku terpaksa sedikit melankolis saat menulis note ini. Bukannya karena lagi enggak ada hepeng atau karena mikirin skripsi, ini lebih karena 'seseorang' sebentar lagi akan wisuda. Seseorang yang telah menjadi bagian dari keluarga besar kami di LPM Dinamika IAIN SU.
Sebenarnya aku terlalu lebay kalau menganggap ini adalah sebuah perpisahan sehingga aku harus merasa sedih. Kemungkinan yang lain adalah aku sedih bukan karena itu tapi (mungkin) karena "kenapa dia bisa wisuda duluan sedangkan aku tidak?" tapi jujur lho, bukan atas sebab itu. Ada hal lain yang menyangkut perasaan.
Ngomong-ngomong perasaan. Perasaan sedih itu pertama kali muncul saat musyawarah terakhir dengan Dewan Redaksi pada desember 2011 lalu. Saat itu mbak Zee dan mbak Ani memutuskan untuk mengejar wisuda bulan lima 2012. Itu artinya, mereka tidak bisa terpilih kembali sebagai Dewan Pimpinan untuk priode selanjutnya. Untunglah Indah bersedia mendampingiku. Walau begitu, aku tidak menafikan momen itu seperti momen perpisahan saja. Biar wajah serius, hati sudah meleleh. Ini adalah momen yang paling kubenci.
Nah, momen itu kembali terulang dua hari yang lalu. Aku enggak tau apa sebab, sedih tiba-tiba saja muncul saat aku tau seorang anggotaku di LPM Dinamika esoknya akan mengikuti sidang munaqasyah. Satu-satunya sidang yang diinginkan banyak mahasiswa tingkat akhir. Bengak kan? Bukannya senang gitu. Wong dia cuma wisuda, bukannya imigrasi ke Belanda.Batinku.
Bagaimana enggak sedih. Seketika setelah mendengar kabar itu pikiranku melayang ke dua tahun lalu.
Saat itu interview antara aku dan calon-calon kru magang Dinamika. Aku tengah duduk menyandar di salah satu dinding. Aku lupa siapa yang mendampingiku kala itu. Aku hanya ingat, saat itu aku berusaha menjaga penampilanku agar terlihat lebih dewasa dan punya kapasitas sebagai seorang senior. Dan satu yang kuingat saat itu adalah dia, cewek yang datang dengan malu-malu sambil menundukkan pandangannya. Sesekali wajahnya menatapku. Matanya itu, terlalu tajam buatku.
Kulihat fotonya di formulir pendaftaran. Foto 3x4 itu itu memang memuat wajahnya yang bulat dengan bibir yang ditarik ke dalam. Hasilnya, sebuah desain senyum yang terakhir aku tau itu adalah senyum andalannya. Matanya, tetap saja seperti mata elang, begitu tazam.
Aku melihat otobiografinya. Ada yang menarik. Ia memilih Manajemen Syariah hanya dengan alasan "tidak suka diperintah dan ingin memanaj dirinya sendiri agar dapat memanaj orang lain nantinya." Hemm, cukup beralasan.
Nah, tentang hobi, ia hobi membaca, online dan ngobrol. Biasa sih, hobi orang-orang pada umumnya.
Kelemahannya, "tapi semuanya tergantung mood". Setelah mengenalnya sekitar dua tahun ini, betul, mood menjadi alasan utamanya untuk mengerjakan sesuatu, bukan hanya di hobi. Tapi mungkin, sekarang ia punya alasan lain, bukan hanya sekedar mengikuti 'mood'.
Masa ujian pun berakhir. Ia dinyatakan lulus, dan dinobatkan sebagai kru magang Dinamika. Satu yang kuingat dari masa-masa magang adalah cerpennya yang berjudul apa itu ya, "Afrika itu putih" kalo enggak salah. Aku menangkap gaya tulisannya mirip-mirip tenlit. Ia suka alur cerita remaja yang dramatisasinya mengandung unsur perjuangan yang diselipin nada-nada percintaan. Baca saja cerpennya di buku 'hujan di atas kubah masjid' yang berjudul 'Edelweis Untuk Aisha'. Ia begitu manja menuliskannya.
Hari-hari berikutnya aku dan dia sebenarnya tidak terlalu akrab. Itu karena kesibukannya di luar (baca: kuliah) yang kadang hanya menyisakan sedikit waktu untuk Dinamika. Aku yakin ia serius dan malahan terlalu serius menjalani perkuliahan. Ditambah, teman-teman kelas yang begitu dekat dengannya. Acara di luar semakin padat saja bukan?
Aku bisa meyakini bahwa, kita punya kecendrungan mengikuti suasana yang membuat jiwa kita menjadi tenang. Bahkan, komitmen pun bisa luntur jika kita tidak bisa melawan suasana. Misalkan, kita mau belajar untuk ujian besok, tapi kalau keadaannya di rumah sedang ada pesta, mau enggak mau kita larut. Secara umum begitu sih. Nah, begitu juga dengan Lita kala itu, ia tak mendapatkan ketenangan itu. Kenapa? Secara ia adalah mahasiswa sem 4 kala itu, padahal satu angkatannya mayoritas sem 2, jadilah dia kakak-an. Secara perasaan, ia sebenarnya tipe orang yang suka curhat. Curhat sana-curhat sini. Tapi itu hanya bisa ia lakukan bersama dengan teman-temannya di luar Dinamika. Walaupun kadang ia juga keliatan sedang curhat dengan adik-adiknya di Dinamika.
Tuntutan kinerja di Dinamika menekannya untuk bekerja secara maksimal. Beberapa kali ia dipanggil oleh Dewan Redaksi karena lalai dalam tugas. Ini adalah sebuah sikap yang menurutku sangat baik, walau kadang, nasehat berupa ancaman sempat terucap. Ini bukan sistem senioritas yang mengakar, namun sebatas shock terapy yang memungkinkan orang sadar sekitar 20% saja. Selebihnya, dari diri sendiri tentunya. Aku termasuk orang yang paling banyak menegurnya, menyindirnya, sampai memarahinya. Sampai akhirnya satu saat, ia berniat untuk pergi meninggalkan kami, keluarganya di Dinamika.
Aku tidak tau pasti apa alasan dari niatnya itu. Mungkin karena jenuh atau apalah. Aku sempat menasehatinya dengan segala macam alasan yang membuatnya harus menghapus kata-kata 'keluar' dari alam pikirannya. Sejujurnya, aku tidak ingin siapapun yang telah kukenal baik dan akrab harus pergi dengan cepat. Aku tidak suka dengan yang namanya perpisahan. Menyayat, tau enggak menyayat. Sedih, kepikiran, atau apalah. Namun, aku punya cara sendiri dalam mengekspresikan perasaaan (sedih) itu. Ya, seperti ini, jiwaku terlalu melankolis hingga aku harus berlaku mubajir dengan menaburkan ribuan kata-kata untuk mewakili apa yang kurasakan. Mungkin pembaca juga sudah terbawa suasana.
Ada satu hal yang masih kuingat darinya. Satu hal yang juga tak mungkin ia lupakan. Hal berupa kalimat yang masih terngiang-ngiang di otakku. "Tetaplah menjadi alasanku untuk bertahan," ingat enggak? Kalimat yang pernah tercetus itu, sampai sekarang aku enggak tau maknanya. Mungkin satu saat nanti bisa ia jelaskan.
Terakhir, abang mau minta maaf sama Lita karena pernah menjatuhkan air matamu. Malam itu begitu dramatis. Suara parau yang menggerus jantung, diselingi tangis yang berat, itu benar-benar membuat abang merasa bersalah. Menyesal, itu kata yang pantas abang sandang, mungkin juga sampai kini. Sebab, paku yang pernah tertantap, apabila dicabut tetap saja meninggalkan bekas. Pun kejadian itu, pasti masih membekas dihatimu. Abang minta maaf untuk kesekian kalinya.
Lit, satu saat kita pernah tak saling cakapan. Abang ingat, saat itu abang terlalu sombong, hingga ada kata-kata yang kemudian menyinggung perasaanmu. Begitulah, abang memang sering sok tau dan sok intelek. Abang masih perlu belajar dalam mengutarakan pendapat agar hati pendengarnya tak tersinggung. Namun alhamdulillah akhirnya kita sama-sama dewasa untuk menyudahinya.
Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Menjalani kehidupan masing-masing?
Abang mungkin terlalu berharap pada angkatan kalian agar bisa melanjutkan estafet ini. Banyak orang berguguran tanpa bisa menikmati apa yang diberikan Dinamika. Tapi sekarang satu orang lagi harus pergi dengan tiba-tiba. Tanpamu kami akan semakin timpang. Banyak hal yang mungkin bisa kita lakukan bersama-sama dalam memfungsikan Litbang untuk kemajuan Dinamika. Sebab kita tau, Litbang adalah tulang punggungnya Dinamika. Kini?? Sudahlah, abang percaya, doa Lita pasti dapat membangkitkan semangat kami.
Mungkin kita tak akan bisa lagi tertawa bersama di saat rapat dengan ngejein kru-kru Dinamika. Mungkin kita enggak akan bisa lagi berdebat dengan saling melemparkan argumen yang sama-sama kita pertahankan. Mungkin kita juga akan jarang mendengarkan Tausyiah Irhas bersama-sama. Ya, segalanya perlahan-lahan mulai berakhir.
Apapun yang abang katakan diatas, intinya abang salut padamu yang telah menghabiskan masa kurang dari 4 tahun demi menuntaskan kuliah. Tidak ada yang mungkin dapat membuat ibu Lita bangga saat ini selain itu. Kamu telah membuktikannya.
Jalan masih panjang, dan sekarang kita punya jalan masing-masing. Abang harap silaturahmi jangan sampai putus. Seringlah main ke sekret demi mengulang kisah yang pernah kita torehkan.
*ingat, nanti pas wisuda ada lagi...
.........
Hahahaha...kali ini aku terpaksa sedikit melankolis saat menulis note ini. Bukannya karena lagi enggak ada hepeng atau karena mikirin skripsi, ini lebih karena 'seseorang' sebentar lagi akan wisuda. Seseorang yang telah menjadi bagian dari keluarga besar kami di LPM Dinamika IAIN SU.
Sebenarnya aku terlalu lebay kalau menganggap ini adalah sebuah perpisahan sehingga aku harus merasa sedih. Kemungkinan yang lain adalah aku sedih bukan karena itu tapi (mungkin) karena "kenapa dia bisa wisuda duluan sedangkan aku tidak?" tapi jujur lho, bukan atas sebab itu. Ada hal lain yang menyangkut perasaan.
Ngomong-ngomong perasaan. Perasaan sedih itu pertama kali muncul saat musyawarah terakhir dengan Dewan Redaksi pada desember 2011 lalu. Saat itu mbak Zee dan mbak Ani memutuskan untuk mengejar wisuda bulan lima 2012. Itu artinya, mereka tidak bisa terpilih kembali sebagai Dewan Pimpinan untuk priode selanjutnya. Untunglah Indah bersedia mendampingiku. Walau begitu, aku tidak menafikan momen itu seperti momen perpisahan saja. Biar wajah serius, hati sudah meleleh. Ini adalah momen yang paling kubenci.
Nah, momen itu kembali terulang dua hari yang lalu. Aku enggak tau apa sebab, sedih tiba-tiba saja muncul saat aku tau seorang anggotaku di LPM Dinamika esoknya akan mengikuti sidang munaqasyah. Satu-satunya sidang yang diinginkan banyak mahasiswa tingkat akhir. Bengak kan? Bukannya senang gitu. Wong dia cuma wisuda, bukannya imigrasi ke Belanda.Batinku.
Bagaimana enggak sedih. Seketika setelah mendengar kabar itu pikiranku melayang ke dua tahun lalu.
Saat itu interview antara aku dan calon-calon kru magang Dinamika. Aku tengah duduk menyandar di salah satu dinding. Aku lupa siapa yang mendampingiku kala itu. Aku hanya ingat, saat itu aku berusaha menjaga penampilanku agar terlihat lebih dewasa dan punya kapasitas sebagai seorang senior. Dan satu yang kuingat saat itu adalah dia, cewek yang datang dengan malu-malu sambil menundukkan pandangannya. Sesekali wajahnya menatapku. Matanya itu, terlalu tajam buatku.
Kulihat fotonya di formulir pendaftaran. Foto 3x4 itu itu memang memuat wajahnya yang bulat dengan bibir yang ditarik ke dalam. Hasilnya, sebuah desain senyum yang terakhir aku tau itu adalah senyum andalannya. Matanya, tetap saja seperti mata elang, begitu tazam.
Aku melihat otobiografinya. Ada yang menarik. Ia memilih Manajemen Syariah hanya dengan alasan "tidak suka diperintah dan ingin memanaj dirinya sendiri agar dapat memanaj orang lain nantinya." Hemm, cukup beralasan.
Nah, tentang hobi, ia hobi membaca, online dan ngobrol. Biasa sih, hobi orang-orang pada umumnya.
Kelemahannya, "tapi semuanya tergantung mood". Setelah mengenalnya sekitar dua tahun ini, betul, mood menjadi alasan utamanya untuk mengerjakan sesuatu, bukan hanya di hobi. Tapi mungkin, sekarang ia punya alasan lain, bukan hanya sekedar mengikuti 'mood'.
Masa ujian pun berakhir. Ia dinyatakan lulus, dan dinobatkan sebagai kru magang Dinamika. Satu yang kuingat dari masa-masa magang adalah cerpennya yang berjudul apa itu ya, "Afrika itu putih" kalo enggak salah. Aku menangkap gaya tulisannya mirip-mirip tenlit. Ia suka alur cerita remaja yang dramatisasinya mengandung unsur perjuangan yang diselipin nada-nada percintaan. Baca saja cerpennya di buku 'hujan di atas kubah masjid' yang berjudul 'Edelweis Untuk Aisha'. Ia begitu manja menuliskannya.
Hari-hari berikutnya aku dan dia sebenarnya tidak terlalu akrab. Itu karena kesibukannya di luar (baca: kuliah) yang kadang hanya menyisakan sedikit waktu untuk Dinamika. Aku yakin ia serius dan malahan terlalu serius menjalani perkuliahan. Ditambah, teman-teman kelas yang begitu dekat dengannya. Acara di luar semakin padat saja bukan?
Aku bisa meyakini bahwa, kita punya kecendrungan mengikuti suasana yang membuat jiwa kita menjadi tenang. Bahkan, komitmen pun bisa luntur jika kita tidak bisa melawan suasana. Misalkan, kita mau belajar untuk ujian besok, tapi kalau keadaannya di rumah sedang ada pesta, mau enggak mau kita larut. Secara umum begitu sih. Nah, begitu juga dengan Lita kala itu, ia tak mendapatkan ketenangan itu. Kenapa? Secara ia adalah mahasiswa sem 4 kala itu, padahal satu angkatannya mayoritas sem 2, jadilah dia kakak-an. Secara perasaan, ia sebenarnya tipe orang yang suka curhat. Curhat sana-curhat sini. Tapi itu hanya bisa ia lakukan bersama dengan teman-temannya di luar Dinamika. Walaupun kadang ia juga keliatan sedang curhat dengan adik-adiknya di Dinamika.
Tuntutan kinerja di Dinamika menekannya untuk bekerja secara maksimal. Beberapa kali ia dipanggil oleh Dewan Redaksi karena lalai dalam tugas. Ini adalah sebuah sikap yang menurutku sangat baik, walau kadang, nasehat berupa ancaman sempat terucap. Ini bukan sistem senioritas yang mengakar, namun sebatas shock terapy yang memungkinkan orang sadar sekitar 20% saja. Selebihnya, dari diri sendiri tentunya. Aku termasuk orang yang paling banyak menegurnya, menyindirnya, sampai memarahinya. Sampai akhirnya satu saat, ia berniat untuk pergi meninggalkan kami, keluarganya di Dinamika.
Aku tidak tau pasti apa alasan dari niatnya itu. Mungkin karena jenuh atau apalah. Aku sempat menasehatinya dengan segala macam alasan yang membuatnya harus menghapus kata-kata 'keluar' dari alam pikirannya. Sejujurnya, aku tidak ingin siapapun yang telah kukenal baik dan akrab harus pergi dengan cepat. Aku tidak suka dengan yang namanya perpisahan. Menyayat, tau enggak menyayat. Sedih, kepikiran, atau apalah. Namun, aku punya cara sendiri dalam mengekspresikan perasaaan (sedih) itu. Ya, seperti ini, jiwaku terlalu melankolis hingga aku harus berlaku mubajir dengan menaburkan ribuan kata-kata untuk mewakili apa yang kurasakan. Mungkin pembaca juga sudah terbawa suasana.
Ada satu hal yang masih kuingat darinya. Satu hal yang juga tak mungkin ia lupakan. Hal berupa kalimat yang masih terngiang-ngiang di otakku. "Tetaplah menjadi alasanku untuk bertahan," ingat enggak? Kalimat yang pernah tercetus itu, sampai sekarang aku enggak tau maknanya. Mungkin satu saat nanti bisa ia jelaskan.
Terakhir, abang mau minta maaf sama Lita karena pernah menjatuhkan air matamu. Malam itu begitu dramatis. Suara parau yang menggerus jantung, diselingi tangis yang berat, itu benar-benar membuat abang merasa bersalah. Menyesal, itu kata yang pantas abang sandang, mungkin juga sampai kini. Sebab, paku yang pernah tertantap, apabila dicabut tetap saja meninggalkan bekas. Pun kejadian itu, pasti masih membekas dihatimu. Abang minta maaf untuk kesekian kalinya.
Lit, satu saat kita pernah tak saling cakapan. Abang ingat, saat itu abang terlalu sombong, hingga ada kata-kata yang kemudian menyinggung perasaanmu. Begitulah, abang memang sering sok tau dan sok intelek. Abang masih perlu belajar dalam mengutarakan pendapat agar hati pendengarnya tak tersinggung. Namun alhamdulillah akhirnya kita sama-sama dewasa untuk menyudahinya.
Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Menjalani kehidupan masing-masing?
Abang mungkin terlalu berharap pada angkatan kalian agar bisa melanjutkan estafet ini. Banyak orang berguguran tanpa bisa menikmati apa yang diberikan Dinamika. Tapi sekarang satu orang lagi harus pergi dengan tiba-tiba. Tanpamu kami akan semakin timpang. Banyak hal yang mungkin bisa kita lakukan bersama-sama dalam memfungsikan Litbang untuk kemajuan Dinamika. Sebab kita tau, Litbang adalah tulang punggungnya Dinamika. Kini?? Sudahlah, abang percaya, doa Lita pasti dapat membangkitkan semangat kami.
Mungkin kita tak akan bisa lagi tertawa bersama di saat rapat dengan ngejein kru-kru Dinamika. Mungkin kita enggak akan bisa lagi berdebat dengan saling melemparkan argumen yang sama-sama kita pertahankan. Mungkin kita juga akan jarang mendengarkan Tausyiah Irhas bersama-sama. Ya, segalanya perlahan-lahan mulai berakhir.
Apapun yang abang katakan diatas, intinya abang salut padamu yang telah menghabiskan masa kurang dari 4 tahun demi menuntaskan kuliah. Tidak ada yang mungkin dapat membuat ibu Lita bangga saat ini selain itu. Kamu telah membuktikannya.
Jalan masih panjang, dan sekarang kita punya jalan masing-masing. Abang harap silaturahmi jangan sampai putus. Seringlah main ke sekret demi mengulang kisah yang pernah kita torehkan.
*ingat, nanti pas wisuda ada lagi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar