“Sekarang
abang tanya, siapa yang mau tamat tiga setengah?” tanyanya setelah menjelaskan
betapa banyak sarjana yang terluntang lantung setelah menyelesaikan studi S1
nya. Harusnya semua yang ada di forum itu tak ada yang mengacungkan tangan.
Cerita yang diuraikan pria berkaca mata itu jelas meyakinkan kalau tak ada yang
bisa diabdikan untuk masyarakat kalau mencukupkan tiga setengah tahun di
perkuliahan. Ilmu yang didapat di perkuliahan itu belum cukup untuk mengabdi
kepada masyarakat. Mana kuliahnya di kampus yang sedikit di pandang sebelah
mata pula.
“Memangnya
apa jurusan kalian? Bahasa inggris? Sekarang siapa yang gag bisa bahasa inggris
rupanya? Semua orang bisa. Mau kerja dimanalah klen nanti. Saingan klen banyak.
Kalaupun bisa, mungkin klen di tempatkan di pelosok sanalah,” ia menghela
nafas. “Makanya fokuslah di Dinamika. Ini jalan alternative kita untuk masa
depan. Jadi jurnalis atau jadi penulis. Disinilah potensi itu bisa kita gali. Jadi
seriuslah. Abang tekankan, ini bukan organisasi. Ini adalah jurusan kedua yang
kalian pilih, jurusan jurnalistik.”
Sedikit
kerut membingkai wajahnya ketika ia melihat masih ada yang bebal. Sudah
dikomporin segitu panas, masih juga angkat tangan. Menunjukkan pada forum ia tetap
keukeh mau menyelesaikan studinya dalam waktu singkat. Ya, ia hanya sendirian.
Dan forum itu mungkin menganggap ia sebagai orang aneh yang tak terlalu cinta
Dinamika. Yang rela meninggalkan jejak pembelajaran dan pendewasaan diri di
dunia Dinamika begitu cepat. Atau, mungkin sebagian mengira, “ahh, gag mungkin.
Dia pasti gag mau ninggalin keluarga Dinamika begitu cepat.” Beragam persepsi
bisa saja memenuhi fikiran mereka. Yang pasti di dalam benak kru yang bebal itu
kira-kira seperti ini, “aku gag peduli kalian mikir apa. Aku hanya ingin jujur
pada diriku sendiri.”
Dan
sejak itu, ia memasang janji, “akan kuselesaikan studiku dalam tiga setengah
tahun.”
Ini
bukan sekedar keinginan, ini tentang sebuah komitmen.
***
Aku
kembali mengingatkan kisah itu padanya, pada orang yang pernah ‘memanas-manasi’
untuk bertahan lebih lama di Dinamika. Orang yang dengan tanpa sengaja telah
memicuku untuk mencetuskan komitmen itu. Ia tersenyum. Senyum yang multi tafsir
sebenarnya. Tapi aku tahu makna terdalam dari senyum itu. *Kan aku pernah
bilang, tanpa kau bicara pun, aku tau apa yang kau fikirkan.*
Sore
itu mendung, tapi bagiku yang baru saja selesai dari pertempuran besar melawan
pertanyaan demi pertanyaan dari penguji dalam perang sidang munaqasyah yang
berjalan dengan sangat baik, sore itu tetap indah. Bahkan lebih indah dari
biasa. Pujian dari seorang guru besar yang sangat kukagumi masih membekas dalam
ingatan, bahkan sampai detik saat aku menulis catatan ini. Dan itu sungguh
kebahagiaan tersendiri yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata lagi. Pujian
biasa memang, tapi itu dari seorang guru besar Ekonomi Islam. Waw ^_^ takkan
pernah kulupa.
Kuayun
langkah menuju ‘rumahku’ di gedung perkantoran aula lantai 1 IAIN SU. Rasanya
ingin berlari saja. Tak sabar aku membagi berita bahagia ini dengan seluruh
keluargaku, krupers Dinamika. Semangatku menggebu. Tak puas hanya berbagi
dengan mereka, aku menelepon hampir semua teman-teman dekat. Tak afdhol rasanya
jika mereka tak tahu aku selamat dari pertempuran melawan puluhan pertanyaan
dari seorang guru besar, satu orang doctor, dua orang kandidat doctor, dan
seorang lagi dosen yang disegani, mantan kajur EKI. Mereka harus tau kalo aku
baik-baik saja, selamat dan sehat wal afiat. Hahaha. :D
Ya,
aku berhasil. Studiku selesai dalam waktu yang cukup singkat. Aku menang
melawan bisikan-bisikan untuk menikmati lebih lama status sebagai mahasiswa. Aku mengalahkan ‘sisi-sisi terlalu cinta’ ku
pada Dinamika yang ingin aku tetap menyandang status sebagai kru, untuk
menyelesaikan amanah yang dipercayakan padaku. Walau sebenarnya
pertimbangan-pertimbangan itu sempat membuat aku kalut. Aku hampir dengan
sengaja tak lagi memikirkan masalah kompri agar aku punya alasan untuk tak
mencapai target wisuda bulan Mei 2012. Dan aku sempat membiarkan naskah
skripsiku tertumpuk di rak tanpa berniat menyentuhnya. Galau saat itu merajai
fikiranku.
Aku
masih tak bergerak menyelesaikan semuanya sampai sahabat-sahabat seperjuangan
di Manajemen Syariah ’08 kembali hadir mengusapkan semangat di atas galau yang
menderaku. Mereka kembali meyakinkanku kalau aku harus selesai segera. Mereka
mendesakku untuk tetap menjadi aku yang dulu, ambisius. Mengingatkan aku pada
komitmen yang sudah kubangun sendiri. *ailopyu, guys* aku perlahan bangkit,
tertatih awalnya, tapi kemudian aku mencoba menapakkan kaki dengan tegas dan
mulai berlari. Berkejaran dengan waktu. Sampai, akhirnya kini, gelar Sarjana
Ekonomi Islam sudah terpajang di belakang namaku. Memperpanjang namaku yang
memang sudah panjang. :D
Itulah
kawan, secercah kisah yang menunjukkan manisnya buah dari pohon bernama
komitmen.
Alhamdulillah :)
BalasHapusSelamat atas sarjananya, smoga bisa manfaat bagi orang2 disekitar. Aamiin...
aamiinn.. makasi ya mbak nhinis.. :)
BalasHapusselamat wisuda dan mendapat gelar
BalasHapusgood luck ya
semoga ilmu yang di dapat berkah
terimakasih.. :D
BalasHapussemoga doanya di ijabah Allah..