Soraya
Kuseret
langkahku melewati boarding pass. Ini memuakkan. Sebulan terakhir, sudah tiga
kali kulakukan. Mungkin bulan depan empat kali, lantas bulan depannya sepuluh
kali. Sampai aku mati bosan.
“Traveling
lagi, Miss Soraya,” pramugara yang belakangan kutahu bernama Jean menyapa.
Lagi-lagi,
ini memuakkan. Tapi aku hanya tersenyum.
Pandanganku
kosong mendengar pramugari yang lain menginformasikan cara penyelamatan jika
pesawat dalam keadaan darurat. Aku sampai hapal luar kepala. Meski sebenarnya
aku lebih ingin tak tahu apa-apa. Jadi, jika saja pesawat ini meledak, maka aku
pasti mati.
***
Ben
“Selamat
pagi, Sir Ben.” Sapa Jean. “Sudah lama tidak terbang, pekerjaan sedang padat,
Sir?”
“Begitulah.”
“Semoga
empat puluh lima menit kedepan menyenangkan, Sir,” Jean menunduk pamit.
“Jean,”
sergahku, “Dia ada?”
“Di
kursi nomor 47, Sir,” Jean tersenyum, dan berlalu.
Aku
tersenyum. Sudah nyaris dua bulan aku tidak dinas keluar, dan sudah pasti aku
tidak bertemu dia. Aku rindu wajah dengan senyum sedingin salju itu. Pesonanya
mengagumkan meski sebenarnya kami tak pernah bertegur sapa. Beberapa bulan
terakhir, sejak aku rutin melakukan perjalanan dinas ke negeri jiran, aku kerap
satu pesawat dengannya. Aneh? Ya! tapi aku lebih suka menyebutnya ‘jodoh.’
***
Soraya
Aku
benar-benar akan mati bosan! Ini baru menit ke sepuluh, dari empat puluh lima
menit yang panjang. Kenapa sebegitu jauh jarak antara monas dan twin tower,
hah?! Kalau aku tidak jadi mati dalam waktu dekat, aku ingin suatu saat nanti
empat puluh lima menit bisa dipersingkat jadi sepuluh atau lima belas menit
saja.
Disebelahku,
seorang gadis duduk tenang, matanya memejam, dan ditelinganya menggantung ear
phone. Aku iri! Aku tidak pernah memejam dengan tenang. Saat mataku mengatup,
otakku segera me-reka adegan pertengkaran hebat mama papaku soal perselingkuhan
papa, tangisan keras adik perempuanku, dan suaraku yang memohon Tuhan
mengambilku segera. Tapi entah kenapa sampai detik ini aku masih bernyawa. Padahal,
aku tahu dokterku sudah bilang ke mama kalau umurku tak lagi lama. Mungkin
Tuhan sedang menghukumku. Menyiksaku dengan kanker darah ini sedikit lebih
lama.
“Sorry,” seorang lelaki menarikku
dari lamun. “Kita sering satu pesawat ya?” ia tersenyum.
“Kebetulan,” sahutku pendek.
“Dari sekian banyak maskapai, sekian
banyak jam keberangkatan, dan kita berkali-kali bertemu. Ini ajaib,” ujarnya
antusias. “Namaku Ben.”
“Soraya.”
“Senang berkenalan denganmu, Soraya.
Travelling?”
“Kamu ngapain ke KL? Perjalanan
dinas?” tanyaku mengalihkan.
“Menemani kamu.”
Keningku mengerut. Aku memang hapal
dengan wajah tirus, dan bibir tipis itu. Pun aksennya yang melayu kental. Kami
sering satu pesawat, tapi aku benar-benar tidak tahu kalau dia yang terlihat
tak banyak bicara juga seorang buaya.
***
Ben
Aku
menghapus wajah, ternyata salju tidak hanya ada di senyumnya, pun pada
sikapnya. Tapi empat puluh lima menit kali ini takkan kubuang percuma. Aku
terus mencari celah agar ia bisa
menerimaku menjadi teman seperjalanannya.
“Aku tahu kenapa kamu tidak pernah melihat
keluar jendela, Soraya,” ujarku.
“Kenapa
emang?”
“Karena
kamu tahu, nggak ada pedagang asongan yang jualan di awan.”
Berhasil!
Dia tertawa kecil. Cantik sekali. Tuhan, jika saja empat puluh lima menit ini diperpanjang,
aku tidak keberatan!
Berbulan-bulan
terakhir aku menganggap empat puluh lima menitku bersama Soraya singkat. Ia
sangat dekat, tapi tak sedikitpun keberanianku timbul untuk sekedar menyapanya.
Kekagumanku habis dalam bayangan. Aku hanya berani memandangi, dan mencintainya
dalam persembunyian. Tapi kali ini, entah bagaimana, aku bernyali menghampiri
dan mengajaknya ngobrol. Jean yang melihat aksiku tersenyum lebar. Jempolnya
terangkat. Dia tahu saja aku butuh penyemangat.
“Soraya,”
panggilku, berusaha membuat ia memandang ke arahku. “Kamu cantik hari ini.”
Soraya
mengibaskan tangannya di udara. Tertawa mengejek.
***
Soraya
Aku
muak! Semua lelaki sama saja, kan? Mereka semua baik di awalnya. Mempesona di
perkenalan pertama. Tapi hanya akan ambil langkah seribu begitu tahu aku ini
calon mayat. Ben itu bukan lelaki pertama, sudah ada Ben Ben lain sebelumnya.
Dan semuanya sama saja.
Pujian-pujian
murahan. Perempuan dengan wajah putih pucat, badan kurus, dan senyum dingin
sepertiku dia bilang cantik?! Aku muak dengan omong kosong!
“Sampai ketemu di empat puluh lima menit
selanjutnya, Ben,” ujarku menutup cerita.
“Boleh
aku bertemu kamu di bumi, Soraya? Dengan waktu yang lebih panjang dari sekedar
empat puluh lima menit di udara?”
Gerakku
terhenti. Dia masih ingni menggodaku lebih dalam? Hah, bertemu di bumi,
katanya, ya, kalau dia ingin bertemu lagi, memang di bumi lah tempatnya.
“Nanti,
kalau kita tak pernah satu pesawat lagi, kamu boleh minta alamatku pada Jean,”
aku berusaha tersenyum, lantas segera berlalu.
***
Ben
Aku
tidak percaya apa yang kulihat. Senyum dan tawa yang kudapat kemarin, adalah
senyum dan tawa terakhir. Secarik alamat dari Jean, menuntunku kesini, ke
tempat peristirahatan terakhir gadis pemilik senyum salju yang diam-diam kucintai.
“Sesuai permintaanmu, Ben. Kita
bertemu kembali di bumi, untuk waktu yang panjang. Selamanya.”
***
*Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Remaja Medan DiGi Magz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar