Ini
bukan sekuel dari Balada Mahasiswa Semester Tua dan Balada Mahasiswa Semester
Tua Part II. Soalnya ini blog bukan buat drama sinetron yang gak habis2 sampek
ribuan episode. Karena adek mah nyadar, bang, pembaca blog adek ini gak se-rame
penonton sinetron yang rame di tipi itu. #nunduksedih
Dari
sekian banyak blogpost yang pernah kutulis, baru kusadari sekarang kalo aku gak
pernah nulis tentang keluargaku. Jadi biarkan kali ini aku bercerita tentang
adik bungsuku, yang belum lama ini bikin geger di rumah. Perkara SPO. SPO? Iya,
SPO yang itu yang kumaksud.
Lelaki
yang hadir ke dunia 22 tahun yang lalu itu adalah si bungsu di keluarga ini.
Usia dua dua itu bukan usia yang bisa dibilang kecil lagi ya. Udah dewasa. Udah
akil baligh. Tapi dia masih dipanggil dengan panggilan unyu anak balita, “Abang
Ganteng.” Siapa pencetusnya? Ya emak kite. Jadi karena mamak masih manggil dia
dengan sebutan begitu sampek dia udah segede gini, jadi daku terkontaminasi
juga. Jadilah dia abang ganteng di rumah ini, mengalahkan pamor si tengah. *Lu
mau dipanggil “abang ganteng” ? paksa nyokap lu ngejadiin lu anak bungsu.
Wkwkwkwkwk.*
Di
rumah ini, kita cuman bertiga. Emak babe kita datang beberapa kali aja dalam
seminggu. Jadi mungkin karena sepi, bertiga doang, walhasil tiap kali keluar
kamar, pasti nyariin satu sama lain. Walapun lagi gak perlu apa2.
Kita
emang banyak menghabiskan waktu di kamar masing2. Mungkin karena udah lelah
kerja dan beraktivitas seharian diluar, sekalinya di rumah langsung kangen
banget sama kasur. Jadi pas keluar kamar, yang di cek kreta dulu. Kreta siapa
nih yang lagi di rumah, berarti orangnya di rumah.
Btw,
sekalipun kita manggil dia “Abang Ganteng”, bukan berarti kita menganggap dia
udah cukup gede, udah abang2. Tidak sama sekali. Kita masih menganggap dia
adalah si bungsu yang kecil. Ke-cil. Padahal udah mahasiswa semester akhir.
Gak
tau kenapa, kayaknya efek dia anak bungsu, jadi semuanya serba ngerasa kalo dia
itu harus banyak di rumah. Harus sering terlihat di rumah. Belum nyampek rumah
pas maghrib aja mamak udah meriah nanyak2, “kok belum pulang lah abang ganteng
ini ya?” “Kemana dia?” “Coba telpon-kan dulu.”
Baru
habis maghrib, gaes.
Menjelang
jam 10 malam, gantian aku yang meriah.
Ya,
kami meriah dibikin si bungsu, yang usianya udah 22 tahun. Dan dia itu
laki-laki. -__-
Jadi
aku pernah bilang ke dia, “kau kok keluar2 aja? di rumah kek kalo lagi gak
kuliah.”
Dan
tau gak dia jawab apa? “Dunia itu seluas tapak kaki, kak. Kalo aku di rumah
aja, berarti dunia-ku kecil kali lah.”
-___-
Oia,
semenjak dia ambil jurusan tekhnik, dia merubah penampilannya jadi agak
nyentrik. Di keluarga ini gak pernah punya riwayat memiliki anggota laki-laki
yang berambut gondrong. Dia memilih pilihan itu. Dia memanjangkan rambutnya
yang ikal cenderung keriting, persis ribu. Bolak balik disuruh pangkas sama
emak babe, sama ribu, sama aku, sama si tengah, tak pernah digubris samsek.
Akhirnya
rambut yang cenderung keriting tadi memanjang. Karena teksturnya ikal besar2,
jadinya itu rambut bukan lagi terlihat ikal, tapi cenderung kribo. Dan semenjak
itu pula, dia punya julukan baru dariku, si Kribo.
Di
kampus, si Kribo aktif di organisasi “per-tekhnik-an.” Kayaknya di
organisasinya itulah dia mendapatkan ilham untuk manjangin rambut. Dan
kebetulan dia dipercaya menjadi salah satu jajaran pimpinan. Pernah waktu ada
keperluan ke kampusnya, aku ngeliat teman2nya manggil dia “Jend”. Usut punya
usut ternyata dia Sekjend di organisasinya itu.
Dan
kemaren, rumah diketuk oleh orang yang mengaku dari kampus tempat si kribo
kuliah. Blio datang mengantarkan surat SPO. Jeng.. jeng.. jeng..!!!
***
Kribo
aktif di organisasi intra kampus, masih dibawah naungan HMJ juga kalo gak
salah. Kemaren salah seorang anggotanya bermasalah, dan harus di skors selama 4
semester alias dua tahun. Dan entah gimana sekret mereka di segel. Masalahnya panjang,
rumit, ruwet, dan rempong. Jadi di skip aja ya. -,-
Jadi
si Kribo dan teman2 yang lain menunjukkan rasa setia kawan dan penolakan dengan
berusaha menyampaikan aksi protes atas hal itu. Caranya dengan menggelar aksi. Masalah
ini ada di fakultas tekhnik, tapi turut didukung kawan2 mereka dari berbagai
organisasi intra. Dan dalam aksi itu, ada beberapa orang yang dikenakan sanksi.
Mungkin karena mereka terlalu vokal, atau karena anarkis, entahlah. Yang jelas
dari fakultas tekhnik, si Kribo dan tujuh orang teman lainnya diberikan peringatan
dan berujung pada skor 1 semester. Di-skor satu semester, pemirsaaahh. Dan kami
satu rumah gak ada yang tau kalo kemaren orang biro gak ngetuk pintu rumah
untuk menyampaikan undangan SPO.
Jadi
ceritanya undangan itu ditujukan untuk menyetujui surat perjanjian bahwa
mahasiswa bersangkutan tidak akan mengulangi perbuatan yang sama. Surat
perjanjian tersebut akan menjadi persyaratan untuk memperoleh surat pengaktifan
kembali mahasiswa (selama skor kemaren mereka di-non-aktifkan). Orang tua
diundang mungkin (menurutku sih) untuk menggertak mental2 dara muda yang kata
haji roma berapi2 itu.
Karena
sepanjang aku kuliah, S1 dan S2, baru ini kudengar orang tua mahasiswa
diberikan undangan untuk membicarakan anak mereka. Kalo siswa mah, udah biasa
ya. (soalnya daku juga sering manggil wali murid kalo anaknya bermasalah di sekolah)
lah ini mahasiswa, geng!
Undangan
itu akhirnya aku yang hadiri. Bukan karena mamak gak sempat, tapi karena aku
aja yang kepingin. Aku pengen tau aja gimana si Kribo di kampus.
Jadi
sodara2, datanglah daku bersama si Kribo ke ruangan rapat tersebut. Kita diundang
ke ruang rapat rektorat. Bersama tujuh orang mahasiswa, tujuh orang wali dari
masing2 mahasiswa tersebut, dosen2 tekhnik, dekan, dan jajarannya.
Yang
ngebikin aku sedikit “agak gimanaaa” gitu adalah ketika pas Dekan-nya ngomong,
dia bilang, “di pertemuan ini kita tidak lagi menceritakan kejadian yang lalu. Dan
tidak dibuka season tanya jawab.”
Aku
ya langsung bertanya2 dong. Jadi begitu ditanya kesediaan untuk menandatangi
surat perjanjian itu, aku jadi “agak gimanaa” gitu. Ternyata aku gak sendiri. Dua
orang wali yang lain berpendapat sama. Kami minta diceritakan lebih dulu secara
ringkas apa masalahnya.
Akhir
cerita, aku tanda tangan. Karena gimana pun juga, aku memang harus tetap
menanda-tangani surat perjanjian tersebut kalo mau si Kribo aktif kuliah
kembali. Kami meninggalkan ruang rapat rektorat dengan selembar surat
keterangan aktif kuliah. Si Kribo melangkah ogah2an. Ternyata dia sangat
kecewa. Aku paham. Dia kecewa karena merasa hak-nya untuk berpendapat dikekang,
dia merasa perjuangannya untuk menuntut keadilan untuk teman2 dan organisasinya sia2. Terlepas
dari itu, ternyata dia lebih kecewa lagi karena pengacara yang menceritakan masalah itu tidak cerita
sesuai fakta. Banyak bumbu2 penyedap. Dan itu merugikan mereka. Tapi apa daya,
mereka bertiga tak punya daya.
“Ntah
apa2 yang dibilang Bapak itu. Mana kek gitu kejadiannya, ya kan bang?” ujar si
Kribo pada rekannya, ketua himpunan organisasi tetangga yang juga sama2 di
skor.
“Aku
kalo gak ingat ada ayahku tadi, mau kulawan aja dia. Fitnah kali dia itu,”
sahutnya.
Aku
cuma bisa melongo. Adikku, si bungsu yang kecil, si kribo, si abang ganteng,
ternyata sudah berproses sejauh ini sebagai mahasiswa. Dia yang selalu kami
anggap kecil di rumah, ternyata punya segudang cerita diluar yang kami gak tau.
Dari
ceritaku tentang si Kribo ini, ada beberapa hal penting harus kupahami.
Pertama,
si Kribo bukan lagi si bungsu kami yang kecil. dia sudah berproses dan berupaya
menjadi pohon yang rindang.
Kedua,
si Kribo memang membuat kesalahan sampai dia harus di skor dan membuat surat
perjanjian, tapi terlepas dari itu, dia telah membuat satu keputusan besar
dengan segala resikonya.
Ketiga,
undangan orang tua memang datang ke rumah, tapi itu tidak selamanya berarti
kalo si Kribo membuat kesalahan fatal yang bisa merusak nama baik keluarga. Dia
hanya sedang belajar menjadi rindang.
Keempat,
ternyata aku melewatkan masa kuliahku dengan sangat baik budi. Aku aktif di
organisasi, tapi aku anti aksi alias demo. Dan akhirnya dengan menyesal kuakui,
“aku menyesal.” *ribet banget ngomongnya ya..
Kelima,
ternyata dengan masalah begindang bisa ngebawa si Kribo ke meja rapat rektorat.
Hahahahha. Gak semua mahasiswa bisa masuk ruang rektorat, geng! Dan untuk bisa
duduk, dan rapat di ruang rektorat, lo harus melakukan hal besar yang “membuat
gelisah” kampus dulu. Wkwkwkwk.
Keenam,
hmmm.. udah, lima aja.
Jadi
itulah dia kisah si Kribo. Lain waktu akan kuceritakan tentang si Tengah. ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar