Kamis, 17 November 2011

Tulisan keduaku yang dimuat di buletin jumat Ad-Din


Menjadi Muslim Produktif
Oleh : Lita Maisyarah Desy*
Bismillahirrahmanirrahim..
Defenisi produktif menurut Mathis dan Jackson (2001, hal. 82) adalah ukuran kualitas dan kuantitas dari pekerjaan yang telah dikerjakan dengan mempertimbangkan biaya sumber daya yang digunakan untuk mengerjakan pekerjaan tersebut. Dengan bahasa yang lebih sederhana, produktif atau tidaknya aktifitas kerja yang dilakukan seseorang  dapat dilihat dari hasil yang diperoleh. Seorang muslim dapat dikatakan produktif jika ia sudah dapat memberi dampak positif terhadap lingkungannya. Produktivitas, walaupun dalam artian teoritis mengacu pada hasil kerja perseorangan dan dampaknya terhadap pribadi bersangkutan, namun dalam implementasinya, hal ini juga terkait dengan dampak lingkungan tempat ia berinteraksi. Memang, itu bukan ukuran mutlak dan tidak ada tolak ukur yang pasti, namun dapat dipastikan, hasil dari mereka yang bekerja dengan efektif dan produktif, akan berbeda dari mereka yang tidak menggunakan konsep serupa.
Dampak minimal yang dapat diperoleh adalah dapat memanajemen diri sendiri. Dan memanajemen diri sendiri adalah langkah awal untuk melakukan hal besar yang lebih bermanfaat. Kalau mengatur diri sendiri saja tidak bisa, bagaimana mengatur lingkup yang lebih luas? Bukankah kita sebagai khalifah harus siap menjaga dan mengatur bumi dan seluruh sumber dayanya? Tentu keproduktifitasan kita dituntut disini. Kita adalah pemimpin yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban. Apa yang akan kita sampaikan pada-Nya jika kita tidak memanfaatkan anugerah-Nya dengan maksimal? Mengelola yang sudah ada di hamparan bumi Allah ini harusnya dapat kita manfaatkan dengan baik. Bayangkan saja, dengan keproduktifan kita, kita bisa menegakkan kalimat Allah ke pelosok dunia. Hanya dengan menunjukkan eksistensi kita sebagai umat muslim, kita bisa berdakwah dengan sangat leluasa.
Dewasa ini, banyak kita yang salah mengartikan dakwah. Menganggap hanya ustadz dan ustadzah saja yang berkewajiban menyebar dakwah di bumi Allah ini dengan ceramah dan tausiyah agama. Tidak sekotak itu sebenarnya. Menjadi muslim produktif dengan mengoptimalkan potensi diri juga merupakan dakwah. Mahasiswa, sebagai penggerak perubahan sosial, dapat berdakwah dengan menunjukkan moralitas yang pantas diacungi jempol oleh masyarakat sekitar saja sudah merupakan dakwah. Karena yang paling penting adalah impact dari dakwah itu sendiri. Mencerminkan muslim yang beretika dan bermoral adalah kewajiban kita. Dengan menunjukkan realita tersebut, secara tidak langsung kita telah membentuk opini publik bahwa ummat Muhammad adalah mereka yang benar-benar berlaku mulia. Akhlak itu berada di atas ilmu, sudah seharusnya kita mengamalkannya.
Tapi poin penting dari kata produktif  yang saya maksud bukan sekedar menjadi pribadi yang baik yang mencerminkan keimanan. Produktifitas kita sebagai muslim adalah bagaimana kita bekerja se-efektif dan se-efisien mungkin. Banyak mereka yang sudah berusaha bekerja maksimal, namun tetap tidak dapat meraih hasil yang maksimal. Konsep kerja yang seperti apakah yang dapat mewujudkan produktifitas seperti yang kita harapkan?
Konsep Kerja 4S
Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang dan malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tanpa kenal lelah. Tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara. Dengan kata lain, orang yang berkerja adalah mereka yang menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain.

Kita sebagai muslim sangat di anjurkan untuk bekerja. Seperti yang sudah saya ulas sebelumnya, kerja tidak melulu harus mencari rezeki saja. kita sebagai mahasiswa juga adalah bekerja menuntut ilmu. Jadi sungguh kita harusnya malu, jika pekerjaan kita yang sejauh ini hanya untuk memenuhi kebutuhan otak saja, tidak bisa memberikan hasil yang maksimal. Ini masih hanya untuk kebutuhan diri sendiri, belum diberi amanah untuk menanggungjawabi orang lain dengan tuntutan harus mendapatkan hasil maksimal. Saking pentingnya bekerja, Allah mengulang perintah bekerja ini beberapa kali dalam Al-Qur’an, seperti dalam surat At-Taubah, 9 : 105 dan Surat Al-An’am, 6 : 135

إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَعَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَوَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ
Dan katakanlah : "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan" (QS At-Taubah, 9 : 105)

الظَّالِمُونَ يُفْلِحُ لَا إِنَّهُ الدَّارِ عَاقِبَةُ لَهُ تَكُونُ مَنْ تَعْلَمُونَ فَسَوْفَ عَامِلٌ إِنِّي مَكَانَتِكُمْ عَلَى عْمَلُوا قَوْمِ يَا قُلْ
“ Katakanlah : Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (diantara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya orang yang dzalim itu tidak akan mendapat keberuntungan” QS Al An’am (6) : 135

Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Tidak berlebihan bila keberadaan seorang manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya. Allah SWT berfirman:
سَعَى ا مَا إِلَّ لِلْإِنْسَانِ لَيْسَ وَأَنْ
“dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS Al- Najm [53]: 39)

Dalam suatu kisah  disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya." Mendengar itu Rasul pun menjawab, "Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah." (HR Ath- Thabrani).
Rasulullah selalu bekerja dengan cara terbaik, profesional, dan tidak asal-asalan. Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya".  Menjadi muslim produktif bukanlah hal yang sulit jika kita berusaha mewujudkannya dengan serius. Banyak cara yang menuntut kita untuk bekerja seefektif mungkin. Contoh simple, dalam mengerjakan tugas. Sebagai mahasiswa, tentunya kita sudah langganan mengerjakan tugas makalah yang dituntut untuk mencaplok bahan dari berbagai buku. Referensi minimal 5 buah buku masih hal yang patut disyukuri, karena mencari 20 buah referensi pun bukan hal yang mustahil di amanahkan dosen. Untuk menyikapinya, kita harus menjadikannya hal yang menyenangkan.

Konsep kerja 4S bisa kita jadikan rujukan. Konsep kerja itu adalah, bekerja ikhlas, bekerja keras, kerja cerdas dan kerja tuntas. Setiap amal itu bergantung pada niat, dan setiap individu itu dihitung berdasarkan apa yang diniatkannya. Bekerja ikhlas sudah menjadi landasan kita dalam bekerja. Semua yang kita lakukan akan terasa mudah jika kita bersandar pada Allah Yang Maha Memudahkan. Sepelik apapun masalah yang akan kita hadapi jika ikhlas, insya Allah akan terasa ringan. Rasulullah SAW bersabda : “Binasalah orang-orang Islam kecuali mereka yang berilmu. Maka binasalah golongan berilmu, kecuali mereka yang beramal dengan ilmu mereka. Dan binasalah golongan yang beramal dengan ilmu mereka kecuali mereka yang ikhlas. Sesungguhnya golongan yang ikhlas ini juga masih dalam keadaan bahaya yang amat besar.” Mungkin itu sebabnya mengapa ilmu ikhlas adalah ilmu yang paling sulit untuk diimplementasikan, tapi bagaimanapun juga, hanya dengan ilmu ikhlas kita dapat meraih ketenangan batin. Dan bukankah itu yang kita cari?
Kedua, bekerja keras. Konsep kerja ini bukankah sudah terpatri lama di benak kita? Masing-masing kita pasti tahu persis konsep kerja yang paling mendasar ini. Hanya realisasinya saja yang mungkin masih butuh pengawasan yang lebih intens. Pengawasan yang berasal dari diri sendiri dengan alasan bahwa Allah menjanjikan rezeky bukan hanya atas dasar kita berhak mendapat rezeky sesuai janji-Nya. Tapi limpahan rezeky itu terletak pada cara kita menggapai apa yang di janjikan-Nya.
Ketiga, bekerja cerdas. Ada sebuah anekdot yang dapat membuat kita dapat memahami konsep ini dengan mudah. Masalah yang dihadapi kedua orang ini sama, menyeberangi sungai yang luas, tanpa titian. Orang pertama akan mencari jalan memutar untuk menyeberangi sungai tersebut. Padahal ia tidak tahu sejauh apa sungai yang harus ia susuri. Sementara orang kedua akan memutar otak. Dan akhirnya ia memutuskan untuk membuat rakit kecil untuk membawanya menyeberangi sungai tersebut. Ketika ia selesai membuat rakit dan mulai menyeberang, orang pertama masih menyusuri sungai itu. Kalau sungainya cuma seperti Sungai Sembahe sih tidak masalah, tapi kalau sungainya itu sepanjang sungai Nil, kapan akan sampai?
Yang terakhir, konsep kerja tuntas. Seikhlas, sekeras, dan secerdas apapun. Kalau tidak menyelesaikannya, sama saja gagal. Defenisi berhasil adalah mencapai target yang sudah direncanakan. Kalau berhenti dipertengahan jalan atau bahkan tinggal selangkah lagi, kesimpulannya adalah gagal. Jadi apapun alasannya, menyelesaikan pekerjaan adalah suatu keharusan. Seperti kata pepatah, “selesaikan apa yang telah kau mulai”. Jangan pernah berhenti sampai kita mendapatkan hasil akhir walaupun itu hasil akhir itu adalah keberhasilan yang tertunda.
Dengan menggunakan konsep kerja 4S itu, beban tugas mengerjakan makalah dengan 20 referensi insya Allah akan terasa mudah dan menyenangkan. Bayangkan saja, kita bisa belajar menerapkan 4 ilmu sekaligus selama mengerjakan tugas tersebut. Belajar ikhlas, belajar bekerja keras, belajar bekerja cerdas, dan belajar bekerja tuntas. Untuk membalas sang dosen hanya ada satu kalimat, “terimakasih atas tugas yang Bapak / Ibu berikan”, sambil tersenyum penuh makna.
Impact yang dapat dirasakan masyarakat luas adalah dampak pemikiran. Seperi yang sudah saya sampaikan di awal tadi, kelakuan kita, khususnya mahasiswa IAIN Sumatera Utara adalah membentuk opini publik. Kita, sadar atau tidak, di anggap lebih memahami Islam dibanding mereka yang kuliah di kampus umum. Sehingga kita nantinya akan menjadi tempat bertanya. Sembari menyiapkan diri menjadi tempat bertanya yang tepat, yang insya Allah tidak menyesatkan, mari kita tunjukkan image positif. Bukan bermaksud riya, tapi demi mengukuhkan kalimat Allah untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar.
Tentunya, sebelum kita dijadikan tempat bertanya masyarakat, kita harus membuat masyarakat percaya kalau kita adalah muslim yang produktif. Secara tidak langsung kita dapat menularkan energy positif yang mengajak menjadi pribadi muslim yang produktif. Dapat kita bayangkan bagaimana jadinya kalau semua ummat muslim menytukan kekuatan untuk produktif dalam bekerja. Selain itu, bekerja dalam Islam adalah bernilai ibadah karena merupakan kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqh, orang yang menjalankan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya akan terkena sanksi dosa. Tentang kewajiban bekerja, Rasulullah bersabda, ”Mencari rezeki yang halal itu wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya”.      (HR ath-Thabrani dan al-Baihaqi)
Karena bekerja merupakan kewajiban, maka tak heran jika Umar bin Khathab pernah menyuruh orang yang berada di masjid agar keluar untuk mencari nafkah. Umar tak suka melihat orang yang pada siang hari tetap asyik duduk di masjid, sementara sang mentari sudah di atas kepala. Kemalasan adalah musuh yang harus kita lawan. Seperti Umar bin Khatab, yang menyuruh orang yang berda di masjid untuk bekerja ketika matahari sudah di atas kepala, padahal belum tentu mereka berdiam di masjid karena mereka malas bekerja, mungkin saja mereka sedang berdzikir atau melakukan ibadah-ibadah sunnah lainnya. Namun karena kekhawatiran Umar mereka tidak menafkahi keluarganya, Umar menyuruh mereka bekerja.
Setelah mengimplementasikan keempat konsep kerja tersebut, saatnya kita kembalikan lagi semua kepada Allah, sang Maha Berkehendak. Percaya atau tidak, kesuksesan itu terkait dengan kepercayaan. Walaupun kita sudah berusaha dan bertawakal, tapi tidak meyakini bahwa Allah maha berkehendak, akan sulit. Allah adalah sesuai prasangka hamba-Nya. Jadi setelah semua kita laksanakan dengan baik, di akhir usaha itu, kita hanya bisa berharap Allah mau memberi apa yang kita inginkan, mengabulkan apa yang kita mohonkan dan mengijabah harapan-harapan kita. Karena sesukses apapun kita, jika kita tidak meletakkan harapan terakhir pada-Nya, kita mungkin akan kurang bahagia. Wallahu a’lam bisshowab.

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Syariah / Jur. EKI-EMS / VII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar