Jumat, 18 September 2015

BUAT LO, KEPINGAN MASA LALU GUE


Gue bukan orang yang susah move on dari sesuatu, atau dari seseorang. Bukan karena gue gak pernah tulus untuk menyukai atau jatuh cinta, tapi karena buat gue, kehidupan singkat yang gue jalananin di dunia itu gak lama. Dan gue gak mau waktu singkat yang gue punya harus dihabiskan dengan kesedihan tak berujung untuk mengenang hal yang pada akhirnya memang ditakdirkan buat gue.

Bukan Cuma lo yang nganggep apa yang gue bilang bullshit. Lo gak akan pernah percaya sama apa yang gue bilang, meski gue ngomong dengan sejujur-jujurnya. Bahkan awalnya, gue juga ngerasa, “is it real me?” saat gak setetes pun air mata gue jatuh waktu cinta gue berakhir menyedihkan dulu. Mungkin mereka yang ngeliat gue mengasihani gue, mengira gue sedang berusaha terlihat tegar. Iya, tapi itu bukan sepenuhnya benar. Gue terkejut dengan segala moment yang terjadi begitu cepat, saat pada akhirnya kita pisah, memutuskan untuk berjalan masing-masing yang katanya untuk kebaikan kita juga. Gue terlalu terkejut mugkin, sampai akhirnya yang ada, gue cuma bengong.

Drama cinta itu gak  sedramatis sinetron yang saat si cowok bilang kita jalan masing-masing aja, si cewek kemudian menangis histeris dan bilang, “jangan tinggalin aku. Aku masih sayang banget sama kamu.” Nggak. Itu terlalu drama buat gue dan dia. Kita putus se-simple saat kita jadian. Bahkan terlalu simple, sampe (sekali lagi) gua cuma bisa bengong. Bengong dengan segala perasaan yang campur aduk, dan pikiran yang mulai memutar ulang segala kenangan kita layaknya film dokumenter.

Waktu itu, gue buka fesbuk, dan ngeliat dia online. Gue masih menyapa dengan sebutan ‘yank..’ yang lima menit kemudian gue ngetik kalimat yang simple, ‘oke, kita putus ya.. daahh..’ Sebagian orang mungkin mengira hubungan yang kita bina selama setahun lebih itu Cuma omong kosong yang bisa berjalan atau berakhir hanya dengan kalimat se-sepele seperti, “ gue laper.”  Tapi nggak, kita sudah mulai ribut sejak beberapa bulan terakhir, mulai dari masalah sepele kayak baca pesan yang di nada-nadakan, sampai masalah-masalah yang ribet banget ngejelasinnya. Emosi kita juga sering meninggi kalo udah ribut, dan pada akhirnya, kemarin, saat emosi gue mereda, dan emosi dia juga sedang stabil, kita memilih untuk selesai.

Sehabis itu, gue bengong memandang layar hp gue yang isinya kalimat penyudahan yang berarti kita putus cuman lewat perantaraan sosmed. Dan gue lebih bengong lagi karena setelah itu, gue memilih tidur.

Yang terbayang oleh gue saat itu adalah gue melihat diri gue yang kacau, bersimbah air mata, kusut, dekil, tak terawat, dan segalanya yang menunjukkan indikasi patah hati. Nggak munafik, saat itu, meski gue gak nangis sama sekali, tapi hati gue berantakan. Di kepala gue masih sering berkelebatan kenangan yang pernah kita lewati bareng. Tapi saat gue ngeliat cermin, keadaan gue nggak seburuk itu. Gue masih baik-baik aja.

Justru yang khawatir banget sama keadaan gue adalah mama. Di depan mama, gue memang menutupi kekacauan hati gue, gue berusaha tertawa, dan terlihat baik-baik saja. Tanpa gue gak pernah tau ternyata kepura-pura-an gue sudah terbaca sejak awal oleh mama. Mama tau seberantakan apa hati dan pikiran gue. Mama yang paling berusaha ngebikin gue bangkit, ngebikin gue lupa. Sampe sengaja ngajakin gue makan diluar, ngajakin gue shopping, ngajakin gue jalan. Apapun, biar gue bener-bener lupa dan gak perlu bersembunyi di balik kepura-puraan gue lagi.

Ternyata semua Cuma tentang waktu. Seminggu kemudian, gue mulai bisa menata perasaan dan hati gue. Terlalu singkat? Mungkin karena dalam tiap sujud gue, gue selalu minta dianugerahi kelapangan hati, supaya gue bisa menerima segala ketetapanNya dengan ikhlas. Gue juga nggak nyangka seminggu cukup buat gue kembali. Kembali, bukan berarti kenangan-kenangan itu menghilang. Semuanya masih suka berkelebatan, tapi gue lebih bisa mengontrol emosi dan mengontrol pikiran gue untuk nggak terlalu sering bengong. Mungkin berkat mama juga yang sengaja nggak ngasi gue waktu buat sendiri. Sebisanya mama selalu nemenin gue, ngajakin gue ngobrol, nasehati dengan petuah-petuah khas orang tua. And it works. Cuma orang tua yang paling bisa ngebikin kita kembali ceria. Trust me. Mereka adalah tempat terbaik untuk ‘pulang’ saat dunia berjalan tak seperti yang kita inginkan.

And time flies so fast. Gue lupa sama sekali. Salah satu sebabnya, gue emang sengaja menghindar untuk ketemu dia. Gue nggak rela aja semua upaya gue buat move on gagal cuma karena gue ngeliat dia. Gue nggak mau kembali bengong dengan perasaan dan pikiran yang berantakan.
Dan saat gue tau dia sudah bersama orang lain, saat gue juga tau ternyata orang lain itu bukan sebenar-benarnya orang lain, gue cuma berbisik ke diri gue lirih, “ohh, gitu..” dan pikiran gue tanpa diminta mengurai penjelasan-penjelasan yang selama ini belum gue sadari. Ntah itu hanya persepsi gue atau memang benar adanya, gue nggak terlalu ambil pusing. Dan puzzle penjelasan yang gue rangkai jadi satu gambar yang utuh itu adalah ; perpisahan kita adalah karena dia memang menemukan orang lain yang membuatnya melupakan gue. Selesai. Dan (lagi) gue gak menitikkan air mata.

Buat gue, mencintai itu pilihan. Gue gak akan pernah bisa memaksa dia untuk tetap mencintai gue. Kalo memang kita memang udah gak bisa sama-sama, gak ada alasan untuk bertahan kan? Inget, relationship itu kalo ada dua orang yang usaha, kalo satu orang namanya wirausaha. Haha. Garing ya joke gue?

In the end, akhirnya gue memilih untuk bergerak maju, melepaskan semua kenangan yang membelenggu langkah gue untuk membuat step-step baru dalam hidup gue. Gue berhasil sejauh ini. Sampai suatu ketika sahabat gue bilang, “kalo lo emang udah move on, kenapa lo haus teus menghindar?” Saat itu alam bawah sadar gue bicara, “kalo selama ini gue memang sengaja menghindar, terus kenapa sekarang gue harus nemuin dia? Kalo selama ini gue ngerasa nyaman tanpa harus bersentuhan lagi dengan masa lalu, lantas kenapa sekarang gue harus dengan sengaja mengubek-ubek kembali kenangan lalu?”

Mungkin untuk beberapa orang, sikap dan cara pandang gue salah. Kan mereka bilang, “sahabat yang berubah jadi pacar itu biasa, yang luar biasa adalah mantan yang kemudian jadi sahabat.” Sejauh ini, gue masih menganggap itu bullshit. Gue gak hidup di masa lalu. Masa depan juga belum tentu punya gue, jadi hari ini, hari dimana gue masih bernafas, gue memilih untuk bahagia dengan melepaskan semua hal yang memungkinkan membuat gue galau, membuat gue banyak bengong, atau justru membuat gue tenggelam dalam kubangan masa yang gak mau gue ingat-ingat.

Dan kemarin, pas gue jogging, sendirian. Ini juga salah satu sikap gue yang sedikit awkward, gue keukeh untuk melakukan sesuatu yang gue suka meskipun itu artinya gue harus lakuin sendiri. Jadi gue ke unimed, sendiri, dan gue lari sendiri. Lo yang mahasiswa Unimed atau sering jogging kesana, psti tau sebagian besar mereka yang jogging pasti sama geromobolan temen-temen atau sama pacar. Banyak juga yang lo temukan pake pakean olahraga tapi yang dilakuin cuman nongkrong di pojokan. (kalo lo nyebutnya mojok, terserah lo). Dan gue, dengan pede nya lari sendiri, sambil make headset. Kebetulan lagu yang diputer di radio waktu itu adalah lagu favorit gue semasa kita jadian. Sintingnya, lagu favorit gue itu adalah lagu galaunya Glenn Fredly. Siapapun lo, gue yakin, pertama kali yang lo inget tentang Glenn selain wajah kece dan romantisnya, adalah lagu-lagunya yang galau abis.

Dan bayangkan, selama gue lari, lagu itu mengalun. Kisaran lima menit, saat gue kelelahan lari tepat di persimpangaan jalan yang udah gue kelilingi tiga kali, lagu itu berakhir. Gue membenak sembari melanjutkan putaran sambil jalan, sebenarnya, semua kenangan yang dulu pernah gue jalani bukanlah hal yang buruk. Bagaimana pun, mantan adalah bagian masa lalu yang pernah menjadi bagian terbaik di masanya. Gak ada alasan untuk kemudian menyesali, karena itu terjadi juga karena adalah keputusan gue.

Jadi, bukan masalah ketika lo berhasil move on atau malah gagal. Karena pada akhirnya, kenangan akan tetap jadi kenangan. Semua cuma masalah waktu. Segimanapun lo mau terbebas dari masa lalu, dia tetap adalah bagian dari kehidupan lo yang pernah memberi pelajaran dan pengalaman. Jadikan ia tetap menjadi bagian yang disimpan rapi dalam sudut hati. Suatu saat, lo masih boleh membukanya, mengenangnya, atau mungkin mencoba memulainya kembali dengan orang baru.

Di akhir tulisan ini, akhirnya gue dengan lega harus menuliskan, siapapun yang masuk ke dalam kehidupan gue, entah itu hanya sebagai pembelajaran atau akan menjadi masa depan, terima kasih untuk warna yang pernah lo coba menghiasi hari-hari gue. Terima kasih untuk pengalaman hidup yang mungkin nggak gue dapetin dari orang lain. Jangan berharap lebih, gue akan jalani hidup gue masih dengan cara gue. *wkwkwkwk*


*Dan buat lo, yang merasa, jangan terlalu serius. Ini cuman pencitraan. ^o^

2 komentar: