Bismillahirrahmanirrahim.
Setelah beberapa kali ngepost semua tentang belajar daring, akhirnya bisa nulis buat relaksasi diri. Hehe.
Jadi karena pandemi gak kelar-kelar, murid-murid-ku
belajar online melalui aplikasi e learning. Supaya gak bosan, dan ada variasi
tampilan belajar, makanya blog ini juga sekalian dipake buat belajar daring
anak-anak. Mudah-mudahan bisa membawa kebaikan, ya.
Well,
hari ini aku mau nulis tentang body shaming.
Gak
tanggung-tanggung, body shaming ke bayi.
Hhmmmmhuuuuhhh...
Menulis
ini kudu tarik napas panjang dulu, supaya gak bablas. Kujadi teringat beberapa
moment yang sebenarnya bagus dibuang aja. Tapi kok semakin kepingin dibuang,
semakin membayang2. -__-
Sebelumnya,
izinkan daku nge-share ucapan Kepala
Biro Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo tentang
body shaming. Biar kita semua menjaga lisan dan jari kita untuk berkata yang tidak
baik tentang tampilan fisik seseorang.
"Body shaming dikategorikan menjadi dua
tindakan. Tindakan yang seseorang mentransmisikan narasi berupa hinaan, ejekan
terhadap bentuk, wajah, warna kulit, postur seseorang menggunakan media sosial.
Itu bisa dikategorikan masuk UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik) Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3, dapat diancam hukuman pidana 6
tahun," papar Dedi di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu
(28/11/2018).
"Kedua, apabila melakukan body shaming tersebut secara verbal, langsung ditujukan kepada
seseorang, dikenakan Pasal 310 KUHP denagn ancaman hukumannya 9 bulan. Kemudian
(body shaming yang langsung ditujukan kepada korban) dilakukan secara tertulis
dalam bentuk narasi, melalui transmisi di media sosial, dikenakan Pasal 311
KUHP. Hukuman 4 tahun," lanjut Dedi.
Berat
loh ya sanksinya.
Jadi
beberapa waktu yang lalu, saat kita semua sedang berduka atas kepergian ribu
(nenek), saat kita smeua sedang berkumpul rame2, ada seorang nenek yang nanya2
aku tentang Gerhana yang lagi kugendong. Intonasinya sih selow, tapi konten
pertanyaannya nge-gas.
“Udah
berapa bulan?”
“Berapa
beratnya?”
“Udah
bisa apa?”
“Belum
bisa jalan?”
“Nggak
dilatih-latih?”
“Asi?”
“MPASI
nya dibuatkan apa?”
Dadaku
berdesir sambil menjawab pertanyaan si nenek itu. Kudekap Gerhana makin erat.
“Cucuku
baru 7 bulan, udah belajar jalan sambil pegangan ke barang-barang. Makannya
udah pake nasi keras. Gemuk. Pintar lagi.”
Aku
cuman membalas dengan senyum tipis dan balik badan. Kalo aja hati ini dari
kaca, udah kedengeran bunyi kretek-kretek karena retak. Hari yang cerah
mendadak kelabu dan gerimis. Omongan si nenek itu luar biasa menyakitkan hati
ibu muda ini. Duh, panas mata gue.
Udah
deh, dari pada pusing-pusing mikirin omongan si nenek itu, mending kilas balik
tentang si bayi tersayang.
Bayi-ku ini lahir dengan bobot 3,3 kg dan panjang 41 cm. Kelahirannya adalah hadiah luar biasa, bahkan saking luar biasanya sampai tidak tak terungkapkan dengan kata-kata. Seperti apapun dia, dia adalah hartaku yang berharga. Bagaimanapun dia, aku adalah ibunya yang akan selalu menjaga, membela, dan melindunginya. Semua ibu pasti akan setuju.
Si
bayi ini tumbuh menjadi bayi yang riang. Di usia 10 bulan, ia mulai tumbuh
gigi, dan sampai hari ini jumlah giginya sudah 7 gigi. Dia mulai belajar
merangkak di usia 8 bulan, sekarang di
usia 11 bulan udah mulai belajar berdiri sendiri.
Dia
hanya ASIX selama dua bulan selama aku cuti kerja. Setelahnya, kulanjutkan
dengan ASIP. Kurang beruntungnya, karena sudah kenal dot, dengan aliran yang
deras dan lancar, si bayi ini enggan menyusu langsung. Awalnya aku bingung,
kupikir hanya bingung puting. Dengan menyiasati pakai dot como tomo yang
menyerupai pun, si bayi ini tetap gak mau. Ternyata benarlah dia lebih suka dot
karena alirannya deras dan lancar. Akhirnya, yasudah, ASIP terus sampai
persediaan menipis. Sampai aku pumping hari ini untuk besok, kejar tayang. Tapi
memang tidak memadai. Akhirnya aku menyerah. Si bayi harus pakai sufor. T_T
Kemudian, untuk MPASI, aku sebagai ibu baru
yang msaih polos banget ini tentu belajar banyak dari internet, dari orang
lain, pokoknya belajar darimana saja demi mendapatkan menu terbaik demi tumbuh
kembang yang baik pula. Mulai dari bikin bubur tim dengan beragam menu,
biskuit, buah-buah, ngemil sayuran, dan lain-lain. Namun demikian, pasti masih
banyak kurang disana sini. Tapi aku sudah berusaha. Demi Allah. *Tuh, kan
mendung lagi.
Tapi
berujung kepada postur bayi ku ini emang postur yang langsing. Bobotnya terus
meningkat dan sesuai dengan usia, tapi ya gitu, mau dikasi makan apapun, susu
jenis apapun, dia segitu-segitu aja. Badannya gak bisa montok. Padahal klo
ngeliat bayi temen2 yang gembul2 tuh rasanya gemeeesss banget. Tapi apa daya,
si bayi pengen langsing terus.
Aku
sempat ngerasa, “kok bayi-ku gak gembul ya?”
Untungnya
gak lama. Aku langsung sadar. Setiap bayi punya karakteristik masing-masing,
punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Masih bayi, loh, dan aku sebagai
ibu sudah mengeluhkan tampilan fisiknya. Ibu macam apa aku ini?!
Suami
juga bilang, “Anak itu kan turunan genetik orang tuanya, mas dulu pas bayi
memang kayak Gerhana kok. Coba tanya oma, adek dulu kayak Gerhana nggak?”
Dan
oma pun mengiyakan, “Sama kali kayak bundanya pas kecil.”
Well,
orang tuanya langsing, terus nuntut bayi nya harus gembul, gitu?
Lagian,
Gerhana tumbuh menjadi anak yang sehat. Anak yang ceria, gak rewel, dan gak
nyusahin banget. Nidurinnya tinggal dikasi susu, terus di letak aja. Gak mesti
diayun atau digendong. Alhamdulillah banget.
Nah,
kembali lagi ke moment yang kuceritakan di atas. Saat itu entah gimana Gerhana
memang rewel. Gak mau diletak, maunya digendong bunda terus. Ini gak pernah
terjadi sebelumya. Aku gak pernah secapek kemarin ngurus dia. Kata oma, mungkin
dia bisa merasakan susah hati kita karena kepergian ribu. Atau mungkin dia bisa
melihat ribu, namanya juga bayi. Makanya rewel.
Bayangin
ya, saat itu, hati susah, sedih karena kehilangan. Anak rewel terus. Terus ada
lagi omongan yang nyakitin hati. Cuman bisa istighfar.
Tapi
ya sudahlah. Ngapain juga diingat-ingat ya. Aku masih mellow, si nenek itu
mungkin udah lupa kalo dia pernah ngomong gitu.
Cuman
mau pesan buat para ibu diluar sana, plis, jangan tuntut bayi kita untuk mejadi
seperti apa yang kita persepsikan
tentang bentuk tubuh bayi. Mereka istimewa. Dan mereka unik. Jangan juga
membanding-bandingkan kemampuan bayi kita dengan kemampuan bayi lain. Gak ada
standar baku untuk kecepatan bayi bisa jalan, bisa ngomong, bisa lain-lain.
Jangan jadi ibu jahat yang membanding-bandingkan anak. Kita juga gak mau toh
dibanding-bandingkan dengan orang lain?
Untuk
yang sudah terlanjur dijulid-in tentang kondisi fisik bayi kita, maafin aja.
Elus dada terus istighfar. Gak usah diingat-ingat lagi. Doakan saja anak kita
tumbuh sehat dan cerdas. Tapi kalo di lain kesempatan ada lagi yang kelakuannya
demikian, tatap aja mukanya datar, dan bilang, “tau kan tentang undang-undang
body shaming? Kalo saya laporin, bisa dipenjara, loh.” Habis itu senyumin tipis
dan tinggalin.
“Nak,
Gerhana mau langsing, mau gembul. Mau putih atau udah kenak luntur, wkwk, bunda
tetap cinta. Semoga kelak jadi anak sholeh, cerdas, baik hati, ber-akhlakul
karimah. Aamiin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar