Gue
bukan orang yang susah move on dari sesuatu, atau dari seseorang. Bukan karena
gue gak pernah tulus untuk menyukai atau jatuh cinta, tapi karena buat gue,
kehidupan singkat yang gue jalananin di dunia itu gak lama. Dan gue gak mau
waktu singkat yang gue punya harus dihabiskan dengan kesedihan tak berujung
untuk mengenang hal yang pada akhirnya memang ditakdirkan buat gue.
Bukan
Cuma lo yang nganggep apa yang gue bilang bullshit. Lo gak akan pernah percaya
sama apa yang gue bilang, meski gue ngomong dengan sejujur-jujurnya. Bahkan
awalnya, gue juga ngerasa, “is it real me?” saat gak setetes pun air mata gue
jatuh waktu cinta gue berakhir menyedihkan dulu. Mungkin mereka yang ngeliat
gue mengasihani gue, mengira gue sedang berusaha terlihat tegar. Iya, tapi itu
bukan sepenuhnya benar. Gue terkejut dengan segala moment yang terjadi begitu
cepat, saat pada akhirnya kita pisah, memutuskan untuk berjalan masing-masing
yang katanya untuk kebaikan kita juga. Gue terlalu terkejut mugkin, sampai
akhirnya yang ada, gue cuma bengong.
Drama
cinta itu gak sedramatis sinetron yang
saat si cowok bilang kita jalan masing-masing aja, si cewek kemudian menangis
histeris dan bilang, “jangan tinggalin aku. Aku masih sayang banget sama kamu.”
Nggak. Itu terlalu drama buat gue dan dia. Kita putus se-simple saat kita
jadian. Bahkan terlalu simple, sampe (sekali lagi) gua cuma bisa bengong.
Bengong dengan segala perasaan yang campur aduk, dan pikiran yang mulai memutar
ulang segala kenangan kita layaknya film dokumenter.
Waktu
itu, gue buka fesbuk, dan ngeliat dia online. Gue masih menyapa dengan sebutan
‘yank..’ yang lima menit kemudian gue ngetik kalimat yang simple, ‘oke, kita
putus ya.. daahh..’ Sebagian orang mungkin mengira hubungan yang kita bina
selama setahun lebih itu Cuma omong kosong yang bisa berjalan atau berakhir
hanya dengan kalimat se-sepele seperti, “ gue laper.” Tapi nggak, kita sudah mulai ribut sejak
beberapa bulan terakhir, mulai dari masalah sepele kayak baca pesan yang di nada-nadakan,
sampai masalah-masalah yang ribet banget ngejelasinnya. Emosi kita juga sering
meninggi kalo udah ribut, dan pada akhirnya, kemarin, saat emosi gue mereda,
dan emosi dia juga sedang stabil, kita memilih untuk selesai.
Sehabis
itu, gue bengong memandang layar hp gue yang isinya kalimat penyudahan yang
berarti kita putus cuman lewat perantaraan sosmed. Dan gue lebih bengong lagi
karena setelah itu, gue memilih tidur.
Yang
terbayang oleh gue saat itu adalah gue melihat diri gue yang kacau, bersimbah
air mata, kusut, dekil, tak terawat, dan segalanya yang menunjukkan indikasi
patah hati. Nggak munafik, saat itu, meski gue gak nangis sama sekali, tapi
hati gue berantakan. Di kepala gue masih sering berkelebatan kenangan yang
pernah kita lewati bareng. Tapi saat gue ngeliat cermin, keadaan gue nggak
seburuk itu. Gue masih baik-baik aja.
Justru
yang khawatir banget sama keadaan gue adalah mama. Di depan mama, gue memang menutupi
kekacauan hati gue, gue berusaha tertawa, dan terlihat baik-baik saja. Tanpa
gue gak pernah tau ternyata kepura-pura-an gue sudah terbaca sejak awal oleh
mama. Mama tau seberantakan apa hati dan pikiran gue. Mama yang paling berusaha
ngebikin gue bangkit, ngebikin gue lupa. Sampe sengaja ngajakin gue makan
diluar, ngajakin gue shopping, ngajakin gue jalan. Apapun, biar gue bener-bener
lupa dan gak perlu bersembunyi di balik kepura-puraan gue lagi.
Ternyata
semua Cuma tentang waktu. Seminggu kemudian, gue mulai bisa menata perasaan dan
hati gue. Terlalu singkat? Mungkin karena dalam tiap sujud gue, gue selalu
minta dianugerahi kelapangan hati, supaya gue bisa menerima segala ketetapanNya
dengan ikhlas. Gue juga nggak nyangka seminggu cukup buat gue kembali. Kembali,
bukan berarti kenangan-kenangan itu menghilang. Semuanya masih suka
berkelebatan, tapi gue lebih bisa mengontrol emosi dan mengontrol pikiran gue
untuk nggak terlalu sering bengong. Mungkin berkat mama juga yang sengaja nggak
ngasi gue waktu buat sendiri. Sebisanya mama selalu nemenin gue, ngajakin gue
ngobrol, nasehati dengan petuah-petuah khas orang tua. And it works. Cuma orang
tua yang paling bisa ngebikin kita kembali ceria. Trust me. Mereka adalah
tempat terbaik untuk ‘pulang’ saat dunia berjalan tak seperti yang kita
inginkan.
And
time flies so fast. Gue lupa sama sekali. Salah satu sebabnya, gue emang
sengaja menghindar untuk ketemu dia. Gue nggak rela aja semua upaya gue buat
move on gagal cuma karena gue ngeliat dia. Gue nggak mau kembali bengong dengan
perasaan dan pikiran yang berantakan.
Dan
saat gue tau dia sudah bersama orang lain, saat gue juga tau ternyata orang
lain itu bukan sebenar-benarnya orang lain, gue cuma berbisik ke diri gue
lirih, “ohh, gitu..” dan pikiran gue tanpa diminta mengurai
penjelasan-penjelasan yang selama ini belum gue sadari. Ntah itu hanya persepsi
gue atau memang benar adanya, gue nggak terlalu ambil pusing. Dan puzzle
penjelasan yang gue rangkai jadi satu gambar yang utuh itu adalah ; perpisahan
kita adalah karena dia memang menemukan orang lain yang membuatnya melupakan
gue. Selesai. Dan (lagi) gue gak menitikkan air mata.
Buat
gue, mencintai itu pilihan. Gue gak akan pernah bisa memaksa dia untuk tetap
mencintai gue. Kalo memang kita memang udah gak bisa sama-sama, gak ada alasan
untuk bertahan kan? Inget, relationship itu kalo ada dua orang yang usaha, kalo
satu orang namanya wirausaha. Haha. Garing ya joke gue?
In
the end, akhirnya gue memilih untuk bergerak maju, melepaskan semua kenangan
yang membelenggu langkah gue untuk membuat step-step baru dalam hidup gue. Gue berhasil
sejauh ini. Sampai suatu ketika sahabat gue bilang, “kalo lo emang udah move
on, kenapa lo haus teus menghindar?” Saat itu alam bawah sadar gue bicara, “kalo
selama ini gue memang sengaja menghindar, terus kenapa sekarang gue harus
nemuin dia? Kalo selama ini gue ngerasa nyaman tanpa harus bersentuhan lagi
dengan masa lalu, lantas kenapa sekarang gue harus dengan sengaja mengubek-ubek
kembali kenangan lalu?”
Mungkin
untuk beberapa orang, sikap dan cara pandang gue salah. Kan mereka bilang, “sahabat
yang berubah jadi pacar itu biasa, yang luar biasa adalah mantan yang kemudian
jadi sahabat.” Sejauh ini, gue masih menganggap itu bullshit. Gue gak hidup di
masa lalu. Masa depan juga belum tentu punya gue, jadi hari ini, hari dimana
gue masih bernafas, gue memilih untuk bahagia dengan melepaskan semua hal yang
memungkinkan membuat gue galau, membuat gue banyak bengong, atau justru membuat
gue tenggelam dalam kubangan masa yang gak mau gue ingat-ingat.
Dan
kemarin, pas gue jogging, sendirian. Ini juga salah satu sikap gue yang sedikit
awkward, gue keukeh untuk melakukan sesuatu yang gue suka meskipun itu artinya
gue harus lakuin sendiri. Jadi gue ke unimed, sendiri, dan gue lari sendiri. Lo
yang mahasiswa Unimed atau sering jogging kesana, psti tau sebagian besar
mereka yang jogging pasti sama geromobolan temen-temen atau sama pacar. Banyak juga
yang lo temukan pake pakean olahraga tapi yang dilakuin cuman nongkrong di
pojokan. (kalo lo nyebutnya mojok, terserah lo). Dan gue, dengan pede nya lari
sendiri, sambil make headset. Kebetulan lagu yang diputer di radio waktu itu
adalah lagu favorit gue semasa kita jadian. Sintingnya, lagu favorit gue itu
adalah lagu galaunya Glenn Fredly. Siapapun lo, gue yakin, pertama kali yang lo
inget tentang Glenn selain wajah kece dan romantisnya, adalah lagu-lagunya yang
galau abis.
Dan
bayangkan, selama gue lari, lagu itu mengalun. Kisaran lima menit, saat gue
kelelahan lari tepat di persimpangaan jalan yang udah gue kelilingi tiga kali,
lagu itu berakhir. Gue membenak sembari melanjutkan putaran sambil jalan,
sebenarnya, semua kenangan yang dulu pernah gue jalani bukanlah hal yang buruk.
Bagaimana pun, mantan adalah bagian masa lalu yang pernah menjadi bagian
terbaik di masanya. Gak ada alasan untuk kemudian menyesali, karena itu terjadi
juga karena adalah keputusan gue.
Jadi,
bukan masalah ketika lo berhasil move on atau malah gagal. Karena pada
akhirnya, kenangan akan tetap jadi kenangan. Semua cuma masalah waktu. Segimanapun
lo mau terbebas dari masa lalu, dia tetap adalah bagian dari kehidupan lo yang
pernah memberi pelajaran dan pengalaman. Jadikan ia tetap menjadi bagian yang
disimpan rapi dalam sudut hati. Suatu saat, lo masih boleh membukanya,
mengenangnya, atau mungkin mencoba memulainya kembali dengan orang baru.
Di
akhir tulisan ini, akhirnya gue dengan lega harus menuliskan, siapapun yang
masuk ke dalam kehidupan gue, entah itu hanya sebagai pembelajaran atau akan
menjadi masa depan, terima kasih untuk warna yang pernah lo coba menghiasi
hari-hari gue. Terima kasih untuk pengalaman hidup yang mungkin nggak gue dapetin
dari orang lain. Jangan berharap lebih, gue akan jalani hidup gue masih dengan cara
gue. *wkwkwkwk*
*Dan
buat lo, yang merasa, jangan terlalu serius. Ini cuman pencitraan. ^o^
nice...
BalasHapuscurhatnya keren..
hohoho... :v
Hapus