Kau harusnya tak perlu kembali. Aku
baik-baik saja disini.
Tadinya
aku ingin belajar melupakan. Mengambil banyak jeda untuk melepas kebiasaan
lamaku, terus ingin didekatmu. Memintamu untuk memberiku sedikit waktu agar aku
terbiasa tanpamu. Dan aku hampir berhasil. Kau tau, hampir berhasil.
Aku
tak peduli dengan perasaanku sendiri. Aku tenggelam di pekerjaanku. Tak ada
orang yang bekerja sekeras aku. Mereka fikir, aku memang tergila-gila dengan
pekerjaan. Ahh, mereka tak tahu kalau ini hanya sebentuk pelarian. Aku ingin
melupakanmu. Sungguh. Aku ingin menghapus semua jejak-jejak cerita indah yang
pernah kita rajut. Biarkan aku menata kembali hidup dan hatiku. Jika memang
harus ada kata pisah, maka izinkan aku untuk bergegas. Luka ini terlalu sakit
untuk terus kubiarkan. Aku ingin mengobatinya segera. Dengan pergi jauh dari
kenangan itu dan melupakanmu.
Tak
pernah aku ingin kau kembali. Tak pernah.
Karena
aku tahu itu takkan mungkin.
Tak
perlulah mengharapkan hal yang tak mungkin terjadi. Meski aku terus saja
mengganggu Tuhan dengan doa-doa panjang. Tidak. Aku tak meminta Tuhan untuk
mengirimmu kembali. Aku hanya meminta agar ia menghapuskan luka ini,
mengizinkan aku tetap bahagia meski tanpamu.
Kemarin,
aku masih punya mimpi untuk merajut hari-hari bersamamu. Mengulang scenario masa
lalu. Tersenyum sendiri membayangkan kau tiba-tiba hadir. Menghabiskan waktu
dan tenggelam dalam hayalan tentangmu. Aku tak sadar kalau aku tengah memimpikan
angan kosong. Mosaik indah itu takkan pernah terulang. Kau takkan pernah
kembali. Dan aku, tertatih merangkak. Mengais-ngais harapan yang bahkan aku pun
tahu sudah tak ada.
Tak
pernah ada yang bisa menghalangiku untuk menunggumu. Tak satu pun mereka bisa
menarikku dari kubangan lumpur pengharapan itu. Menyadarkan kalau kau sudah
takkan kembali juga tak ada. Pun ketika aku berharap kau segera datang,
menemuiku segera. Menjemput hati yang kau tinggalkan.
“Aku
mencintaimu.”
Aku
ingin mengatakannya padamu. Datanglah.
Ya,
sehelai sesal. Aku tak pernah menyadari kalau aku juga mencintaimu. Tak pernah sampai
kau akhirnya pergi. Terlambat aku menyadarinya. Jadi kumohon kembalilah. Akan kukatakan
kalau akupun mencintaimu. Dengan setulusnya. Setulus aku menanti dengan
pengharapan penuh ini.
Kini,
setelah airmataku kering. Setelah aku beranjak dari lumpur pengharapan yang
mengering itu. Saat aku mulai bisa menata hidupku lagi. Ketika langkahku sudah
tak lagi kau bayangi. Setelah perjuangan panjang yang melelahkan itu hampir
berhasil, kau kembali hadir.
Kau
tahu, aku tak pernah membencimu, sekalipun berulang kali kau torehkan luka
untukku. Aku menikmati setiap pedih yang kau sayatkan, setiap tetes airmata
yang kujatuhkan. Karena aku tahu, tak setiap kali aku jatuh cinta aku bisa
menangis tanpa amarah. Dan belum tentu aku akan jatuh cinta sedalam ini lagi. Untuk
itu, rasa ini takkan kubuang. Akan kubiarkan ia tetap ada. meski entah kapan
kau akan kembali untuk menyambutnya lagi. Memelukknya, sehangat dulu.
Kemarin,
aku selalu menguntai doa-doa panjang, berharap Tuhan berbaik hati dan
mengirimmu kembali untukku segera. Kemarin, sebelum kubangan lumpur pengharapan
itu mengering.
Kini,
saat kau tiba-tiba hadir, aku sudah tak lagi mengharapkanmu.
“Maafkan
kesalahan yang pernah ada. Aku berjanji takkan mengulanginya.”
Kalimatmu
menyesakkan.
Tapi
entah bagaimana ada getar halus yang menyusup. Mungkinkah ini…rindu?
“Masihkah
ada ruang untukku dihatimu?”
Sadarkah?
Pertanyaanmu memaksaku menurunkan hujan di gurun hati yang gersang.
Hadirmu
membuka kembali kenangan lama yang sudah kukunci rapat-rapat. Dan seseorang
telah membantuku menyegelnya. Ahh ya, euphoria kedatanganmu membuatku melupakan
seseorang. Dia, dia yang selama ini menghapuskan airmataku. Tetap berada
disampingku meski yang terucap dari bibirku hanya namamu. Dia tetap disana. Memapahku
saat aku hampir tak lagi mampu berjalan menatap masa depan. Kau tahu, beginilah
aku saat kau pergi. Lantas untuk apa kau kembali?
Bagiku,
kau adalah masa lalu.
Masa
lalu yang menyeruak. Ingin kembali diputar.
Ahh..
“Aku
tahu ia masih membayangimu, Diva. Tapi tak bisakah kau membuka hati dan belajar
menyukaiku?”
Kalimatnya
masih memenuhi rongga-rongga dadaku. Aku tahu ia amat menyayangiku. Dia, dia
takkan meninggalkanku sepertimu. Tapi aku tak bisa. Kau telah merebut hati itu
dan meremukkannya. Sampai aku tak lagi merasakan cinta yang lain selain
cintamu. Aku lupa bagaimana cara mencintai orang lain. Tapi ia tetap ada. Meski
lelah, ia tak pernah beranjak.
Kau
tahu, jika ini adalah sebuah pilihan, aku ingin kau tak perlu kembali. Meski sisi-sisi
hatiku akan tergerus rindu. Walau ruang batinku akan terasa sesak oleh
angan-angan kosong.
Yang
ku tahu, waktu. Ya, hanya waktu yang selalu berbaik hati mengobati setiap luka.
Aku memang tak butuh dia, aku hanya butuh waktu. Tapi dia hadir, menemaniku
menyusuri ruas-ruas waktu untuk bisa meninggalkan masa lalu. Membimbingku untuk
menatap indahnya pelangi sehabis badai.
Dengan
semua perih, aku akan mengingkari perasaanku padamu.
“Kau
harusnya tak perlu kembali. Aku baik-baik saja disini.”
Kau
terpana. Aku tahu kau takkan percaya aku berkata demikian. Bahkan aku pun tak
tahu kenapa bibirku bisa dengan kelu mengatakannya. Aku menggigit bibir,
berusaha mempertahankan benteng air mata yang sudah dengan susah payah kubangun
sejak kau berdiri dihadapanku.
Kalau
saja kisah ini adalah sinetron-sinetron murahan itu, tentu aku akan menghambur
kepelukanmu. Mendekap erat cinta yang telah kau bawa kembali. Tapi ini lebih
dari itu.
Aku
kini tahu arti penantian, mengerti arti kekecewaan. Dan sakit yang menderaku
sangat menyiksa. Sesaknya bahkan membuatku sulit bernafas. Untuk itu, takkan
kubiarkan dia merasakannya. Cukup aku.
Jadi,
anggap saja kita sedang mengulang cuplikan cerita lalu.
Sekarang,
mari mainkan film kita masig-masing. Biarkan penggalan kisah lalu menjadi
pelengkap kisah hidup kita. Biarkan mosaik-mosaik kecil ini menjadi guru
terbaik kita. Kenangan yang mungkin suatu saat akan kita rindukan.
Sekarang,
yang ada, mari kita berdoa, semoga kita sama-sama bahagia. []
Bagus..:)
BalasHapusterima kasih.. :)
BalasHapus