Minggu, 22 Juli 2012

Keputusan-Keputusan Kecil



 Kau harusnya tak perlu kembali. Aku baik-baik saja disini.

Tadinya aku ingin belajar melupakan. Mengambil banyak jeda untuk melepas kebiasaan lamaku, terus ingin didekatmu. Memintamu untuk memberiku sedikit waktu agar aku terbiasa tanpamu. Dan aku hampir berhasil. Kau tau, hampir berhasil.

Aku tak peduli dengan perasaanku sendiri. Aku tenggelam di pekerjaanku. Tak ada orang yang bekerja sekeras aku. Mereka fikir, aku memang tergila-gila dengan pekerjaan. Ahh, mereka tak tahu kalau ini hanya sebentuk pelarian. Aku ingin melupakanmu. Sungguh. Aku ingin menghapus semua jejak-jejak cerita indah yang pernah kita rajut. Biarkan aku menata kembali hidup dan hatiku. Jika memang harus ada kata pisah, maka izinkan aku untuk bergegas. Luka ini terlalu sakit untuk terus kubiarkan. Aku ingin mengobatinya segera. Dengan pergi jauh dari kenangan itu dan melupakanmu.

Tak pernah aku ingin kau kembali. Tak pernah.

Karena aku tahu itu takkan mungkin.

Tak perlulah mengharapkan hal yang tak mungkin terjadi. Meski aku terus saja mengganggu Tuhan dengan doa-doa panjang. Tidak. Aku tak meminta Tuhan untuk mengirimmu kembali. Aku hanya meminta agar ia menghapuskan luka ini, mengizinkan aku tetap bahagia meski tanpamu.

Kemarin, aku masih punya mimpi untuk merajut hari-hari bersamamu. Mengulang scenario masa lalu. Tersenyum sendiri membayangkan kau tiba-tiba hadir. Menghabiskan waktu dan tenggelam dalam hayalan tentangmu. Aku tak sadar kalau aku tengah memimpikan angan kosong. Mosaik indah itu takkan pernah terulang. Kau takkan pernah kembali. Dan aku, tertatih merangkak. Mengais-ngais harapan yang bahkan aku pun tahu sudah tak ada.

Tak pernah ada yang bisa menghalangiku untuk menunggumu. Tak satu pun mereka bisa menarikku dari kubangan lumpur pengharapan itu. Menyadarkan kalau kau sudah takkan kembali juga tak ada. Pun ketika aku berharap kau segera datang, menemuiku segera. Menjemput hati yang kau tinggalkan.

“Aku mencintaimu.”

Aku ingin mengatakannya padamu. Datanglah.

Ya, sehelai sesal. Aku tak pernah menyadari kalau aku juga mencintaimu. Tak pernah sampai kau akhirnya pergi. Terlambat aku menyadarinya. Jadi kumohon kembalilah. Akan kukatakan kalau akupun mencintaimu. Dengan setulusnya. Setulus aku menanti dengan pengharapan penuh ini.

Kini, setelah airmataku kering. Setelah aku beranjak dari lumpur pengharapan yang mengering itu. Saat aku mulai bisa menata hidupku lagi. Ketika langkahku sudah tak lagi kau bayangi. Setelah perjuangan panjang yang melelahkan itu hampir berhasil, kau kembali hadir.

Kau tahu, aku tak pernah membencimu, sekalipun berulang kali kau torehkan luka untukku. Aku menikmati setiap pedih yang kau sayatkan, setiap tetes airmata yang kujatuhkan. Karena aku tahu, tak setiap kali aku jatuh cinta aku bisa menangis tanpa amarah. Dan belum tentu aku akan jatuh cinta sedalam ini lagi. Untuk itu, rasa ini takkan kubuang. Akan kubiarkan ia tetap ada. meski entah kapan kau akan kembali untuk menyambutnya lagi. Memelukknya, sehangat dulu.

Kemarin, aku selalu menguntai doa-doa panjang, berharap Tuhan berbaik hati dan mengirimmu kembali untukku segera. Kemarin, sebelum kubangan lumpur pengharapan itu mengering.
Kini, saat kau tiba-tiba hadir, aku sudah tak lagi mengharapkanmu.

“Maafkan kesalahan yang pernah ada. Aku berjanji takkan mengulanginya.”

Kalimatmu menyesakkan.

Tapi entah bagaimana ada getar halus yang menyusup. Mungkinkah ini…rindu?

“Masihkah ada ruang untukku dihatimu?”

Sadarkah? Pertanyaanmu memaksaku menurunkan hujan di gurun hati yang gersang.

Hadirmu membuka kembali kenangan lama yang sudah kukunci rapat-rapat. Dan seseorang telah membantuku menyegelnya. Ahh ya, euphoria kedatanganmu membuatku melupakan seseorang. Dia, dia yang selama ini menghapuskan airmataku. Tetap berada disampingku meski yang terucap dari bibirku hanya namamu. Dia tetap disana. Memapahku saat aku hampir tak lagi mampu berjalan menatap masa depan. Kau tahu, beginilah aku saat kau pergi. Lantas untuk apa kau kembali?

Bagiku, kau adalah masa lalu.

Masa lalu yang menyeruak. Ingin kembali diputar.

Ahh..

“Aku tahu ia masih membayangimu, Diva. Tapi tak bisakah kau membuka hati dan belajar menyukaiku?”
Kalimatnya masih memenuhi rongga-rongga dadaku. Aku tahu ia amat menyayangiku. Dia, dia takkan meninggalkanku sepertimu. Tapi aku tak bisa. Kau telah merebut hati itu dan meremukkannya. Sampai aku tak lagi merasakan cinta yang lain selain cintamu. Aku lupa bagaimana cara mencintai orang lain. Tapi ia tetap ada. Meski lelah, ia tak pernah beranjak.

Kau tahu, jika ini adalah sebuah pilihan, aku ingin kau tak perlu kembali. Meski sisi-sisi hatiku akan tergerus rindu. Walau ruang batinku akan terasa sesak oleh angan-angan kosong.

Yang ku tahu, waktu. Ya, hanya waktu yang selalu berbaik hati mengobati setiap luka. Aku memang tak butuh dia, aku hanya butuh waktu. Tapi dia hadir, menemaniku menyusuri ruas-ruas waktu untuk bisa meninggalkan masa lalu. Membimbingku untuk menatap indahnya pelangi sehabis badai.

Dengan semua perih, aku akan mengingkari perasaanku padamu.

“Kau harusnya tak perlu kembali. Aku baik-baik saja disini.”

Kau terpana. Aku tahu kau takkan percaya aku berkata demikian. Bahkan aku pun tak tahu kenapa bibirku bisa dengan kelu mengatakannya. Aku menggigit bibir, berusaha mempertahankan benteng air mata yang sudah dengan susah payah kubangun sejak kau berdiri dihadapanku.

Kalau saja kisah ini adalah sinetron-sinetron murahan itu, tentu aku akan menghambur kepelukanmu. Mendekap erat cinta yang telah kau bawa kembali. Tapi ini lebih dari itu.

Aku kini tahu arti penantian, mengerti arti kekecewaan. Dan sakit yang menderaku sangat menyiksa. Sesaknya bahkan membuatku sulit bernafas. Untuk itu, takkan kubiarkan dia merasakannya. Cukup aku.

Jadi, anggap saja kita sedang mengulang cuplikan cerita lalu.

Sekarang, mari mainkan film kita masig-masing. Biarkan penggalan kisah lalu menjadi pelengkap kisah hidup kita. Biarkan mosaik-mosaik kecil ini menjadi guru terbaik kita. Kenangan yang mungkin suatu saat akan kita rindukan.

Sekarang, yang ada, mari kita berdoa, semoga kita sama-sama bahagia. []

2 komentar: