-->
Kesempatan Kedua, Adakah?
Suatu kebodohan yang berakhir pada
penyesalan telah meninggalkanmu.
Aku
kembali. Aku datang untuk menjemput hati yang kemarin pernah kutinggalkan. Aku
hadir dengan segunung penyesalan. Masih tak pupus harapku untuk bersama mu
lagi. Mengulang cerita indah kita kemarin. Masihkah ada ruang untukku? Masihkah
kau mau menerima kepulanganku?
Setelah
semua kebodohan ini, aku tersadar, tak ada hati lain untukku berlabuh. Tak ada
tempat sebaik dan seindah hatimu. Aku tahu itu sejak dulu, gadisku. Aku tahu.
Kebodohan jualah yang menyeretku untuk melakukan hal terbodoh sepanjang sejarah
yang pernah kutoreh : meninggalkanmu.
Mimpi-mimpi
yang dulu pernah kurajutkan untuk kita, untuk memayungi langkah kita, kubongkar
sendiri-tanpa sadar sepertinya.
Lelah.
Penat.
Peluh.
Tak
pernah kuhiraukan awalnya. Aku yakin kau pun mencintaiku meski tak pernah
berujar demikian. Kemarin dulu, aku cukup puas dengan sikapmu yang biasa saja,
meski tak menunjukkan isi hatimu. Aku, saat itu, merasa sudah cukup baik dengan
keadaan kita. dengan kebersamaan yang dingin itu. Dengan tatapan tanpa rasa
yang selalu berhasil kau tusukkan ke sanubariku sampai aku kian yakin : kau pun
mencintaiku, dengan caramu.
Tapi
kemudian, dia hadir, gadisku. Dia, dengan tatapan penuh cinta, dengan sentuhan
penuh kasih dan dengan senyum sehangat mentari pagi. Menawan. Kemarin dulu, kau
masih tetap lebih rupawan dimataku, dihatiku. Dinginnya sikapmu, kurasa bagai
hujan di sahara jiwa. Menenangkan.
Sampai
di satu detik saat aku merasa hujan yang terus menerus itu mulai menenggelamkan
separuh dari sahara itu. Aku gelagapan, berusaha tetap tenang. Bertahan untuk
tetap mengapung meski aku sudah yakin hanya tinggal menunggu detik sampai aku
ikut tenggelam. Dan ya, aku bertahan. Sampai aku benar-benar hampir kehabisan
nafas.
Sekelebat
bayangmu yang kuharap kemarin dapat mengirimiku sekedar tempat untuk
bergantung, menghilang. Dan ia hadir. Membawaku dengan lembut dan penuh cinta.
Menghangatkan jiwa. Meluruhkan dinginnya hati menjadi sehangat mentari pagi. Ia
memapahku untuk bangkit berdiri. Menunjukkan bahwa masih ada sinar yang
harusnya bisa kusambut jika sinar itu tak kunjung kudapat darimu.
Aku
mencintaimu, gadisku. Sungguh. Tapi saat itu, aku benar-benar sedang sangat
lelah. Aku mulai merasa tak sanggup lagi menanggung dinginnya cinta yang kau
tawarkan. Aku pun butuh mentari yang menghangatkan. Dan itu ada padanya. Dia
bersedia menyinariku meski dia tahu saat itu, masih kau yang ada disini, di
hati ini.
Ia
terus ada, terus, sampai aku terbuai akan indahnya cinta yang ia tawarkan.
Dan
aku, memutuskan melangkah bersamanya. Meninggalkanmu yang aku tahu, saat itu
menatapku pilu. Berharap aku tak beranjak. Tapi, sumpah gadisku, saat itu, aku
terlalu hanyut dalam alunan musiknya yang hangat. Aku saat itu bosan dengan
kebekuan yang selalu tercipta diantara kita. Aku ingin menikmati cinta itu.
Cinta yang wajar.
Untuk
itu, aku beranjak. Bergegas melangkah bersamanya. Meninggalkanmu dengan airmata
berurai.
Tapi,
kemudian aku sadar. Tak ada hati lain untukku berlabuh. Tak ada tempat sebaik
dan seindah hatimu. Aku tahu itu sejak dulu, gadisku. Aku tahu. Kebodohan
jualah yang menyeretku untuk melakukan hal terbodoh sepanjang sejarah yang
pernah kutoreh : meninggalkanmu.
Dengan
segala sesal, aku kembali. Berharap kau masih menyisakan sedikit ruang untukku.
Agar aku bisa memperbaiki kesalahan fatalku. Aku tahu, kau berhati malaikat. Kau
akan memaafkanku. Aku percaya.
Dan,
sungguh, aku masih melihat cinta di matamu. Aku masih dapat merasakan ketulusan
dalam tatapanmu yang kini terlihat…sendu.
Aku
semakin sadar, suatu kebodohan yang berakhir pada penyesalan telah
meninggalkanmu.
“Kau
harusnya tak perlu kembali. Aku baik-baik saja disini.”
Kalimatmu
mengoyak rinduku.
Aku
tak pernah menyangka kalau kau akan mengatakannya. Aku lebih suka kau memakiku
dengan semua makian yang menyakitkan. Kalimatmu terlalu baik untukku yang sudah
menyayatkan sembilu. Aku pantas mendapatkan yang lebih buruk. Akan kuterima
apapun itu. Tapi jangan seperti itu. Tolong.
“Sungguh,
aku baik-baik saja,” ujarmu sambil tersenyum.
Senyum
yang sangat kukenal. Kau benar-benar terluka.
Aku
kemudian merengkuhmu. Membiarkanmu menangis dengan bebas di pelukku. Awalnya
kau meronta. Tapi kemudian senggukan itu mulai kudengar. Kau menangis. Pilu sekali
aku harus mendengar tangisan pedih dari orang yang sangat kucintai.
Terbata,
aku mengatakannya.
Kau
diam.
Senyap
menyergap kita sampai suara itu terdengar. Suara dari lelaki yang aku kini tak
tahu harus berterimakasih padanya atau malah membencinya. Ia telah membantumu
bangkit sepeninggalku, menemanimu merangkai hari-hari baru. Tapi, apakah aku
harus tetap berterimakasih meski pada akhirnya ia membuatmu memalingkan wajah
dariku?
Ia
menghampiri kita.
Aku
jelas menangkap raut tak suka di wajahnya.
“Kita
pulang, Div?”
Aku
tak tahu apakah kalimatnya barusan itu bernada pertanyaan atau pernyataan. Ia
hanya mengulurkan tangan yang kemudian kau sambut. Ia menuntunmu berjalan
menjauhiku. Kamu tahu seperti apa sakitnya? Ya, mungkin kamu memang tahu. Aku
saja yang baru tahu kalau melihat orang yang kita cintai melangkah bersama
orang lain sangat menyesakkan. Dan seperti inilah kamu saat kemarin
kutinggalkan? Aku menyesal Diva. Aku sangat menyesal.
Dengan
segala penyesalanku, aku bermohon pada Tuhan agar ia membukakan hatimu untuk
memberiku kesempatan. Sekali lagi. Dan aku berjanji takkan menyia-nyiakannya.
“Tak
adakah kesempatan kedua itu, Div?”
Kelu,
aku bertanya. Langkahmu terhenti. Untuk sepersekian detik, aku berdoa agar kau
bersedia berbalik arah, sekedar melihat raut penyesalan yang menggunung di
mataku. Dan ya, kau menoleh.
Aku
masih dapat melihat jelas airmata yang terus jatuh membasahi pipimu. Aku dapat
merasakan sakit itu. Sungguh. Dan untuk itu, aku ingin mengobati lukamu, aku
ingin memperbaiki kesalahanku.
Kumohon,
kesempatan. Sekali lagi.
Aku
tak tahu seperti apa lelaki itu telah membawamu melangkah untuk melihat pelangi
sehabis badai, Diva. Yang ku tahu, aku pun akan membuatmu bahagia. Aku hanya
butuh kesempatan itu untuk membuktikannya.
Kau
terus menatapku dengan linangan air mata yang bahkan aku tak bisa menghapusnya.
Aku masih merasakan cinta itu, Diva. Masih. Meski samar.
Lelaki
itu kemudian melepaskan genggamannya di jemarimu, membiarkanmu memilih.
Harapan
muncul kembali dibenakku. Ia telah merelakanmu, Diva. Kesempatan kedua itu,
tolonglah.
Tapi
kemudian kau berbalik, membelakangiku. Meraih tangannya, dan berujar padaku, “bagiku,
kau adalah masa lalu.”
Aku
terpaku. Takkan ada kesempatan kedua untuk hati yang sudah terlalu sakit. Tak
apa, Diva. Ia mungkin memang lelaki yang lebih baik dariku. Caranya yang
membiarkanmu memilih cukup untuk membuktikannya. Kau akan bahagia dengannya,
aku percaya. Biarkan aku menyesali kebodohanku sampai puas.
Sekarang,
mari mainkan film kita masing-masing. Biarkan kisah lalu menjadi pelajaran
berharga untuk hidup kita. Kenangan yang mungkin akan kita rindukan nantinya.
Kini,
mari kita berdoa, semoga kita sama-sama bahagia. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar