Kalau Doraemon meminjamkanmu mesin
waktu, adakah yang ingin kau perbaiki dimasa lalu?
Entah
kenapa, fikiran itu berkelebat di benakku. Bukan karena baru nonton film
Doraemon atau film yang ada hubungannya dengan mesin waktu. Fikiran itu muncul
begitu saja. Dan rasanya tergelitik untuk sekedar nge-note. Urusan pantas
dipajang di blog atau di note facebook, belakangan. Yang penting uneg-uneg
dikeluarin dulu. J
Untuk
menjawab pertanyaan iseng di atas, artinya aku harus flashback ke zaman dahulu
kala dong ya. Masa kecil mungkin. Eh, kalo masa kecil kejauhan. Lagian kayaknya
nih ya, masa kecil, seputaran zaman esde, gag ngaruh-ngaruh amat sama aku yang
sekarang. Mungkin masih belum ada hal yang perlu diperbaiki disana.
Hmm,
oke, mungkin kita mulai pas zaman esempe aja deh. Well, ada kejadian apakah
disana? Hmm… sepertinya semua juga berjalan sebagaimana mestinya. Eh, tapi
kalau boleh milih nih ya, kemaren dulu, pas di MAN, aku pernah sedikit
bertanya-tanya, kenapa aku gag dimasukin ke pesantren aja ya pas esempe? Toh,
dimasukinnya tetep ke sekolah agama, tsanawiyah. So, kenapa gag pesantren aja
sekalian? Padahal ayah kan dulunya juga nyantri. Perihal ini tak lagi jadi
pertanyaan, soalnya kemaren udah ditanya sama mama, dan katanya, ya mana mama
tahu. Mungkin ayah gag mau pisah sama anaknya. Jawaban itu terhenti sampai
disitu karena sudah tak mungkin nanya sama ayah, beliau sudah menuju-Nya
soalnya.
Eh,
iya. Kalau aku dikasi kesempatan untuk memperbaiki masa lalu, aku akan datang
ke masa dimana ayah masih belum nikah sama mama. Masa mudanya lah. Nah, disana,
aku bakal nyuruh ayah buat stop rokok, jangan suka makan rempelo, kalo naik
motor pake jaket yang tebel, pokonya jaga kesehatan sebaik-baiknya. Terlepas
itu bakal pengaruh sama usianya, paling tidak, hidup sehat akan membuat mereka
lebih baik. huaaa. Kalo inget gimana ayah pas sakit, bolak balik masuk rumah
sakit, sampe cuci darah dua kali seminggu, sumpah, airmata bakal jatuh
bergelas-gelas. Ayah itu sosok pria dengan kesabaran yang luar biasa. Terus,
punya cinta yang besaaaarrr banget buat kami. Aku khususnya. Mungkin karena
cewek sendiri kali ya. Kan biasa tuh kalo ayah bakal lebih dekat sama
puterinya, dan ibu akan lebih dekat sama puteranya. Ahh, apapun itu, yang pasti
aku dan kedua adik lelakiku juga sayang banget sama ayah. Jadi, jangan heran
kalo selepas beliau pergi, kami yakin takkan ada seorangpun yang bisa
menggantikan posisinya dihati kami. Tak seorangpun.
Beralih
ke masa setelahnya aja deh ya. Jadi gag asik kalo nulis yang sedih-sedih.
Hmm,
dulu pas di MAN kan aku ngambil IPS tuh. Bukan karena gag bisa di IPA, cuma aku
ngerasa IPS itu lebih asik aja. Lagian, emang kenapa kalo aku di IPS? Toh, IPS
juga dapat IPS-1 dari 4 kelas IPS. Dan aku gag pernah ngerasa anak IPA lebih
jago dibanding anak IPS. Kita sama-sama jago dibidang kita masing-masing. Jadi
gag usah kereak kalo lu anak IPA. Gag
bakal ngiri gue. :D
Dulu
itu, walau aku basicnya udah agama dari sejak esempe sama esema, aku tetep
nganggap masuk kampus agama itu gag banget. “IAIN? Ahh, no way!” itu kataku dan
kata teman-temanku dulu. Gag tau kenapa pamor kampus itu tuh rendah banget
dimata kami. Jadilah kami ikutan bimbingan buat ngikutin SNM-PTN bareng-bareng
saking ogahnya masuk kampus itu.
Nah,
kemaren itu aku pengen ambil jurusan bahasa inggris di PTN negeri. Terserah
masuknya di sastra atau pendidikan, yang penting bahasa inggris. Jadilah aku
milih Pend. Bhs Inggris di Unimed sama Pend. Bhs Inggris di UNRI. Dan ternyata,
sodara-sodara, saya lulus di UNRI. Kebayang gag lu gimana suenengnya. :D Tapi,
ternyata taqdir berkata lain. Mama tak mengizinkan daku berangkat dengan
buanyaaak banget alasan. Lantas aku bisa apa? Ya cuma bisa nurut lah.
Setelah
itu semua takdir mengantarkanku ke kampus yang dulu selau ku olok-olok. Menjadi
bagiannya. Huaaahhh… dan sejak itu, aku tak berminat lagi dengan bahasa
inggris. Hatiku terpaut pada ekonomi islam, jurusan yang akhirnya kupilih.
Menyesal?
Kemarin dulu memang iya. Tapi sekarang, aku mensyukuri setiap helai dari
takdir-takdir itu. Karena aku tahu, inilah yang terbaik. Mungkin aja kalo aku
jadi ke UNRI, aku gag bisa selesai dalam waktu tiga setengah tahun, ngambil
jurusan bahasa inggris? Memangnya sekarang siapa yang gag bisa bahasa inggris?
Trus, gimana pula akhlak-ku? Ibadahku? Ahh, apapun ceritanya, hal yang patut ku
syukuri takdir itu mengantarkanku kesini.
Dengan
membiarkan takdir membawa aliran itu secara alami, sepertinya lebih
menyenangkan. Dengan mensyukuri saja semua yang sudah terjadi, menjalaninya
akan terasa lebih ringan. Anggap saja setiap luka, kecewa, sakit, bahagia, dan
semua rasa itu adalah bagian dari pendewasaan diri. Lagi pula, toh Doraemon
takkan pernah meminjamkan mesin waktunya pada kita. Karena ia tahu, kita pasti
akan menyalahgunakannya. Jadi, kalau seandainya dia benar-benar menawarkannya
padaku, aku akan bilang, “terimakasih, aku sudah cukup bahagia dengan
kehidupanku sekarang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar