Senin, 05 Februari 2018

BALADA MAHASISWA *SI KRIBO*


Ini bukan sekuel dari Balada Mahasiswa Semester Tua dan Balada Mahasiswa Semester Tua Part II. Soalnya ini blog bukan buat drama sinetron yang gak habis2 sampek ribuan episode. Karena adek mah nyadar, bang, pembaca blog adek ini gak se-rame penonton sinetron yang rame di tipi itu. #nunduksedih

Dari sekian banyak blogpost yang pernah kutulis, baru kusadari sekarang kalo aku gak pernah nulis tentang keluargaku. Jadi biarkan kali ini aku bercerita tentang adik bungsuku, yang belum lama ini bikin geger di rumah. Perkara SPO. SPO? Iya, SPO yang itu yang kumaksud.

Lelaki yang hadir ke dunia 22 tahun yang lalu itu adalah si bungsu di keluarga ini. Usia dua dua itu bukan usia yang bisa dibilang kecil lagi ya. Udah dewasa. Udah akil baligh. Tapi dia masih dipanggil dengan panggilan unyu anak balita, “Abang Ganteng.” Siapa pencetusnya? Ya emak kite. Jadi karena mamak masih manggil dia dengan sebutan begitu sampek dia udah segede gini, jadi daku terkontaminasi juga. Jadilah dia abang ganteng di rumah ini, mengalahkan pamor si tengah. *Lu mau dipanggil “abang ganteng” ? paksa nyokap lu ngejadiin lu anak bungsu. Wkwkwkwkwk.*

Di rumah ini, kita cuman bertiga. Emak babe kita datang beberapa kali aja dalam seminggu. Jadi mungkin karena sepi, bertiga doang, walhasil tiap kali keluar kamar, pasti nyariin satu sama lain. Walapun lagi gak perlu apa2.

Kita emang banyak menghabiskan waktu di kamar masing2. Mungkin karena udah lelah kerja dan beraktivitas seharian diluar, sekalinya di rumah langsung kangen banget sama kasur. Jadi pas keluar kamar, yang di cek kreta dulu. Kreta siapa nih yang lagi di rumah, berarti orangnya di rumah.
Btw, sekalipun kita manggil dia “Abang Ganteng”, bukan berarti kita menganggap dia udah cukup gede, udah abang2. Tidak sama sekali. Kita masih menganggap dia adalah si bungsu yang kecil. Ke-cil. Padahal udah mahasiswa semester akhir.

Gak tau kenapa, kayaknya efek dia anak bungsu, jadi semuanya serba ngerasa kalo dia itu harus banyak di rumah. Harus sering terlihat di rumah. Belum nyampek rumah pas maghrib aja mamak udah meriah nanyak2, “kok belum pulang lah abang ganteng ini ya?” “Kemana dia?” “Coba telpon-kan dulu.”

Baru habis maghrib, gaes.

Menjelang jam 10 malam, gantian aku yang meriah.

Ya, kami meriah dibikin si bungsu, yang usianya udah 22 tahun. Dan dia itu laki-laki. -__-

Jadi aku pernah bilang ke dia, “kau kok keluar2 aja? di rumah kek kalo lagi gak kuliah.”

Dan tau gak dia jawab apa? “Dunia itu seluas tapak kaki, kak. Kalo aku di rumah aja, berarti dunia-ku kecil kali lah.”

-___-

Oia, semenjak dia ambil jurusan tekhnik, dia merubah penampilannya jadi agak nyentrik. Di keluarga ini gak pernah punya riwayat memiliki anggota laki-laki yang berambut gondrong. Dia memilih pilihan itu. Dia memanjangkan rambutnya yang ikal cenderung keriting, persis ribu. Bolak balik disuruh pangkas sama emak babe, sama ribu, sama aku, sama si tengah, tak pernah digubris samsek.
Akhirnya rambut yang cenderung keriting tadi memanjang. Karena teksturnya ikal besar2, jadinya itu rambut bukan lagi terlihat ikal, tapi cenderung kribo. Dan semenjak itu pula, dia punya julukan baru dariku, si Kribo.

Di kampus, si Kribo aktif di organisasi “per-tekhnik-an.” Kayaknya di organisasinya itulah dia mendapatkan ilham untuk manjangin rambut. Dan kebetulan dia dipercaya menjadi salah satu jajaran pimpinan. Pernah waktu ada keperluan ke kampusnya, aku ngeliat teman2nya manggil dia “Jend”. Usut punya usut ternyata dia Sekjend di organisasinya itu.

Dan kemaren, rumah diketuk oleh orang yang mengaku dari kampus tempat si kribo kuliah. Blio datang mengantarkan surat SPO. Jeng.. jeng.. jeng..!!!
***

Kribo aktif di organisasi intra kampus, masih dibawah naungan HMJ juga kalo gak salah. Kemaren salah seorang anggotanya bermasalah, dan harus di skors selama 4 semester alias dua tahun. Dan entah gimana sekret mereka di segel. Masalahnya panjang, rumit, ruwet, dan rempong. Jadi di skip aja ya. -,-

Jadi si Kribo dan teman2 yang lain menunjukkan rasa setia kawan dan penolakan dengan berusaha menyampaikan aksi protes atas hal itu. Caranya dengan menggelar aksi. Masalah ini ada di fakultas tekhnik, tapi turut didukung kawan2 mereka dari berbagai organisasi intra. Dan dalam aksi itu, ada beberapa orang yang dikenakan sanksi. Mungkin karena mereka terlalu vokal, atau karena anarkis, entahlah. Yang jelas dari fakultas tekhnik, si Kribo dan tujuh orang teman lainnya diberikan peringatan dan berujung pada skor 1 semester. Di-skor satu semester, pemirsaaahh. Dan kami satu rumah gak ada yang tau kalo kemaren orang biro gak ngetuk pintu rumah untuk menyampaikan undangan SPO.

Jadi ceritanya undangan itu ditujukan untuk menyetujui surat perjanjian bahwa mahasiswa bersangkutan tidak akan mengulangi perbuatan yang sama. Surat perjanjian tersebut akan menjadi persyaratan untuk memperoleh surat pengaktifan kembali mahasiswa (selama skor kemaren mereka di-non-aktifkan). Orang tua diundang mungkin (menurutku sih) untuk menggertak mental2 dara muda yang kata haji roma berapi2 itu.

Karena sepanjang aku kuliah, S1 dan S2, baru ini kudengar orang tua mahasiswa diberikan undangan untuk membicarakan anak mereka. Kalo siswa mah, udah biasa ya. (soalnya daku juga sering manggil wali murid kalo anaknya bermasalah di sekolah) lah ini mahasiswa, geng!

Undangan itu akhirnya aku yang hadiri. Bukan karena mamak gak sempat, tapi karena aku aja yang kepingin. Aku pengen tau aja gimana si Kribo di kampus.

Jadi sodara2, datanglah daku bersama si Kribo ke ruangan rapat tersebut. Kita diundang ke ruang rapat rektorat. Bersama tujuh orang mahasiswa, tujuh orang wali dari masing2 mahasiswa tersebut, dosen2 tekhnik, dekan, dan jajarannya.

Yang ngebikin aku sedikit “agak gimanaaa” gitu adalah ketika pas Dekan-nya ngomong, dia bilang, “di pertemuan ini kita tidak lagi menceritakan kejadian yang lalu. Dan tidak dibuka season tanya jawab.”

Aku ya langsung bertanya2 dong. Jadi begitu ditanya kesediaan untuk menandatangi surat perjanjian itu, aku jadi “agak gimanaa” gitu. Ternyata aku gak sendiri. Dua orang wali yang lain berpendapat sama. Kami minta diceritakan lebih dulu secara ringkas apa masalahnya.

Akhir cerita, aku tanda tangan. Karena gimana pun juga, aku memang harus tetap menanda-tangani surat perjanjian tersebut kalo mau si Kribo aktif kuliah kembali. Kami meninggalkan ruang rapat rektorat dengan selembar surat keterangan aktif kuliah. Si Kribo melangkah ogah2an. Ternyata dia sangat kecewa. Aku paham. Dia kecewa karena merasa hak-nya untuk berpendapat dikekang, dia merasa perjuangannya untuk menuntut  keadilan untuk teman2 dan organisasinya sia2. Terlepas dari itu, ternyata dia lebih kecewa lagi karena pengacara  yang menceritakan masalah itu tidak cerita sesuai fakta. Banyak bumbu2 penyedap. Dan itu merugikan mereka. Tapi apa daya, mereka bertiga tak punya daya.

“Ntah apa2 yang dibilang Bapak itu. Mana kek gitu kejadiannya, ya kan bang?” ujar si Kribo pada rekannya, ketua himpunan organisasi tetangga yang juga sama2 di skor.

“Aku kalo gak ingat ada ayahku tadi, mau kulawan aja dia. Fitnah kali dia itu,” sahutnya.

Aku cuma bisa melongo. Adikku, si bungsu yang kecil, si kribo, si abang ganteng, ternyata sudah berproses sejauh ini sebagai mahasiswa. Dia yang selalu kami anggap kecil di rumah, ternyata punya segudang cerita diluar yang kami gak tau.

Dari ceritaku tentang si Kribo ini, ada beberapa hal penting harus kupahami.

Pertama, si Kribo bukan lagi si bungsu kami yang kecil. dia sudah berproses dan berupaya menjadi pohon yang rindang.

Kedua, si Kribo memang membuat kesalahan sampai dia harus di skor dan membuat surat perjanjian, tapi terlepas dari itu, dia telah membuat satu keputusan besar dengan segala resikonya.

Ketiga, undangan orang tua memang datang ke rumah, tapi itu tidak selamanya berarti kalo si Kribo membuat kesalahan fatal yang bisa merusak nama baik keluarga. Dia hanya sedang belajar menjadi rindang.

Keempat, ternyata aku melewatkan masa kuliahku dengan sangat baik budi. Aku aktif di organisasi, tapi aku anti aksi alias demo. Dan akhirnya dengan menyesal kuakui, “aku menyesal.” *ribet banget ngomongnya ya..

Kelima, ternyata dengan masalah begindang bisa ngebawa si Kribo ke meja rapat rektorat. Hahahahha. Gak semua mahasiswa bisa masuk ruang rektorat, geng! Dan untuk bisa duduk, dan rapat di ruang rektorat, lo harus melakukan hal besar yang “membuat gelisah” kampus dulu. Wkwkwkwk.

Keenam, hmmm.. udah, lima aja.

Jadi itulah dia kisah si Kribo. Lain waktu akan kuceritakan tentang si Tengah. ^^



Tidak ada komentar:

Posting Komentar