Selasa, 24 Desember 2019

MY LIFE JOURNEY - BEING A MOTHER



Sudah banyak sekali hal yang sebenarnya ingin kutuliskan dari kemarin2. Banyak hal yang terjadi beberapa bulan terakhir, dan semuanya sangat ingin kuabadikan di blog ini. Hanya saja, dari sekian alasan untuk menulis, masih lebih banyak alasan untuk ‘ntar aja deh’. -_-

Eh, aku udah jadi ibu loh sekarang, hehehe. Alhamdulillah, Allah percayakan rahimku untuk ditinggali seorang manusia sampai tiba saatnya ia menyapa dunia. Sekarang aku mengerti kenapa rasulullah menyeru untuk mendoakan ibu, ibu dan ibu baru kemudian ayah. Ternyata menjadi ibu itu gak gampang, gaes. Kamu yang sudah menjadi ibu pasti setuju. Blogpost kali ini tentang perjuanganku menjadi seorang ibu. Bukan untuk bikin takut atau gimana, hanya ingin menuangkan segala cerita yang memang sangat ingin kuabadikan, agar tak ada traumatic yang bersisa di kepala. Seperti yang sudah2, menulis adalah relaksasi terbaik yang kupunya. Jadi, akan kuceritakan sekelumit disini, semoga menginspirasi.

Aku selalu bilang ke bayi dalam perutku, “nak, ntar kalo mau lahir, pas ada bapak di rumah ya.” Ngeri aja ngebayangin mules2 mau lahiran sementara aku cuman sendirian. Nah, si bayi kayaknya ngerti deh. Malam hari menjelang 18 November 2019, keluar tanda dan nyeri2 di sekitar pinggang. Asli, sepanjang malam gak bisa tidur nyenyak. Cemas banget. Maklum ya, anak pertama. Kirain udah nyeri2 gitu bakal lahiran segera. Tapi mau ngajakin suami ke klinik tengah malam juga gak berani. Horror aja malam2 gitu ngelewatin kuburan.

Besok paginya suami gak kerja dong ya. (Pinter bayi-nya bikin bapaknya gak kerja biar bunda ada temennya. Coba kalo ngeluarin tanda pas suami udah berangkat kerja. Kan repot. Haha). Nyampe klinik, ternyata masih pembukaan 1. (Untuk yang awam, pembukaan 1 itu maksudnya leher rahim baru terbuka sebesar 1 cm. Sementara untuk proses lahiran membutuhkan 10 cm pembukaan agar bayi bisa keluar. Dan dari pembukaan 1 menuju pembukaan lengkap biasanya 10 jam. Itu kalo gak ada kendala atau pembukaannya terus berjalan. Aku juga baru tau semenjak mau lahiran, gaes. Belajarnya dari mana? Dari google. Hahahha.)

Nah, jadi karena masih pembukaan 1, aku disuruh pulang sama bu bidan dan disuruh latihan pake bola gede yang didudukin itu. Sepanjang hari aku latihan terus. Herannya, sakitnya malah hilang. Jadilah aku latihan pake bola itu sambil ngeliatin suami yang ngotak atik kereta.

Persis menjelang maghrib, aku kayak ngerasa ada aliran air yang merembes. Mengalir secara tiba2 dan serta merta. Gak bisa ditahan. Beroleh pengetahuan dari mbah google juga, aku tau, itu adalah cairan amnion atau yang biasa kita sebut air ketuban. Bergegaslah kita ke klinik lagi.

Nyampek klinik langsung di infus. Pembukaan masih belum bertambah. Tapi karena air ketuban sudah bocor, maka aku harus tetap dalam pengawasan bidan.  Well, menginaplah malam itu kita di klinik. Besok pagi, masih juga belum ada rasa sakit. Heran dong. Masa udah pecah ketuban gak ada sakit? Masa udah mau lahiran cuman sakit2 dikit? Jam 10 pagi, waktu di cek, ternyata sudah pembukaan 4. Jelang dzuhur, sudah mulai terasa nyeri seperti kemarin. Jam 2 siang, pembukaan 9 dan aku sudah dibopong ke ruang partus (ruang tempat bersalin). Bidan dan anggotanya udah siap2 dengan baju, tutup kepala, sarung tangan, sepatu boot, dan semua perlengkapan mereka. Mereka memperhatikanku yang juga memperhatikan mereka. Setelah beberapa menit, bu bidan nanya, “ada terasa mau buang air besar?”

Satu satu mereka keluar setelah se-jam lebih aku tidak juga merasakannya. Gak lama, aku mulai merasakan yang namanya kontraksi. Benar kata mama, “kalo masih bisa senyum, berarti masih lama. Kalo udah dekat udah gak bisa lagi muka-mu manis.” Iyalah pulak, dari jam 2 siang pembukaan lengkap, bayi-ku lahir jam 10 malam. Jadi selama delapan jam ngerasain kontraksi emang bener, gabisa senyum lagi. Yang tau gimana kontraksi itu, aku tau kalian pasti prihatin.

Sekian jam itu ternyata bukan hanya aku yang berjuang, bayi-ku di dalam pun sedang berjuang. Dia terlilit tali pusar. Itu yang membuat meski rahimku sudah membuka lebar, dia gak bisa turun ke pintu rahim karena tali pusar melilit lehernya. Kasihan sekali bayiku ini. Dengan segala upaya akhirnya kami bisa bertemu meski dengan robekan lebar. T_T

Setelah melewati perjuangan besar ini, aku memahami dengan pasti mengapa surga terletak di telapak kaki ibu. Sungguh perjuangan ini antara hidup dan mati. Percaya atau tidak, selama aku ‘menikmati’ kontraksi, aku sudah merelakan hidupku, aku memasrahkan hidupku, aku memohon kepada Allah untuk mengakhiri penderitaanku dengan jalan apa saja. Termasuk jika aku harus dipanggilnya. T_T Banyak rasa sakit yang pernah kualami, namun rasa pasrah seperti itu baru kali ini kurasakan. Demi Allah, itu rasa yang luar biasa.

Selama di ruang partus, aku ditemani mama dan mas suami. Berjam-jam mereka nungguin, sodara2 udah pada datang jenguk. Pada masuk ke ruang partus, ngeliat aku yang kayak sakaratul maut nahankan kontraksi. Aku udah gak tau lagi siapa yang datang, karena saking ‘nikmatnya’, aku gabisa buka mata.

Begitu saat bayi mulai turun, ruang partus itu mendadak bising dengan suara mas suami. Setengah berteriak ia melantunkan ayat2 Allah, berdoa dengan suara lantang, berusaha agar aku punya tenaga lagi melalui semangat yang ia coba tularkan melalui sugesti. Setelah tenagaku nyaris habis setelah kontraksi panjang, proses mengedan baru mau dimulai. Kebayang? -__-

Tanganku sempat dituntun untuk menyentuh kepala bayi yang baru keluar sebagian, demi Allah.. Demi Allah.. Aku gak tau perasaan apa itu, tapi dengan sekuat tenaga aku kembali berjuang, sampai Allah izinkan kami bertemu dan menyudahi perjuangan antara hidup dan mati ini dengan air mata bahagia. Alhamdulillah. Segala puji hanya bagi Allah. Bayiku yang terlilit tali pusar itu lahir ke dunia dengan sempurna, tiada kurang suatu apapun. Saat itu rasanya legaaa sekali. Setelah semua proses panjang itu, baru aku bisa membuka mata dan memandang sekeliling. Itulah saat aku melihat dengan jelas seperti apa ruang partus, melihat pajangan di dindingnya, melihat peralatan medis, dan melihat wajah mas suami yang tersenyum melihat kemenanganku. Ya, hari itu, Selasa, 19 November 2019, aku memenangkan pertarungan antara berjuang dengan menyerah. Aku menang, dan hadiahnya adalah seorang bayi laki2 tampan.

Esok hari, saat mendengar adzan shubuh, aku terbangun dengan derai air mata. Rasa haru yang luar biasa merambati hatiku. Aku terkenang dengan doa2ku saat kontraksi ; permohonan mapun, sampai pasrah jika waktuku untuk menghadapnya sudah tiba. Sungguh Allah maha pengasih dan penyayang. Dengan izinnya, aku masih hidup sampai saat ini.

“Perempuan memang di design untuk bisa melahirkan secara normal, dek. Apalagi selama ini kita kontrol, kondisi adek selalu baik. Gak ada yang perlu di khawatirkan. Tapi untuk prosesnya, memang seperti itulah perjuangan seorang yang ibu. Kan gantinya surga ada di telapak kaki adek,” jawab mas suami ketika kutanyai tentang kekhawatirannya aku akan kalah dalam perjuangan itu.

Aku tau sebenarnya dia juga merasakan ketegangan luar biasa di ruang partus kemarin. Kalo nggak, mana mungkin suaranya kayak suara orang mau perang. Tapi dia berusaha meyakinkan kalau semuanya memang akan baik2 saja. Aku pasti selamat, bayi kami juga akan selamat.

Pengalaman melahirkan ini bikin ngilu kalo diingat2. Bahkan sampek sekararang, setelah sebulan berlalu. Tapi biar kata ngilu, toh orang2 anaknya banyak juga ya kan. Apalagi orang2 dulu, peralatan melahirkannya bahkan masih sangat sederhana, tapi anaknya bisa sempek selusin. Jadi, mungkin sekarang masih ngilu karena masihhh baru kali ya? Gak tau deh tiga atau empat tahun lagi. Wkwkwk.

Jadi, karena bundanya merasa menang, dinamakanlah si bayi mungil ini Gerhana Al Zhafran, yang dalam bahasa urdu artinya pemenang. Semoga dia terus menjadi pemenang. Memenangkan hati kami orang tuanya, memenangkan ridho Rabb-nya, dan menjadi pemenang dalam setiap kompetisi hidupnya. Aamiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar