Sudah
banyak sekali hal yang sebenarnya ingin kutuliskan dari kemarin2. Banyak hal
yang terjadi beberapa bulan terakhir, dan semuanya sangat ingin kuabadikan di
blog ini. Hanya saja, dari sekian alasan untuk menulis, masih lebih banyak
alasan untuk ‘ntar aja deh’. -_-
Eh,
aku udah jadi ibu loh sekarang, hehehe. Alhamdulillah, Allah percayakan rahimku
untuk ditinggali seorang manusia sampai tiba saatnya ia menyapa dunia. Sekarang
aku mengerti kenapa rasulullah menyeru untuk mendoakan ibu, ibu dan ibu baru
kemudian ayah. Ternyata menjadi ibu itu gak gampang, gaes. Kamu yang sudah
menjadi ibu pasti setuju. Blogpost kali ini tentang perjuanganku menjadi
seorang ibu. Bukan untuk bikin takut atau gimana, hanya ingin menuangkan segala
cerita yang memang sangat ingin kuabadikan, agar tak ada traumatic yang bersisa
di kepala. Seperti yang sudah2, menulis adalah relaksasi terbaik yang kupunya.
Jadi, akan kuceritakan sekelumit disini, semoga menginspirasi.
Aku
selalu bilang ke bayi dalam perutku, “nak, ntar kalo mau lahir, pas ada bapak
di rumah ya.” Ngeri aja ngebayangin mules2 mau lahiran sementara aku cuman
sendirian. Nah, si bayi kayaknya ngerti deh. Malam hari menjelang 18 November 2019,
keluar tanda dan nyeri2 di sekitar pinggang. Asli, sepanjang malam gak bisa
tidur nyenyak. Cemas banget. Maklum ya, anak pertama. Kirain udah nyeri2 gitu
bakal lahiran segera. Tapi mau ngajakin suami ke klinik tengah malam juga gak
berani. Horror aja malam2 gitu ngelewatin kuburan.
Besok
paginya suami gak kerja dong ya. (Pinter bayi-nya bikin bapaknya gak kerja biar
bunda ada temennya. Coba kalo ngeluarin tanda pas suami udah berangkat kerja. Kan
repot. Haha). Nyampe klinik, ternyata masih pembukaan 1. (Untuk yang awam,
pembukaan 1 itu maksudnya leher rahim baru terbuka sebesar 1 cm. Sementara
untuk proses lahiran membutuhkan 10 cm pembukaan agar bayi bisa keluar. Dan
dari pembukaan 1 menuju pembukaan lengkap biasanya 10 jam. Itu kalo gak ada
kendala atau pembukaannya terus berjalan. Aku juga baru tau semenjak mau
lahiran, gaes. Belajarnya dari mana? Dari google. Hahahha.)
Nah,
jadi karena masih pembukaan 1, aku disuruh pulang sama bu bidan dan disuruh
latihan pake bola gede yang didudukin itu. Sepanjang hari aku latihan terus.
Herannya, sakitnya malah hilang. Jadilah aku latihan pake bola itu sambil
ngeliatin suami yang ngotak atik kereta.
Persis
menjelang maghrib, aku kayak ngerasa ada aliran air yang merembes. Mengalir
secara tiba2 dan serta merta. Gak bisa ditahan. Beroleh pengetahuan dari mbah
google juga, aku tau, itu adalah cairan amnion atau yang biasa kita sebut air
ketuban. Bergegaslah kita ke klinik lagi.
Nyampek
klinik langsung di infus. Pembukaan masih belum bertambah. Tapi karena air
ketuban sudah bocor, maka aku harus tetap dalam pengawasan bidan. Well, menginaplah malam itu kita di klinik.
Besok pagi, masih juga belum ada rasa sakit. Heran dong. Masa udah pecah
ketuban gak ada sakit? Masa udah mau lahiran cuman sakit2 dikit? Jam 10 pagi,
waktu di cek, ternyata sudah pembukaan 4. Jelang dzuhur, sudah mulai terasa nyeri
seperti kemarin. Jam 2 siang, pembukaan 9 dan aku sudah dibopong ke ruang
partus (ruang tempat bersalin). Bidan dan anggotanya udah siap2 dengan baju,
tutup kepala, sarung tangan, sepatu boot, dan semua perlengkapan mereka. Mereka
memperhatikanku yang juga memperhatikan mereka. Setelah beberapa menit, bu
bidan nanya, “ada terasa mau buang air besar?”
Satu
satu mereka keluar setelah se-jam lebih aku tidak juga merasakannya. Gak lama,
aku mulai merasakan yang namanya kontraksi. Benar kata mama, “kalo masih bisa
senyum, berarti masih lama. Kalo udah dekat udah gak bisa lagi muka-mu manis.” Iyalah
pulak, dari jam 2 siang pembukaan lengkap, bayi-ku lahir jam 10 malam. Jadi
selama delapan jam ngerasain kontraksi emang bener, gabisa senyum lagi. Yang
tau gimana kontraksi itu, aku tau kalian pasti prihatin.
Sekian
jam itu ternyata bukan hanya aku yang berjuang, bayi-ku di dalam pun sedang
berjuang. Dia terlilit tali pusar. Itu yang membuat meski rahimku sudah membuka
lebar, dia gak bisa turun ke pintu rahim karena tali pusar melilit lehernya.
Kasihan sekali bayiku ini. Dengan segala upaya akhirnya kami bisa bertemu meski
dengan robekan lebar. T_T
Setelah
melewati perjuangan besar ini, aku memahami dengan pasti mengapa surga terletak
di telapak kaki ibu. Sungguh perjuangan ini antara hidup dan mati. Percaya atau
tidak, selama aku ‘menikmati’ kontraksi, aku sudah merelakan hidupku, aku
memasrahkan hidupku, aku memohon kepada Allah untuk mengakhiri penderitaanku
dengan jalan apa saja. Termasuk jika aku harus dipanggilnya. T_T Banyak rasa
sakit yang pernah kualami, namun rasa pasrah seperti itu baru kali ini kurasakan.
Demi Allah, itu rasa yang luar biasa.
Selama
di ruang partus, aku ditemani mama dan mas suami. Berjam-jam mereka nungguin,
sodara2 udah pada datang jenguk. Pada masuk ke ruang partus, ngeliat aku yang
kayak sakaratul maut nahankan kontraksi. Aku udah gak tau lagi siapa yang
datang, karena saking ‘nikmatnya’, aku gabisa buka mata.
Begitu
saat bayi mulai turun, ruang partus itu mendadak bising dengan suara mas suami.
Setengah berteriak ia melantunkan ayat2 Allah, berdoa dengan suara lantang,
berusaha agar aku punya tenaga lagi melalui semangat yang ia coba tularkan
melalui sugesti. Setelah tenagaku nyaris habis setelah kontraksi panjang,
proses mengedan baru mau dimulai. Kebayang? -__-
Tanganku
sempat dituntun untuk menyentuh kepala bayi yang baru keluar sebagian, demi
Allah.. Demi Allah.. Aku gak tau perasaan apa itu, tapi dengan sekuat tenaga
aku kembali berjuang, sampai Allah izinkan kami bertemu dan menyudahi
perjuangan antara hidup dan mati ini dengan air mata bahagia. Alhamdulillah. Segala
puji hanya bagi Allah. Bayiku yang terlilit tali pusar itu lahir ke dunia
dengan sempurna, tiada kurang suatu apapun. Saat itu rasanya legaaa sekali. Setelah
semua proses panjang itu, baru aku bisa membuka mata dan memandang sekeliling. Itulah
saat aku melihat dengan jelas seperti apa ruang partus, melihat pajangan di
dindingnya, melihat peralatan medis, dan melihat wajah mas suami yang tersenyum
melihat kemenanganku. Ya, hari itu, Selasa, 19 November 2019, aku memenangkan
pertarungan antara berjuang dengan menyerah. Aku menang, dan hadiahnya adalah
seorang bayi laki2 tampan.
Esok
hari, saat mendengar adzan shubuh, aku terbangun dengan derai air mata. Rasa haru
yang luar biasa merambati hatiku. Aku terkenang dengan doa2ku saat kontraksi ;
permohonan mapun, sampai pasrah jika waktuku untuk menghadapnya sudah tiba. Sungguh
Allah maha pengasih dan penyayang. Dengan izinnya, aku masih hidup sampai saat
ini.
“Perempuan
memang di design untuk bisa melahirkan secara normal, dek. Apalagi selama ini
kita kontrol, kondisi adek selalu baik. Gak ada yang perlu di khawatirkan. Tapi
untuk prosesnya, memang seperti itulah perjuangan seorang yang ibu. Kan gantinya
surga ada di telapak kaki adek,” jawab mas suami ketika kutanyai tentang
kekhawatirannya aku akan kalah dalam perjuangan itu.
Aku
tau sebenarnya dia juga merasakan ketegangan luar biasa di ruang partus
kemarin. Kalo nggak, mana mungkin suaranya kayak suara orang mau perang. Tapi dia berusaha meyakinkan kalau semuanya memang akan baik2 saja. Aku pasti selamat,
bayi kami juga akan selamat.
Pengalaman
melahirkan ini bikin ngilu kalo diingat2. Bahkan sampek sekararang, setelah
sebulan berlalu. Tapi biar kata ngilu, toh orang2 anaknya banyak juga ya kan. Apalagi
orang2 dulu, peralatan melahirkannya bahkan masih sangat sederhana, tapi
anaknya bisa sempek selusin. Jadi, mungkin sekarang masih ngilu karena masihhh
baru kali ya? Gak tau deh tiga atau empat tahun lagi. Wkwkwk.
Jadi,
karena bundanya merasa menang, dinamakanlah si bayi mungil ini Gerhana Al
Zhafran, yang dalam bahasa urdu artinya pemenang. Semoga dia terus menjadi
pemenang. Memenangkan hati kami orang tuanya, memenangkan ridho Rabb-nya, dan
menjadi pemenang dalam setiap kompetisi hidupnya. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar