Ada
satu dan lain hal yang menyebabkan sesuatu tidak bisa diungkapkan dengan lugas.
Salah satunya mungkin untuk menjaga perasaan orang lain, atau justru untuk
menjaga perasaan diri sendiri. Ternyata pepatah dahulu bahwa diam itu emas,
benar adanya. Walau kata mama, diam itu tak selalu emas. Ada kalanya ketika
kita berkata-kata justru bisa jadi permata yang jauh lebih berharga daripada
emas. Tapi anggaplah kali ini, dalam kasus ini, diam itu adalah segala yang
terbaik.
Dalam
hidup, tentu akan ada banyak hal yang tak menyenangkan. Namun, selalu lebih
banyak hal yang patut untuk disyukuri. Dan lagi, di bumi bukan Cuma kita yang
punya perasaan, jadi tak semua hal harus berjalan sesuai dengan keinginan kita.
Memangnya kita mau menuruti semua keinginan orang lain meskipun itu
bertentangan dengan keinginan kita? Maka bijaksanalah dalam me-manaj perasaan
sendiri.
Ini
tentang sesuatu yang tidak bisa dikatakan dengan lugas. Tentang perasaan.
Tentang sesuatu yang akan lebih baik jika didiamkan, demi menjaga perasaan
orang lain dan diri sendiri. Aku sudah mencoba untuk meng-emas-kan diamku,
namun nyatanya hatiku jauh lebih sakit dibanding ketika aku speak up. Namun,
mungkin diamku akan lebih bermanfaat untuk orang lain. Maka dari itu, blog post
ini ada. Berujar, tanpa harus didengar.
Aku
yang sedang hamil tua ini tiba-tiba jadi bipholar. Suasana hati bisa berubah
dengan cepat dan tanpa alasan yang masuk akal. Sebentar aku merasa baik-baik
saja, namun semenit kemudian aku bisa menangis sejadi-jadinya. Sebentar aku
bisa mengotrol emosi, tak lama perasaan tiba-tiba sakit kembali. Entahlah. Ini
bukan aku. Aku memang pribadi super sensitif. Bisa tersinggung kapan saja dan
dimana saja serta oleh siapa saja. Di lain sisi, aku bisa jadi orang yang ‘bodo
amat’ dengan segala kondisi. Tapi yang belakangan ini kuhadapi adalah sesuatu
yang ‘bukan aku banget.’
Aku
gak tau apakah ini hal yang wajar. Dari semua gejala aneh yang kualami, nyaris
semua penyebabnya adalah hormon kehamilan menurut bidan. Namun untuk yang satu
ini, aku gak tau. Dan aku gak akan bertanya. Ini semacam penyakit kepribadian
yang memalukan. Namun, aku akan coba menganalisa sendiri.
Ini
kualami sejak kemarin. Entah bagaimana aku langsung sedih sehabis sholat
maghrib dan melihat suamiku pulang. Biasanya semua berjalan baik-baik saja.
Senyum dan tawa renyah biasanya akan terdengar begitu kami ketemu setelah
seharian beraktivitas masing-masing. Tapi kemarin berbeda. Aku yang membuat
perbedaan itu ada. Aku dan perasaanku.
Sebagai
ibu hamil tua, yang sudah menghadapi perubahan hormon sekitar sembilan bulan,
aku hapal. Perasaan yang memang sudah sensitif dari sananya, mendadak menjadi
semakin parah dengan perubahan hormon ini. Setelah ketemu sebentar, saling
sapa, kemudian suami kelihatan sibuk nyariin barang, dan sibuk dengan urusan
sendiri. Hanya karena itu, air mataku jatuh. Aku merasa tidak diperhatikan.
Well,
siapa penyebab bipholar ini? AKU.
Jadi,
akan kuanalisa penyakit kepribadian ini menurut versiku. Penyebab aku bisa
merasakan hal ini, karena tentu, ini adalah hal yang tidak bisa diungkapkan
dengan lugas.
Pertama,
aku adalah seorang wanita bekerja, punya karir, terbiasa sibuk, terbiasa dengan
hiruk pikuk dunia luar, dan terbiasa berinteraksi dengan orang banyak. Sudah
semingguan lebih aku cuti dengan alasan menjaga diri dan janin agar tidak
terlalu lelah dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Secara otomatis,
aku di rumah sendirian. Tidak punya aktivitas apapun selain membereskan
pekerjaan rumah seharian.
Kedua,
aku cuti adalah untuk beristirahat. Tapi kenyataannya, aku justru harus
membereskan segala pekerjaan rumah yang tidak akan pernah habis walau
dikerjakan seharian penuh. Kemarin, aku berusaha sekuat tenaga untuk
membereskan semuanya dan itu berakhir dengan kata ‘kelelahan’. Semua orang yang
terlalu lelah pasti akan mudah marah.
Ketiga,
aku terlalu menaruh ekspektasi yang tinggi pada orang lain. Terkhusus suamiku
sendiri. Aku terlalu berharap dia bisa memperlakukanku seperti yang kuinginkan.
Paling tidak menanyai keadaanku selama aku di rumah sendiri seharian. Atau
menanyakan keadaan si bayi, gimana keadaannya seharian ini, atau sekedar
bercerita, bergurau tentang apapun, sebagai ganti dia tidak ada disampingku
seharian. Tapi seperti yang kubilang tadi, aku terlalu berharap berlebihan.
Realita
yang se-HARUS-nya kupahami adalah,
Pertama,
menjadi ibu rumah tangga yang mengabdikan seluruh waktunya untuk mengurus rumah
dan keluarga memang bukan jalan yang kupilih dalam hidup. Namun, saat ini, itu
harus kujalani. Demi aku sendiri dan demi janin yang sangat kucintai ini.
Lantas, kenapa harus mengeluh? Siapa yang menyuruhku atau menuntutku untuk
hamil? Bukannya aku sendiri yang kepingin punya bayi? Lalu siapa pula yang mau
disalahkan atas keputusan yang sudah bulat ini?
Kedua,
tidak ada yang menyuruh dan memaksa, atau menuntutku untuk menguras tenaga demi
membereskan rumah. Tidak ada keharusan dari siapapun untuk itu. Lagi pula,
dengan kondisi perut yang buncit klimaks ini, ditambah dengan usia kehamilan
yang hampir penuh, tentu aku tidak boleh terlalu lelah. Harusnya aku memang
banyak istirahat. Jadi tentu tidak ada yang bisa disalahkan tho? Aku yang tau
kondisiku, harusnya aku pula yang menentukan apa yang bisa dan tidak bisa
kulakukan.
Ketiga,
selama dua belas jam gak ketemu, dari jam 7 pagi sampai jam 6 sore, tentu aku
dan suami menghadapi hal yang berbeda. Aku dengan masalahku, dan dia dengan
masalahnya. Setiba di rumah, ia ingin melemaskan syaraf-syarafnya dengan hal
yang menyenangkan buatnya, begitupun dengan aku. Ternyata, hal yang dapat
menyenangkan kami berdua tidak selalu sama. Perbedaan itu sunnah-kan? Lantas,
apakah karena dia memilih hobi untuk menyenangkan dirinya, kemudian aku merasa
tidak diperhatikan? Kemudian, apakah aku hanya punya dia untuk menyenangkan
hati? Atau justru karena aku terlalu berharap dia bisa mengobati hati, aku
malah jadi terluka? Mungkin aku perlu mencoba hal baru, agar tidak seluruh
harap kuletakkan dipundaknya.
Setelah
semua analisa itu, aku kemudian memikirkan solusi. Bipholar ini menyiksa. Aku
butuh obat. Dan obat itu mungkin adalah ;
Aku
harus bisa membuat diriku senang, tanpa harus melibatkan orang lain. Aku harus
punya alasan untuk bahagia, tanpa orang lain.
Aktivitasku
selama cuti harus benar-benar membuat aku nyaman. Mungkin aku memang tetap
harus membereskan rumah, tapi aku akan memilih bagian mana yang sanggup untuk
kukerjakan dan bagian mana yang tidak.
Aku
butuh bepergian. Akan kutemukan waktu yang tepat untuk merilekskan pikiran
dengan bertemu dengan orang baru. Atau sekedar duduk di tempat baru. Atau
apalah. Mungkin besok atau lusa saat tubuhku fit.
Aku
tidak boleh terlalu berharap pada manusia. Ada Allah. Dan Dia sebaik-baik
tempat untuk berharap.
Setelah
menulis ini, aku merasa jauh lebih baik. Alhamdulillah. Menulis memang adalah
salah satu relaksasi terbaik yang pernah aku punya. Semoga setelah ini aku semakin
lebih baik, karena ternyata, ketidak-nyamanan hati membuat badan berasa ada aja
yang sakit. Kadang kaki, kadang perut, kadang kepala.
Semoga
buat kamu yang baca ini, bisa semakin open minded, ya. Kunci hidup sehat adalah
hidup bahagia. Yuk, kita temukan bahagia kita masing-masing. J
Inilah
tentang sesuatu yang tak terungkapkan dengan lugas. Tata hati dan pikiranmu
sendiri dalam diam. Karena yang kita butuhkan hanya sebuah sepi setelah banyak
ramai yang tak juga mengerti. Wkwkwkwk. :p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar