—Sejak aku mengenalmu, berjibaku dengan semua ihwal tentangmu, belajar mencintaimu sampai akhirnya aku melepas pelukmu, aku yakin akan satu hal, kau selalu ada disini, di hati ini. Terimakasih untuk segalanya, Dinamika. Terimakasih. Semoga di usiamu yang baru, semakin banyak yang mencintai dan rela berjuang bersamamu. I’ll always love you.—
Happy Milad, Didin :) |
Kalimat
puitis itu kutulis di wall fesbuknya si Didin kemaren. Pas tanggal 16 Oktober
2012. Iyup, Didin milad yang ke-19. Gag terasa ya? Padahal sepertinya, baru
saja melewatkan perayaan ulang tahunnya yang ke-18, eh, sekarang udah harus
ngerayain lagi. :D
Di
usia baru Didin ini, aku bukan lagi sebagai salah satu kru-nya. Rasanya sedikit
berbeda. Semarak miladnya jadi kurang berasa. Walau sebenarnya, crews banyak
ngucapin selamat dengan kalimat-kalimat manis nan puitis di dumay, wall fesbuk
Didin dan di grup redaksi. Yang artinya, aku bisa menikmati euphoria anniversary
Didin juga. Tapi, entahlah, rasanya sedikit berbeda meski aku tak bisa
menjelaskan seperti apa sebenarnya bentuk yang kubilang beda itu. Mungkin yang
masih sama dan akan terus sama adalah cintaku. Ya, hatiku masih terpaut dalam
padamu, Didin. Belum ada yang bisa menggantikan. Bahkan kurasa, kau takkan
terganti. :)
Perjalananku
masih belum terbilang panjang bersama Didin. Hanya sekitar dua setengah tahun. Sebentar,
tapi cukup menyisakan pengalaman dan pengetahuan yang luar biasa. Mengenalmu,
Didin, adalah hal yang akan kusyukuri sepanjang hayat. Soalnya, meski jejak
yang kita ukir belum banyak banget, tapi jelas itu berpengaruh terhadap hidup
dan perkembangan karirku. #Sadaaaapp. Beneran loh. Judul skripsiku aja
terinspirasi dari berita yang kugarap. Berita untuk mengisi salah satu rubrik di
halamanmu. Ahh, Didin. Makasih ya. ^_^
Sudah
berkisar lima bulanan sejak aku melepas peluk hangat Didin. Aku baik-baik saja
memang, cuma, tak bisa kupungkiri, aku rindu berat akan pelukan itu. Rindu serindu
rindunya, udah cem lirik lagu gitu ya. Tapi beneran loh. Cius akuna. :p pas
lagi kangen-kangen gini. Aku jadi pengen nulis sejarah kita, Didin. Kisah pertama
kali ketemu kamu dan memutuskan untuk masuk kedalam duniamu. #hem, harus
nyiapin tissue nih keknya. Terharu mode : on.
Jadi
kisah kita dimulai waktu aku masih unyu-unyu di kampus. Eh, gag denk. Udah semester
empat waktu itu. Aku pengeeen banget belajar jadi newscaster kemaren itu. Dan kufikir,
Dinamika adalah wadah yang tepat. Jadilah aku menggeret ketiga sahabatku buat
ikutan daftar. Tapi malang tak dapat ditolak—bahasa gua—yang lulus daku
seorang. Dengan sedikit merangkak-rangkak, aku akhirnya menegaskan langkahku di
Dinamika. Tapi memang tak mudah. Rangkakan
itu lebih sering mandek. Aku lebih sering menghilang daripada ada di sekret. Huaaahh,
itu masa-masa kritis, Didin. Benar-benar kritis. Saking kritisnya, terjadilah
hubungan telpon malam-malam dengan Pemimpin Umum dan berbuah akan laut yang
menggenang dimataku. #entah kenapa kalo inget part ini, jadi cengar cengir
sendiri. XD.
Setelah
moment itu, barulah aku belajar mencintaimu, Didin sayang. Belajar menjadikan
sudut-sudutmu adalah ruang yang kurindukan. Dan aku berhasil. Aku jatuh hati,
semakin hari, semakin dalam. Mulai kutapaki karirku di duniamu dengan serius,
melihatmu dengan seribu sudut pandang baru, yang akhirnya membuat aku yakin,
aku benar-benar berkembang disini. Fase-fase yang kualami benar adalah media
pendewasaan diri yang optimal. Ahh, Didin, aku sampai tidak bisa mengurai per
kata lagi akan jasamu. #tarik ingus.
Aku
ingat waktu pertama kali kenal Bang Syahri, Kak Dila, dan Mbak Berty selaku pengurus
inti kemarin. Ketawa-ketawa pas perkenalan di hari terakhir ujian. Itu kenangan
yang paling kuingat. Style Bang Syahri dengan topinya—selama 3 hari ujian, Bang
Syahri pake topi terus seingatku. Kalo salah mohon maaf ya bang. :p—celoteh Kak
Dila yang semua orang langsung tau kalo karakter si kakak : talkative, tapi
nyenengin—udah dipuji Kak Dil, mana bombon?—trus gaya bicara Mbak Berty yang
imut-imut pisan—cius? Miapah? :D beneran. Kesan itu yang pertama kali nangkring
dikepala kalo inget mereka. Tapi mereka udah melepas pelukmu, Didin, tak lama
setelah aku masuk. Rindu mereka, deh, Din. :(
Terus,
kenangan sama Dewan Redaksi—setelah pemerintahan Bang Syahri. What,
pemerintahan? :p—Bang Maulana, Pemimpin Umum baru yang premature—wah, udah lama
kata ini gag digunakan—Kak Indah SKD, sekretaris abadinya Bang Maulana, Mbak Ani,
si mbak yang lembut beud, dan Mbak Zee, pemred yang unyuuu sekali. Banyak banget.
Kita urai satu-satu yak. Seru nih. Hohoho.. :D
Bang
Maulana, pertama kali kenal, dia sok wibawa. Sumpeh. Makanya aku agak shock
setelah tahu aslinya. :D Dia memimpin Dinamika di usia premature, bukan soal umur,
tapi soal pengalaman dan ilmu mungkin. Seiring waktu, ia bertumbuh. Semakin hari
semakin matang. Dan ia pada akhirnya adalah premature yang berhasil membawa
Dinamika semakin maju. Eh, dia ini kalo ngebedah naskah lo, bener-bener
dibacok-bacok. Pedes gilak kritiknya. Pokoknya kalo mo nyerahin naskah, apapun
itu, mau berita, artikel atau cerpen, kudu siap mental. Cius! Tapi kemaren, dia
pernah muji artikelku yang dimuat di Addin. Olala, akhirnya, bisa muji juga dia
ya.
Kak
Indah SKD, cewek cuek dengan postur mungil yang senantiasa berada di dekat
pasangan sejatinya, Bang Maulana. Sumpeh, mereka sejak pertama kukenal memang
gak pernah pisah. Kemana-mana bareng. Mungkin ke toilet doang yang enggak. Kak Indah
itu tegas gilak. Pas rapat, dia gag mau diselingkuhin dengan apapun. Mau itu
laptop, hp, atau ngobrol sama teman sebelah. Dia mau semua mata fokus
memperhatikannya yang sedang komat kamit.
Mbak
Ani, mbak ini lembut beud, loh. Sama si mbak ini aku pernah nangis gara2
tapak-tapak kecilku gag kokoh-kokoh juga di duniamu, Din. Huaaahh, pokoknya
inget sama kejadian pas magrib-magrib itulah jadinya. :”D
Trus
si mbak yang satu lagi, mbak Zee, emaknya Gue Gak Cupu. Mbak ini lebih mungil
dari Kak Indah SKD, loh. Hahaa. Kalo ngebedah naskah, si mbak jauh lebih
berhati malaikat dibanding Bang Maulana. Dia bakal sabar banget ngajarin. Deket-deket
sama mbak Zee, bakal ngebuat kosa kata nambah. Ada aja kata baru yang dia ucap
tiap harinya. Asiklah pokok’e.
Satu
lagi, Bang Irhas. Atau lebih sering kupanggil dengan sebutan ‘Muallim Irhas’. Inilah
dedengkotnya Alay (baca : anak layouter). Ilmu desgrafnya subhanallah sekali. Si
abang ini selain jadi tentor buat yang mau belajar layout, juga jadi guru ngaji
Dinamika. Tiap Jumat, kita bakal rame-rame ngerubungin cowok imut (baca : item
mutlak) ini buat belajar ngaji di acara Dinamis—Dinamika Mengkaji Islam—sejak itulah
dia diangkat jadi Ustadz Dinamika. Kalo kata Bang Maulana, nama lengkap Muallim
Irhas itu ‘Al-Ustadz Irhas Pulus Al-Lauddendangi. :D Pokok’e, abang inilah yang
gak bosan-bosan ngajarin dan ngajakin kami ngaji. Sekarang, salah satu hal yang
bikin aku rindu berat sama Dinamika adalah Dinamis. Sekarang udah gak bisa ikutan
Dinamis lagi. Gak bisa dengar ceramah muallim lagi. Hiks. T_T
Itu
baru sedikit dari orang-orang di dalam dunia Dinamika yang menginspirasi. Masih
banyak lagi yang sedang menunggu giliran untuk dituliskan. Segera, akan
kuabadikan kisahku dengan mereka dalam catatan kecil yang akan kukenang
selamanya—sadaaaapp—.
Makasih
ya Didin. Ahh, ya, selamat ulang tahun. Semoga semakin berjaya dalam membawa
makna meraih cita. I love you as always. Muuuaaachh :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar