Kamis, 20 Maret 2014

18 Maret 2014

18 Maret 2014

Untuk kali kesekian aku ditinggalkan. Satu-satu orang-orang tersayang dipanggil Tuhan. Pelan-pelan, keluarga besar ini menyusut. satu-satu pergi, memulai perjalanan panjang menuju kepulangan abadi. Tiada yang tersisa selain kenangan di hati, di ingatan, dan di setiap senti tempat-tempat yang pernah disinggahi.Ya, keadaan ini selalu menyisakan luka yang nganga, menyisakan genangan air mata.

18 Maret 2014, kabar duka kuterima tengah malam, saat seluruh penghuni rumah lelap dalam dunia mimpi masing-masing. tangis pilu bibiku di kejauhan sana membuat darahku yang masih belum sempurna sadar mendadak tegang. sesukar apapun kehidupannya disana, di perantauan yang jauh dari keluarga terdekat, ia sungguh nyaris tak pernah mengeluh. tak pernah ia menumpahkan air mata di hadapan kami. ia selalu mengaku baik-baik saja saat kami tanyai kabar. pun tentang kesehatan suaminya, ia selalu bilang sudah baikan.dan tangisan tertahan yang kudengar di gagang ponsel tadi malam, cukup menjelaskan apa yang terjadi.

berada ribuan kilometer jauhnya dari kami selama puluhan tahun sejak ia memutuskan menikah disana, membuat mentalnya tertempa sempurna. ia, meski dalam keadaan terberat dalam hidup, masih berusaha tegar dengan sesegukan tertahan. berusaha untuk menenangkan kami. saat itu, aku mendadak terbayang wajahnya yang teduh dan lembut itu. terbayang wajah kedua anaknya, Rani dan Wirda yang masih kecil-kecil. dan itu semua sukses meruntuhkan pertahanan air mataku. 

Untuk sepersekian detik, beberapa momen berkelebatan di kepalaku. Momen saat aku menemukan tubuh ayahku sudah tertutup kain putih saat aku tiba di rumah sakit 12 tahun yang lalu, saat aku duduk memandangi wajahnya sebelum ia diberangkatkan menuju peristirahatan terakhir, saat pak tengah (suami bibiku) itu datang dan memberi nasihat, petuah-petuah khas orang tua, saat aku iri pada keceriaan puterinya yang masih memiliki seorang yang disebut ayah. Semuanya bermunculan tanpa bisa kukontrol, beriringan dengan semakin derasnya air mataku.

Kufikir, cukup aku saja yang kehilangan ayah secepat itu. Cukup aku. Entah bagaimana nanti aku melihat wajah-wajah lugu itu, entah bagaimana aku bisa sanggup membuat mereka tak lagi memanggil-manggil ayahnya. entah bagaimana pula ibu mereka, bibiku tersayang bisa kembali berjalan tegak. Ya Allah. T_T

"Dk, tadi pagi polres Tembilahan hening cipta untuk menghormati abang. Abang kan pernah jadi Kasat Intel disini," kubaca BBM kak Yuni, teman dekat pamanku--bisa jadi calon bibiku--

Hatiku kembali remuk. Tidak hanya karena aku tidak bisa ikut kesana, tapi kembali momen kehilangan berkelebatan di kepalaku. Dulu, saat aku masih kecil, aku punya seorang ayah angkat yang juga seorang aparat. Saat ia wafat, aku yang masih kecil ikut dibawa ke pemakaman pahlawan Kabanjahe untuk mengikuti upacara pemakaman oleh Polres Kabanjahe. Dan semuanya diputar ulang di kepalaku. Semuanya.

Terlalu banyak alasan untuk meratap, jika aku tak segera tersadar kalau aku salah. Tidak seharusnya aku meratap, bukan? Ini adalah jalan yang Allah takdirkan untuknya. Jalan pulang untuk melepaskan semua kesakitannya. Lantas kenapa aku tidak rela? Sebegitu lemahnya kah imanku, ya Allah? :"(

Sekarang, setelah tiga hari kepergiannya, aku tidak ingin ia kecewa melihat semua kesedihan yang tercipta karena perginya. Ia butuh doa, keluarga kecilnya juga butuh doa agar diberi kelapangan hati. Jadi, tugasku adalah mendoakan. Mendoakan, mendoakan dan terus mendoakan.Semoga ia diberi tempat terbaik di sisi Allah, semoga bibiku diberi kesabaran dan kelapangan hati yang luar biasa, semoga kedua puterinya diberikan masa depan yang baik. Aamiin..aamiin..aamiin..

Selamat jalan, pak tengah. Semoga limpahan rahmat senantiasa megiringi perjalananmu menuju kepulangan abadi.



2 komentar: