"Dengan
memaafkan, hati akan kembali tenang. Kedamaian ada bersama keikhlasan yang kita
berikan, bukan yang atas maaf yang mereka haturkan."
Ini dunia
real, bukan sinetron, apalagi dongeng fantasi yang menampilkan kisah si itik buruk
rupa berubah menjadi putri memesonakarena keelokan hatinya. Bukan pula dunia
magic seperti kehidupan ajaib Alice In The Wonderland. Ini dunia nyata. Dimana
segalanya adalah realita. Dan di dunia nyata ini, segalanya tak semudah Harry
Potter mengucapkan mantra “Imperio” agar seseorang mengikuti keinginan kita.
Tidak. So stop imagine, and face it.
Membuat
kesalahan adalah hal yang lumrah dilakukan selagi kita masih menyandang gelar
“manusia.” Pernah berbuat kesalahan, dan mengecewakan orang lain justru adalah
kode kalau kita pernah melakukan sesuatu. Ini jelas lebih baik daripada tak
pernah salah karena tak pernah berbuat. Is it right?
Aku suka
berfikir, bagaimana jika aku berada di posisi orang yang mengecewakan. Kecewa itu
biasa. Kata orang, kecewa itu karena kita berharap sama makhluk. Siapa suruh,
tho? Dan setiap aku kecewa, aku selalu merasa itu adalah kecewa yang terberat. Padahal,
kecewa yang sebenarnya kadarnya lebih parah pun pernah kulewati dengan selamat.
Giliran mengecewakan orang lain, aku malah mikir, “gitu aja pake marah. Biasa aja
kali.” *Dan sepatu pun berterbangan*
Iya, aku
sering banget menganggap orang lain mengecewakanku begitu dalam. Meski sebenarnya
kalau aku berfikir jernih, itu toh masalah biasa banget. Atau kalau contohnya
kita miss komunikasi. Janjian jam sekian. Aku nyampe lokasi jam sekian sesuai
perjanjian, eh, taunya si kawan jam sekian malah baru mau berangkat dari rumah.
Kejadian kayak gini tuh bisa bikin senewen. Malah kalo kebetulan lagi PMS, bisa
nelpon sambil mencak-mencak dan ngancem mau pulang aja. Sekarang, mungkin semua
pada mikir, “hellow, gitu aja pake acara ngambek..” coba kalo lo berada di
posisi gue. Apalagi tempat janjian lo gak nyaman. Panas, banyak debu, dan
nungguin temen lo sampek hampir satu jam. Bisa jadi lo lebih parah mencak2nya
dari pada gue.
Tapi di lain
hal, ketika aku yang ngecewain temen, aku yang justru menganggap dia lebay karena
marah atas sikapku. Contohnya nih, kita janjian udah dari seminggu yang lalu. Janjian
mau kemanaa gitu. Nah, pas di hari H, tiba2 aku gak bisa berangkat karena ada
suatu hal. Setelah minta maaf, dan mengutarakan alasan dengan bumbu2 penyedap
biar si kawan nggak marah lagi, tapi tetep kekeuh marah, aku pasti langsung
mikir, “ni orang lebay banget sih marahnya, udah minta maaf juga..”
Aku nggak
sadar, sebenernya kalo dipikir-pikir, kadar kekecewaan yang aku buat dengan yang dia buat justru
berat sebelah. Maksudnya gini, kadar kecewaku karena pernah nungguin dia sejam
pas janjian pasti lebih sedikit dibanding kekecewaan dia karena gak jadi pergi
bareng aku padahal waktunya udah kita planning dari seminggu yang lalu.
Kalo udah
gini, siapa yang salah? Ya aku lah. Kenapa? Karena aku hanya memperhatikan
hatiku sendiri. Umumnya, kita hanya mau tau pada kekecewaan kita. Kita hanya
peduli pada kenyataan bahwa, “lo udah ngecewain gue.” Padahal nyatanya, kita
sama2 pernah bikin kesalahan, kita sama2 pernah mengecewakan dan dikecewakan.
Sampel yang
kuambil memang yang paling sepele se-sepele2nya. Biar aku juga sadar, masalah
sebegitu kecil pernah ngebikin aku dongkol. Biar aku juga bisa menimbang
kesalahan2ku yang sepele lainnya, atau kesalahan orang lain yang sepele banget
bisa kutuntaskan, kuhapuskan dari hatiku.
Memaafkan
selalu menjadi obat penenang kala dikecewakan. Meski awalnya aku merasa itu
adalah kesalahan terbesar yang pernah dilakukan seseorang terhadapku,
kekecewaan terbesar yang pernah disodorkan seseorang pada hatiku, dan aku masih
bisa mengingat dengan jelas bagaimana sesaknya dada ketika menerima kenyataan
demikian. Nyatanya, aku hanya butuh untuk berdamai dengan hatiku sendiri, salah
satunya dengan memaafkan. Menepikan ego. Mungkin saat ini aku yang dikecewakan,
tapi kemarin? Esok lusa? Mungkin aku-lah justru penyebab dari kekecewaan orang
lain. Atau, malah, setelah semua ini, justru orang tersebut yang malah kecewa
dengan sikapku yang tak juga bisa menerima maafnya?
In this real
life, forgive and be forgiven is not easy. Tapi bukan hal yang mustahil, tho?
Yang terpenting,
kita bisa nggak ngejalanin hari dengan toleransi yang luar biasa? Yang bisa dengan
mudah memaafkan ke-khilaf-an, yang bisa
memaklumi kesalahan, dan berusaha untuk tidak mengecewakan karena pernah tau
bagaimana rasanya dikecewakan? Hmm, semoga bisa ya..
BTW, kamu
kah ‘aku’ itu? :v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar