Minggu, 18 September 2016

MY JOURNEY – BUKIT GUNDALING




Bukit Gundaling :)





Matahari sudah di atas kepala ketika kaki-ku menapak di Tanah Karo Simalem. Dengan mata masih merem melek, alias kesadaran belum pulih 100% habis tidur di bus, aku menepi. Mencari tempat yang pas untuk isi lambung. Sudah tengah hari. Sebanyak apapun ngunyah snack yang memang sengaja dibeli di Medan untuk menjadi teman perjalanan, ternyata lambung-ku tetap adalah lambung orang Indonesia yang harus diisi nasi, baru damai. 

Masih jelas teringat isi obrolanku dengan Ilham, si anak Berastagi, tadi malam. Mulai dari upaya dia mengubah destinasi tujuan dengan mengajukan destinasi-destinasi lain, sampai bilang kalau destinasi-ku itu tempat yang membosankan. Beberapa destinasi yang diajukan Ilham sudah pernah kusambangi sebelumnya. Ya maklumlah, kemana lagi coba destinasi tujuan terdekat dari Kota Medan kalau bukan Berastagi dan sekitarnya. Saking mainstream-nya, gunung pun udah jadi tempat wisata yang gampang banget dijangkau. Ilham bilang, “Ke Sibayak aja, kak. Sekarang ke Sibayak udah bisa naik angkot, loh.” Aku geleng-geleng kepala, tertawa. Memang, sekarang yang namanya hiking ke Gunung Sibayak bukan lagi hobi-nya para pendaki. Anak alay pun bisa nyampek puncak Sibayak sekedar buat nyelfie sambil megang kertas salam-salam. Malah kata seorang teman, ke Sibayak itu bukan hiking, tapi piknik.
Tapi aku menolak tawaran si Anak Berastagi itu. Tujuanku keluar dari kepenatan Medan adalah untuk memanfaatkan sebaik-baiknya waktu liburan hari tasyrik yang tinggal sehari lagi. It means, besoknya aku harus masuk kerja. Dan kalo aku maksain naik pagi, turun sore, itu namanya lebay. Jadi aku tetap kekeuh dengan destinasi awal, Bukit Gundaling. Terakhir kali kesana kalo gak salah di semester awal di S1. Udah hampir lima tahunan gak kesana dan well, aku kayaknya harus kesana lagi deh.

Selesai makan, -kita makan persis di rumah makan muslim di sekitar tugu- biar gak capek2 jalan dan gak perlu ngongkos lagi kalo makan di tempat lain. Lagian Ilham gak ngasi rekomendasi tempat makan yang oke sih kemaren- aku bergegas sholat. Dinginnya air pegunungan lembut menyapa wajahku yang lelah. Ah, betapa rindunya dengan tanah kelahiran ini. Ternyata begini rasanya punya kampung halaman. Sekalipun hanya numpang lahir dan menuntaskan sekolah dasar, ternyata seperti ini yang namanya rindu. Kuta kemulihen. :”)

Desau angin gak Cuma menggelitik dan memainkan kerudung, tapi memaksaku merapatkan jaket. Berastagi sedang tidak musim hujan seperti di Medan. Cuacanya cerah. Tapi namanya juga pegunungan, mau cerah gimana juga ya suhunya masih kisaran 18 sampai 19 derajat doang. Adem.

Pusat Kota Berastagi gak begitu padat, jadi para abang-abang tukang sado dan kuda, tampak semangat banget nawarin. Soalnya pasar buah yang biasanya padat itu kemaren t ampak lengang-lengang saja. Kelihatan kalo musim liburan udah usai. Beruntunglah aku, dan kamu yang masih bisa menikmati liburan hari tasyrik. *Alhamdulillah ya Allah*

Aku agak sedikit banyak maunya kalo gak bisa dibilang congok. Setelah keliling naik sado ke bukit, udah menikmati perbukitan dengan ber-sado ria, aku naik kuda lagi. -_-“ Buat kamu yang pelesir ke Berastagi dan kepingin nyicipin sado, tarifnya berkisar 30rb-50rb tergantung kemana rute yang kamu pilih. Sama juga kayak kuda. Tapi sensasinya lebih asik naik kuda sih menurut aku. Goyang2nya itu. Berasa kayak jadi aktris di film yang ada adegan berkuda-nya. :v

Setelah ke-congok-an terlampiaskan, aku menumpang angkot menuju Bukit Gundaling, destinasi utama. Berbekal goceng, si abang angkot mengantar kita ke atas. Wajah Gundaling tak banyak berubah. Parasnya yang elok dan keistimewaannya bisa menampakkan wajah Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung, pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi, serta desau angin yang menggelitik masih sama. Hanya, hijaunya tak sempurna. Bukit ini turut menjadi imbas dari luapan debu Gunung Sinabung.
Kudanya namanya Cindy :)
Say hay to Cindy.. :)
Masih seperti pusat Kota Berastagi, di Bukit Gundaling pun tak begitu banyak pengunjung. Ini moment bagus. Jadi bebas mau foto-foto.  Hihihi. Oh iya, mama pernah cerita, konon, Bukit Gundaling ini dulunya adalah tempat bertemu seorang gadis desa dengan seorang pria Belanda. Mereka saling jatuh cinta. Namun orang tua si gadis menentangnya. Sampai suatu ketika, si gadis dinikahkan dengan seorang pria pribumi, dan si pemuda Belanda patah hati sambil berucap, “Good Bye Darling.” Jadilah nama Gundaling, karena orang pribumi mendengarnya demikian. Aku gak tahu persis itu isapan jempol atau benar-benar terjadi. Tapi sepertinya itu cerita turun temurun.

By the way, moment di Bukit Gundaling itu moment yang apik banget. Berdiri di tepi tebing, melebarkan tangan bak burung yang bersiap terbang. Merasakan anak-anak angin yang memainkan jaket, mengobrak abrik kerudung. Menatap puncak Gunung Sinabung yang sebagian sisinya sudah memutih. Menyaksikan hamparan awan cantik di langit. Merasakan debar yang tak biasa di dada. Ahh, kamu harus rasakan langsung!

Kita bertolak ke Medan dengan deru jantung yang menggebu. Liburan hari tasyrik kali ini berhasil menguapkan segala beban, lelah, bosan, dan menuntaskan kerinduan nge-trip. Emang sih kali ini gak se-rame biasa, tapi yang namanya nge-trip selalu bikin bahagia membuncah di dada.

Terima kasih teman seperjalanan. Karenamu, perjalanan ini lebih dari sekedar nge-trip. :) :)








📷📷my👑

Tidak ada komentar:

Posting Komentar