Masih jelas teringat isi obrolanku dengan Ilham, si anak Berastagi,
tadi malam. Mulai dari upaya dia mengubah destinasi tujuan dengan mengajukan
destinasi-destinasi lain, sampai bilang kalau destinasi-ku itu tempat yang
membosankan. Beberapa destinasi yang diajukan Ilham sudah pernah kusambangi
sebelumnya. Ya maklumlah, kemana lagi coba destinasi tujuan terdekat dari Kota
Medan kalau bukan Berastagi dan sekitarnya. Saking mainstream-nya, gunung pun
udah jadi tempat wisata yang gampang banget dijangkau. Ilham bilang, “Ke
Sibayak aja, kak. Sekarang ke Sibayak udah bisa naik angkot, loh.” Aku
geleng-geleng kepala, tertawa. Memang, sekarang yang namanya hiking ke Gunung Sibayak
bukan lagi hobi-nya para pendaki. Anak alay pun bisa nyampek puncak Sibayak
sekedar buat nyelfie sambil megang kertas salam-salam. Malah kata seorang
teman, ke Sibayak itu bukan hiking, tapi piknik.
Tapi aku menolak tawaran si Anak Berastagi itu. Tujuanku keluar
dari kepenatan Medan adalah untuk memanfaatkan sebaik-baiknya waktu liburan
hari tasyrik yang tinggal sehari lagi. It means, besoknya aku harus masuk
kerja. Dan kalo aku maksain naik pagi, turun sore, itu namanya lebay. Jadi aku
tetap kekeuh dengan destinasi awal, Bukit Gundaling. Terakhir kali kesana kalo
gak salah di semester awal di S1. Udah hampir lima tahunan gak kesana dan well,
aku kayaknya harus kesana lagi deh.
Selesai makan, -kita makan persis di rumah makan muslim di sekitar
tugu- biar gak capek2 jalan dan gak perlu ngongkos lagi kalo makan di tempat
lain. Lagian Ilham gak ngasi rekomendasi tempat makan yang oke sih kemaren- aku
bergegas sholat. Dinginnya air pegunungan lembut menyapa wajahku yang lelah.
Ah, betapa rindunya dengan tanah kelahiran ini. Ternyata begini rasanya punya
kampung halaman. Sekalipun hanya numpang lahir dan menuntaskan sekolah dasar,
ternyata seperti ini yang namanya rindu. Kuta kemulihen. :”)
Desau angin gak Cuma menggelitik dan memainkan kerudung, tapi
memaksaku merapatkan jaket. Berastagi sedang tidak musim hujan seperti di
Medan. Cuacanya cerah. Tapi namanya juga pegunungan, mau cerah gimana juga ya
suhunya masih kisaran 18 sampai 19 derajat doang. Adem.
Pusat Kota Berastagi gak begitu padat, jadi para abang-abang tukang
sado dan kuda, tampak semangat banget nawarin. Soalnya pasar buah yang biasanya
padat itu kemaren t ampak lengang-lengang saja. Kelihatan kalo musim liburan
udah usai. Beruntunglah aku, dan kamu yang masih bisa menikmati liburan hari
tasyrik. *Alhamdulillah ya Allah*
Setelah ke-congok-an terlampiaskan, aku menumpang angkot menuju
Bukit Gundaling, destinasi utama. Berbekal goceng, si abang angkot mengantar
kita ke atas. Wajah Gundaling tak banyak berubah. Parasnya yang elok dan
keistimewaannya bisa menampakkan wajah Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung,
pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi, serta desau angin yang menggelitik
masih sama. Hanya, hijaunya tak sempurna. Bukit ini turut menjadi imbas dari
luapan debu Gunung Sinabung.
Kudanya namanya Cindy :) |
Say hay to Cindy.. :) |
By the way, moment di Bukit Gundaling itu moment yang apik banget. Berdiri
di tepi tebing, melebarkan tangan bak burung yang bersiap terbang. Merasakan
anak-anak angin yang memainkan jaket, mengobrak abrik kerudung. Menatap puncak
Gunung Sinabung yang sebagian sisinya sudah memutih. Menyaksikan hamparan awan
cantik di langit. Merasakan debar yang tak biasa di dada. Ahh, kamu harus
rasakan langsung!
Kita bertolak ke Medan dengan deru jantung yang menggebu. Liburan
hari tasyrik kali ini berhasil menguapkan segala beban, lelah, bosan, dan
menuntaskan kerinduan nge-trip. Emang sih kali ini gak se-rame biasa, tapi yang
namanya nge-trip selalu bikin bahagia membuncah di dada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar