“Orang yg paling mengerti tentang
Hidup itu adalah Orang Mati, kalo lo mau ngerti tentang hidup lo harus jadi
orang mati. Jadi jangan sok berteori apapun tentang hidup. Hidup itu nggak segampang
saat lo membacot kawan..
Mending simpen dan jalani dengan
jalan lo sendiri..
#buat siapa aja deh yg suka
ketularan Mario Teguh..”
Status seorang teman ini
terpampang di beranda dan membacanya aku jadi tergelitik nulis note ini. Bukan
untuk berargumen apapun. Bukan pula untuk sok meluruskan atau apapun istilahnya
itu. Aku cuma memberi gambaran. Paling tidak semoga bisa meramaikan koleksi
bingkai sudut pandang di dinding fikir.
Seperti komentar yang kutulis
dibawah status itu, “hidup memang tak mudah, tapi juga tak sesulit yang lo
bayangkan.”
Aku bukan seorang ahli filsuf
yang bisa mengurai makna kehidupan sedetil yang diharapkan. Bukan pula seorang
dari jajaran motivator yang, seperti dia bilang, selalu dengan berapi-api
memperdengarkan ke seluruh dunia bahwa hidup itu indah. Bukan. Aku pun masih
mengais-ngais makna hidup itu sendiri.
Hidup itu layaknya panggung
opera. Dan kita aktornya. Bukan sutradara.
Ada scene-scene yang tak kita
inginkan meramaikan opera kita, tapi malah mengambil peran besar. Namun ada
pula potongan gambar yang kita harapkan menjadi bagian darinya, malah tak jua
muncul. Dalam hal ini, kita hanya bisa memainkan dialog yang menurut kita
paling baik, yang akan menimbulkan dampak baik, untuk menyambut setiap actor,
aktris, atau kondisi yang disuguhkan sutradara. Tak ada alasan untuk diam,
kalau memang tak ingin penonton menganggap actor itu memerankan orang bisu.
Itulah, kita bahkan tak punya
kuasa untuk menentukan mosaik hidup mana saja yang akan kita hadapi. Tapi apa
kita harus dengan dongkol mengatakan, “kenapa opera ini begitu sulit dimainkan?!”
Akan kedengaran lebih sedap kalau
kita sambil tersenyum berujar, “opera ini memang tak mudah, tapi juga tak
sesulit yang dibayangkan.”
Toh, kalimat itu juga tidak
menafikan kalau hidup itu sulit.
Yang berbeda dari sudut pandang
kita mungkin cara menyikapinya. Sesulit apapun, jika kita tetap menganggapnya
tak sesulit itu, juga akan terasa lebih mudah. Mungkin, ini terdengar seperti
omong kosong yang sering diutarakan motivator-motivator itu. Tapi mau tidak
mau, jika kita ingin menjalaninya dengan lebih baik dan ringan, kita harus
mendengar kata mereka.
Anggap saja sedang menulis dengan
pena bermerek ‘takdir’. Jika kalian iseng bertanya apa itu ‘takdir’, akan
kujawab seperti aku menjawab pertanyaan yang sama darinya. Dari seorang kawan
yang menulis status itu. “Takdir adalah sejenis minuman kaleng baru dengan dua
varian rasa. Rasa cokelat dengan kombinasi getir dan rasa asam dengan kombinasi
kebahagiaan.”
Harga keduanya sama, ‘ikhtiar dan
doa’.
Hidup adalah sesulit/semudah apa
kita memandangnya.
Mungkin ini pesan yang tersirat
dari keluarga sederhana yang masih bisa hidup bahagia dengan keluarga kaya yang
selalu merasa kurang.
Terlepas dari kepuasan yang ingin
kalian dapat dari note ini. dari makna yang ingin kusampaikan, aku tegaskan,
ini hanya sebentuk bingkai pemahaman dari sudut pandang yang berbeda. Jika kalian
punya sudut pandang lain, akan menyenangkan kalau kita bisa bertukar ‘pandang’
:D
good :) kak beb... semangat terus yaa nulisnya... agak di kurangin dikit laaa basa busi nya... hehe
BalasHapus